TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Para Penjaga Asa Toleransi Antar Umat Beragama di Indonesia

Mereka terus bersemangat di tengah keterbatasan

Ilustrasi toleransi beragama. (IDN Times/Sukma Shakti)

Indonesia kental akan keberagaman suku, budaya, adat istiadat, termasuk agama. Masyarakat bisa hidup berdampingan karena sikap toleransi khususnya antarumat beragama yang tinggi sehingga kemajemukan terus terawat di Tanah Air.

Kementerian Agama (Kemenag) melansir, dalam Survei Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) mencatat bahwa skor indeks rata-rata nasional pada 2019 mencapai 73,83 dari skala 0--100. Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan capaian saat 2018, yang hanya 70,90. Angka tersebut menjadi penanda bahwa sikap toleransi antarumat beragama di Indonesia tumbuh lebih baik.

Ilustrasi toleransi agama (IDN Times/Mardya Shakti)

Meski angka indeks KUB meningkat, Peneliti Centre for Policy Studies and Data Analysis (CYDA), Ezra menyoroti menurunnya sikap (toleransi) masyarakat terhadap kegiatan agama lain dan pembangunan tempat ibadah di lingkungan sekitar dalam tiga tahun terakhir. Kondisi itu tampak terlihat di Jawa Timur.

"Untuk persetujuan terhadap pembangunan rumah ibadah di lingkungan sekitar malah menurun jauh. Pada tahun 2019 angkanya masih sebesar 51 persen. Kemudian turun menjadi 41,88 persen di 2020. Lalu makin anjlok menjadi 29,78 persen pada 2021," katanya.

Senada, Ketua Pusat Kajian Media, Literasi, dan Kebudayaan, Abdul Wahid mengungkapkan bahwa masih banyak ditemukan kelompok-kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, penghayat kepercayaan Agama Baha’i, hingga warga non-Muslim yang menjadi sasaran kekerasan, baik fisik maupun verbal.

Dilansir survei dan Focus Group Discussion (FGD) pihaknya bersama mahasiswa dan tokoh masyarakat di Malang, Jawa Timur, sebanyak 46 persen non-Muslim pernah dipanggil secara langsung dengan sebutan kafir. Bahkan, 25 persen Muslim juga pernah diperlakukan hal yang sama meskipun kata tersebut digunakan dalam konteks candaan. 

"Tindak kekerasan tidak hanya terjadi pada kelompok luar yang berkeyakinan berbeda tapi juga menyasar kelompok yang berkeyakinan sama. Intoleransi merupakan bagian dari radikalisme yang dapat meminggirkan kelompok minoritas. Bagi yang tak memahami konteks politik, maka masyarakat bisa terbawa semangat agama sempit untuk mendegradasi kelompok lain," katanya. 

Legalitas Minoritas

Ketua Pembinaan Jamaah Ahmadiyah NTB, Saleh (kiri) (IDN Times/Ahmad Viqi)

Puluhan jemaah Ahmadiyah hidup di pengungsian Transito di Kelurahan Pejanggik, Kecamatan Mataram, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) selama lebih dari 7 tahun, atau sejak 2014--2021. 

Sebanyak 43 kepala keluarga (KK) jemaah Ahmadiyah pernah tinggal di tempat tersebut. Seiring berjalannya waktu, stigma terhadap mereka berkurang sejak konflik yang pada 2018 di Lombok Timur. Perlahan, mereka yang tinggal di Transito juga berkurang, memilih untuk pergi menetap di permukiman lain.

Sementara mereka, sekitar 7 KK yang masih hidup di pengungsian saat ini, mengaku ingin hidup normal bak Warga Negara Indonesia (WNI) lainnya. Hal itu diperjuangkan Ketua Pembina dan Penasehat Ahmadiyah Provinsi NTB, Saleh. 

Ia mengusahakan agar hak-hak dalam berkeyakinan jemaah Ahmadiyah dapat dihormati dan dihargai. Pasalnya, kesulitan yang dialami mereka adalah melawan stigma soal tuduhan ajaran mereka adalah sesat.

Saleh merasa bahwa apa yang diyakininya bersama jemaah lain di NTB itu bukanlah ajaran yang menyimpang. Sebab, selama ini mengklaim tidak pernah merugikan pihak mana pun dengan keyakinan yang mereka jalani serta tidak pernah mengajak apalagi memaksa siapa pun untuk mengikuti keyakinan yang mereka peluk.

"Hoaks (ajaran Ahmadiyah sesat) itu pasti datang menjelang agenda-agenda politik. Semestinya segala bentuk hak konstitusi kita itu sama di mata hukum," lanjut Saleh.

Ikhtiar Saleh sedikit membuahkan hasil. Jemaah Ahmadiyah saat ini sudah bisa mengurus administrasi kependudukan. Sebagian dari mereka juga mendapatkan bantuan dari pemerintah--baik dari Pemerintah Kota (Pemkot) Mataram atau Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB--berupa sembako dan program bantuan lainnya.

"Bersyukur, sekarang sudah mulai berangsur terbuka. Keberadaan mereka sebagai jemaah Ahmadyah tidak lagi menjadi persoalan," ucapnya kepada IDN Times, Kamis (2/12/2021).

Mubaligh Ahmadiyah Jawa Tengah, Saefullah Ahmad Faruq. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Jalan yang sama ditempuh Ipul. Peristiwa perusakan masjid Al-Kautsar milik Ahmadiyah di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah pada 2016 silam tak bisa dilupakan dengan mudah oleh pria bernama lengkap Saefullah Ahmad Faroeq itu.

Dari kejadian tersebut, ia tersadar bahwa tidak semua masyarakat memahami informasi secara menyeluruh ihwal ajaran Ahmadiyah. Padahal, ia bilang jika Ahmadiyah merupakan bagian dari agama Islam.

"Mirza Ghulam Ahmad seorang pemuka agama dari wilayah Qadian, India menjadi guru sekaligus juru selamat (mesias) bagi para jemaah Ahmadiyah yang ada di seluruh Dunia. Berdasarkan penelitian Depag (sekarang Kemenag), ajaran yang dianut Ahmadiyah sekitar 99 persen sama dengan apa yang diajarkan dalam agama Islam. Hanya satu persen yang membedakan, yaitu berupa penafsiran mengenai nabi terakhir," jelasnya Jumat (3/12/2021).

Usaha dan ikhlas menjadi kunci Ipul serta jemaah Ahmadiyah Jawa Tengah bisa dekat dan diterima masyarakat. Mereka sampai saat ini berusaha untuk aktif terlibat dalam berbagai aksi sosial bersama umat lintas agama.

"Kejadian di masa lalu membuat kita berusaha mendekatkan diri kepada masyarakat. Sekarang, Alhamdulillah kondisinya sudah kondusif, kita bebas beribadah. Pas Salat Jumat di Semarang, jemaah masjid kita 90 persen non-Ahmadiyah. Ini membuktikan kalau warga mulai menerima kami," terangnya.

Baca Juga: Elga Sarapung, Aktif Suarakan Toleransi di Tengah Masyarakat 

Baca Juga: Ellen Nugroho, Ajak Anak-Anak Mengenal Keberagaman dari Seribu Wajah

Tradisi ngelawar dan ngejot di Piling, Penebel, Tabanan dalam menyambut Natal. (Dok. IDN Times)

Serupa, sekitar 43-an kilometer dari Klungkung, kehidupan antarumat beragama juga terjalin apik. Yakni di Desa Adat Piling, Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali.

Sejak 1937, masyarakat setempat menjalankan tradisi ngejot (membawa atau memberikan makanan kepada seseorang) saat perayaan hari besar keagamaan. Tidak hanya itu, mereka juga membuat lembaga gotong royong yang merangkul seluruh umat beragama, baik Hindu, Kristen Katolik, maupun Kristen Protestan.

"Misalnya saat Galungan, umat Hindu yang ngejot ke umat Kristen. Begitu juga sebaliknya, ketika hari Natal, umat Kristen yang ngejot ke umat Hindu.  Lalu, jika ada kegiatan adat seperti Ngaben (pembakaran mayat), tidak hanya umat Hindu, melalui lembaga gotong royong, umat Kristen juga akan membantu. Tentu bantuannya sesuai dengan masing-masing agama," aku Bendesa Adat Piling, I Made Sutarsa, Jumat (3/12/2021).

Sutarsa mengungkapkan, kunci kerukunan beragama bisa terwujud adalah saling berangkulannya tokoh agama di desa tersebut. Oleh karena itu, setiap muncul permasalahan, akan langsung dibicarakan oleh tokoh agama masing-masing sehingga cepat diselesaikan dan tidak menjadi panjang lebar. 

"Hal terpenting juga dalam menjaga kerukunan agama itu ada pada tokoh agamanya. Harus bisa memberikan contoh kepada warganya. Kalau tokoh agamanya saling sikut, maka warganya pun bisa ikut-ikutan," ujarnya.

Bankom dan Pecalang Hindu Labuhan Dalam melakukan kegiatan bersama. (Dok. IDN Times)

Suasana serupa juga terjadi di seberang Pulau Jawa. Umat Hindu dan Islam yang tinggal di Kelurahan Labuhan Dalam, Kecamatan Tanjungseneng, Kota Bandar Lampung hidup rukun berdampingan, sejak puluhan tahun lalu.

Mereka saling mendukung baik saat ada acara keagamaan--seperti Idulfitri, Iduladha, Nyepi, dan Galungan--maupun dalam kehidupan sehari-hari.

"Kami saling bekerja sama. Saat Salat Idulfitri atau Salat Jumat, mereka (umat Hindu) ikut membantu berjaga parkir dan ketika upacara Nyepi, Pujawali, hingga Galungan, Muslim turun membantu kesiapan hingga menjaga parkir," kata Ketua Bantuan Komunikasi dan Sosial (Bankom) Labuhan Dalam, Septia Wanto.

Jalinan silaturahmi dan komunikasi yang intens menjadi kunci sinergitas antarmereka terjalin dengan baik, tanpa harus memikirkan perbedaan keyakinan tiap-tiap individu. Sehingga, kehidupan berjalan tanpa ada gesekan atau masalah, terutama soal SARA.

"Kita selalu mengedepankan sikap saling menghargai, karena hidup di Dunia ini tidak bisa sendiri," ungkap Wanto.

Jalinan toleransi mereka juga ditunjukkan dengan kepedulian kepada sesama saat pandemik COVID-19. Wanto bersama pecalang setempat bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung mengupayakan vaksinasi virus corona kepada seluruh warga di kelurahan tersebut. 

Bangunan Kerukunan

Warga Kampung Gelgel pada saat Festival Semarapura. (Dok IDN Times/Pemkab Klungkung)

Kerukunan dalam kehidupan multidimensi sudah terpatri sejak berabad-abad di Kampung Gelgel, Kabupaten Klungkung, Bali. Warga di kampung yang mayoritas memeluk agama Islam itu hidup berdampingan dengan masyarakat adat Desa Gelgel yang dominan beragama Hindu.

Masing-masing dari mereka saling menerima, menghormati, membantu, serta menghargai sesama ketika beribadah meski berbeda keyakinan. Bahkan, lebih dari itu sudah terjadi pencampuran kekerabatan antarmereka.

"Kerukunan sudah terjaga lama sehingga tidak pernah ada konflik yang berbau ​suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di lingkungan. Kami biasa saling menghormati satu sama lain, berbaur, bahkan sudah biasa berbahasa Bali meski kepercayaan kami berbeda," kata pemuda asal Kampung Gelgel, Kabupaten Klungkung, Ilham Rosadi.

Millennial 22 tahun itu menyatakan, tantangan warga saat ini dalam bertoleransi adalah maraknya isu SARA yang muncul di media sosial. Namun, situasi itu gagal menggerogoti kuatnya sikap toleransi mereka.

Sebab, dalam menjalankan kehidupan, warga kampung dan masyarakat adat saling mengedepankan konsep persaudaraan serta saling percaya sehingga tidak pernah mengkotak-kotakan diri.

"Meski ada isu SARA yang beredar luas di medsos, masyarakat tetap hidup berdampingan dengan damai. Pecalang (petugas keamanan) sering membantu pengamanan saat warga Muslim beribadah di masjid. Demikian juga saat umat Hindu melangsungkan piodalan (upacara agama), tidak jarang warga Muslim membantu pengamanan. Saat Nyepi atau hari raya tertentu, tidak ada pengeras suara (azan)," ucap Ilham.

Baca Juga: Bukti Toleransi Beragama, Tabanan Rawat Tradisi Ngejot Sejak 1937 

Baca Juga: Perjuangan Saleh, Melawan Stigma demi Hak-hak Jemaah Ahmadiyah di NTB

Berita Terkini Lainnya