Sedekah Bumi Rawaheng, Ritual di Bawah Rintik Hujan

Banyumas, IDN Times - Di tengah malam yang diselimuti rintik hujan, suara gamelan Jawa perlahan mengalun dari sudut Desa Rawaheng, Kecamatan Wangon, Banyumas. Obor-obor menyala temaram, diangkat tinggi oleh para remaja desa yang berjalan dalam barisan.
Di belakang mereka, ratusan warga RT 2 dan RT 3 RW 5 berjalan pelan, membawa tenong berisi makanan hasil bumi seperti kedelai, sayur mayur, umbi-umbian, dan lauk olahan rumahan. Itulah malam Sedekah Bumi, tradisi warisan leluhur yang masih lestari dan penuh makna, Kamis (22/5/2025).
Warga pria, wanita, bahkan yang sudah sepuh pun di dua RT tersebut bersama sama berjalan menyusuri jalan kampung untuk saling bertemu di satu tempat di Jalan pertigaan yang menjadi perbatasan dikedua RT tersebut.
1. Membawa semangat gotong royong

Tokoh masyarakat setempat, Nasyifudin kepada IDN Times menjelaskan bahwa tradisi Sedekah Bumi menjadi momentum syukur atas berkah panen dan hasil alam yang mencukupi kehidupan mereka.
“Ini bukan hanya soal makanan, ini soal rasa syukur kami pada Tuhan dan rasa saling memiliki antarwarga,” tutur Nasyifudin, Ketua RT 2, yang sejak sore hari telah sibuk membantu koordinasi warga.
Menurutnya, sedekah bumi bukan sekadar seremoni, Di desa Rawaheng adalah bentuk perayaan kebersamaan, warga tidak hanya membawa makanan, mereka juga membawa semangat gotong royong. Semua bersatu mulai dari anak-anak, pemuda, hingga para sesepuh.
2. Kebersamaan dalam tenong

Setelah prosesi doa bersama dan sambutan dari tokoh-tokoh adat, warga kembali ke rumah masing-masing yang saling berdekatan dan membuka tenong makanan mereka.
Tenong-tenong itu digelar di halaman rumah, lalu dimakan bersama seluruh anggota keluarga, tetangga, dan tamu yang datang.
Tak ada sekat sosial semua duduk di atas tikar yang sama, berbagi nasi, cerita, dan tawa. Sedekah Bumi menjelma menjadi ruang silaturahmi tahunan yang dinanti nanti warga.
3. Simbol kembalinya makanan ke bumi

Satu hal yang unik dan penuh makna adalah saat sebagian makanan dikuburkan ke dalam tanah. Bukan bentuk pemborosan, melainkan simbol kembalinya rezeki kepada bumi, sebagai bentuk penghormatan atas karunia Tuhan lewat alam.
Menurut Kepala Desa Rawaheng, Sukanto ritual itu sebagai bentuk filosofi yang dalam. Tradisi ini terus dilestarikan sebagai bagian dari jati diri masyarakat.
“Kami di pemerintah desa mendukung penuh kegiatan ini. Uri-uri budaya seperti ini justru yang membentengi desa dari lunturnya nilai-nilai luhur. Ini bukan sekadar adat, ini pendidikan karakter untuk anak cucu kita,"jelasnya.
Ditengah kemajuan zaman, warga Rawaheng menunjukkan bahwa kearifan lokal masih memiliki tempat yang hangat di hati mereka. Meski hujan turun perlahan, tidak ada yang merasa terganggu, justru, rintik hujan menambah syahdu malam penuh rasa syukur dan kebersamaan di Desa Rawaheng.