FK Undip Bentuk Satgas Evaluasi Sistem Pendidikan PPDS

Termasuk pengaturan jam kerja agar berkeadilan

Semarang, IDN Times - Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang membentuk satuan tugas (task force) untuk mengevaluasi sistem pendidikan yang terintegrasi dengan pelayanan yang terkait Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).

Sistem pendidikan tersebut menurutnya termasuk pengaturan jam kerja mahasiswa yang selama ini dianggap terlalu berat.

1. Satgas bakal bekerjasama dengan rumah sakit

FK Undip Bentuk Satgas Evaluasi Sistem Pendidikan PPDSUndip Tembalang Semarang. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Dekan FK Undip Yan Wisnu Prajoko mengatakan pembentukan satuan tugas itu bakal bekerja sama dengan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Kariadi Semarang atau RSDK.

Ia mengatakan bahwa FK Undip dan RSDK melalui "task force" akan menyusun langkah-langkah nyata, misalnya pengaturan jam kerja mahasiswa agar tidak terlalu membebani dan sebagainya.

"Task force antara FK Undip dengan RSDK ini menyusun langkah nyata, misalnya bersifat teknis, soal jam kerja mahasiswa atau anak didik. Ini harus berkeadilan, tidak boleh kelelahan. Nanti akan diatur detail tim 'task force'," katanya.

Selain itu, kata dia, tim "task force" menyiapkan juga desain penyelesaian di Prodi Anestesi yang diharapkan bisa dijadikan percontohan bagi program studi lainnya di FK Undip.

2. Beban kerja berat seorang PPDS anestesi

FK Undip Bentuk Satgas Evaluasi Sistem Pendidikan PPDSilustrasi epidural (freepik.com/wirestock)

Berdasarkan pengakuan Dekan FK Undip, dr Yan Wisnu selama ini kegiatan dokter PPDS memang cenderung didominasi di dalam rumah sakit. 

"Seperti saya sampaikan tadi proses penyidikan sedang berlangsung. Interaksi di dalam pendidikan itu 90 persen di dalam rumah sakit," kata Yan saat konferensi pers di Dekanat FK Undip, Jumat (23/8/2024).

Sedangkan untuk para dokter PPDS anestesi seperti almarhumah, kata Yan selama bertugas lebih banyak berkutat di ruang-ruang bangsal anak, ruang IGD, UGD, ICU bahkan punya tugas khusus menangani para pasien yang mengalami henti nafas. 

Sehingga, ia tak menampik anggapan bahwa beban kerja para dokter PPDS anestesi sangat banyak di rumah sakit. 

"Pendidikan anestesi tidak hanya di UGD, melainkan juga di kamar operasi, IGD di ICU untuk penanganan pasien-pasien yang henti nafas, anestesi di ruang anak juga banyak. Jadi memang beban kerjanya lebih banyak.  Memang perlu pengaturan yang lebih rumit tapi harus dilakukan," cetusnya. 

3. FK Undip terbuka untuk penyelidikan meninggalnya dokter ARL

FK Undip Bentuk Satgas Evaluasi Sistem Pendidikan PPDSDekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang Yan Wisnu Prajoko saat konferensi pers di Semarang, Jumat (23/8/2024). (ANTARA/Zuhdiar Laeis)

Diakui Yan sejak dokter Risma diterima sebagai mahasiswi PPDS Undip, menurutnya dokter Risma merupakan salah satu mahasiswi yang mendapat perhatian khusus, ini salah satunya dilihat dari riwayat sakit yang dideritanya.

"Kami identifikasi almarhumah perlu support khusus, semua pengajuan surat izin tidak ada yang tidak kami ACC, kami memudahkan. Beliau dua kali operasi kami izinkan, istirahat kami izinkan," katanya.

Melihat hal tersebut Ia berkeyakinan meninggalnya dokter Risma bukan karena perundungan di lingkup kampus Undip. "Dengan hal tersebut disimpulkan untuk yang bersangkutan ini tidak ada perundungan," katanya.

Meski begitu pihak Undip tetap menghormati proses penyelidikan oleh aparat kepolisian, dan pihaknya terbuka untuk bekerjasama dengan penyidik. "Dan kami sangat menghormati dan mendukung proses yang sedang dilakukan. Dan semoga, ya, kita bisa saling bekerjasama, berkolaborasi, sehingga dapat mendudukan perkara lebih baik dan menjernihkan masalah dengan lebih baik," katanya.

Baca Juga: FK Undip Pecat 3 Mahasiswa PPDS yang Melakukan Pelanggaran Berat

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya