Pro Kontra Tapera, Potong Gaji Jadi Solusi Atau Beban Baru Gen Z?

Pekerja tak rela tambahan potongan gaji untuk Tapera

Intinya Sih...

  • Presiden Jokowi mensahkan PP no 21 tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
  • Pemotongan gaji untuk Tapera mendapat respons kritis dari pekerja hingga generasi z atau Gen Z, pasalnya pemotongan gaji dirasa memberatkan karyawan dan juga perusahaan yang ikut menanggung.
  • Penolakan datang dari pengusaha yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap potongan gaji untuk Tapera karena pekerja sudah dibebani pungutan sebesar 18,24 -19,74 persen dari penghasilan mereka.

Presiden Jokowi mensahkan PP no 21 tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang mengharuskan pemotongan 3 persen gaji karyawan. Dari potongan itu, 2,5 persen ditanggung karyawan sedangkan 0,5 persen dari pemberi kerja.

Tapera  baru ini rencananya akan menghimpun dana pembiayaan rumah murah, pemotongan termasuk ke karyawan yang telah memiliki rumah. Kebijakan Tapera ini langsung menuai kontroversi dan penolakan dari berbagai kalangan, terutama buruh dan pekerja. Pemotongan gaji untuk Tapera mendapat respons kritis dari pekerja hingga generasi z atau Gen Z, pasalnya pemotongan gaji dirasa memberatkan karyawan dan juga perusahaan yang ikut menanggung 0,5 persen.

Penolakan juga datang dari pengusaha yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap potongan gaji untuk Tapera karena pekerja sudah dibebani pungutan sebesar 18,24 -19,74 persen dari penghasilan mereka, seperti jaminan sosial ketenagakerjaan, jaminan sosial kesehatan, dan cadangan pesangon.

Meskipun Pemerintah menyatakan Tapera bertujuan menghimpun dana murah jangka panjang untuk pembiayaan perumahan yang layak bagi peserta dengan azas gotong royong, kebijakan ini dinilai masih memberatkan masyarakat, terutama di tengah kondisi biaya hidup yang terus meningkat. Ditambah lagi kabar temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait 124.960 peserta belum menerima pengembalian dana sebesar Rp567,45 miliar membuat publik makin ragu terkait pengelolaan Tapera.

Mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD mengatakan, secara matematis potongan 3 persen untuk Tapera tidak masuk akal bagi masyarakat untuk bisa mendapatkan rumah.  

"Hitung-hitungan matematisnya memang tidak masuk akal. Misalnya, orang yang mendapat gaji Rp5 juta per bulan kalau menabung selama 30 tahun dengan potongan sekitar 3 persen per bulan hanya akan bernilai Rp100 juta. Untuk sekarang pun dengan uang Rp100 juta tak akan dapat rumah, apalagi 30 tahun yang akan datang," ujar Mahfud, melalui akun X-nya, dikutip Jumat 31 Mei 2024. 

Mantan cawapres nomor urut tiga itu menyebut bagi orang yang gajinya di atas Rp10 juta pun dalam waktu 30 tahun, tetap sulit mendapatkan rumah. Sebab, dalam 30 tahun kemudian, dana yang terkumpul baru Rp225 juta. 

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan, program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tidak akan ditunda. Lagi pula, program tersebut belum berjalan. “Kesimpulan saya bahwa Tapera ini tidak akan ditunda, wong memang belum dijalankan,” kata Moeldoko dalam konferensi pers di Kantor Staf Presiden (KSP), Jakarta Pusat, Jumat (31/5/2024).

Moeldoko menegaskan, Tapera merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam menangani persoalan papan atau perumahan. “Saya ingin tunjukkan undang-undangnya. Dasar hukum, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, serta Undang-undang Nomor 4 Tahun 2016, tentang Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera, ini diatur oleh undang-undang,” ujar mantan Panglima TNI itu.

Pemerintah mengklaim Tapera menjadi solusi masyarakat termasuk Gen Z untuk bisa memiliki rumah sendiri. Gen Z disebut menjadi salah satu generasi yang kesulitan memiliki rumah, selain harga properti yang kian tak terkendali, memiliki rumah sendiri bukanlah menjadi prioritas Gen Z.

Presiden Jokowi pun menanggapi bahwa perbedaan pendapat juga sempat terjadi saat pelaksanaan BPJS beberapa tahun silam. Namun setelah program berjalan, masyarakat akan merasakan manfaatnya."Kalau belum memang biasanya ada pro kontra. Seperti dulu BPJS, yang di luar PBI juga ramai. Tapi setelah berjalan dan merasakan manfaatnya, pergi ke rumah sakit tak dipungut biaya, semua berjalan," ujarnya.

Belakangan rencana pemerintah untuk memberlakukan PP no 21 tahun 2024 mendapat penolakan dari para buruh. Mereka menggelar aksi di Jakarta dan berbagai daerah di Indonesia, menuntut pemerintah membatalkan rencana pemotongan gaji untuk tabungan Tapera. Bahkan mereka akan menggugat aturan Tapera ke MA maupun MK.

Lalu apakah menurut Gen Z Tapera yang memotong gaji para pekerja bisa menjadi salah satu solusi bagi mereka memiliki rumah sendiri?

Baca Juga: Tapera Dinilai Tak Menjamin Gen Z di Serang Punya Rumah

Baca Juga: Menambah Beban Pekerja, Gen Z di NTB Tolak Potong Gaji untuk Tapera

Gen Z tak setuju gaji dipotong, tak semua orang butuh rumah melalui Tapera

Pro Kontra Tapera, Potong Gaji Jadi Solusi Atau Beban Baru Gen Z?Ilustrasi Tapera Mobile. (IDN Times/Trio Hamdani)

Wacana pemberlakuan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) membuat keresahan bagi karyawan, tak terkecuali para Gen Z, Arman (24) mengatakan program ini malah menambah beban bagi karyawan. "Saya tidak setuju dengan peraturan mengenai Tapera. Karena gaji sudah banyak terpotong untuk rumah sendiri, BPJS dan lainnya," kata Arman saat berbincang dengan IDN Times, Sabtu (8/6/2024).

Iuran Tapera tidak menjamin para pekerja akan mendapatkan rumah. Sebenarnya, kata dia, menabung untuk rumah bisa dilakukan secara mandiri tanpa intervensi pemerintah terutama di Kota Serang. "Negara harus memberikan solusi bukan menambah masalah bagi masyarakat," katanya.

Seorang pekerja milenial muda, Jejen (28), yang sudah memiliki rumah, menilai iuran Tapera bagi pekerja yang sudah memiliki rumah jika tetap dipaksakan, tentu sangat merugikan. "Konsep Tapera itu harusnya pemerintah menyubsidi rakyat, bukan rakyat bantu rakyat," katanya

Thoifah Ibnu Fiqri (25) asal Magetan berpendapat iurah Tapera hanya cocok diterapkan bagi karyawan yang gajinya di atas Rp8 juta. "Yang jelas akan terima gaji sedikit dan tidak cukup untuk biaya hidup yang kian hari kian mahal. Belum dipotong untuk BPJS, pinjaman pembiayaan kendaraan dan sebagainya," ungkapnya. 

Tapera menurutnya cocok diberlakukan untuk ASN, TNI Polri atau karyawan BUMN sementara bagi pekerja swasta seperti dirinya dengan gaji UMK tidak cocok. "Yang jelas akan membebani kami kalau 2,5 persen gaji UMK dipotong untuk Tapera. Sangat tidak setuju," tegasnya.

Ratna (25) asal Mataram mengaku Tapera belumlah menjadi prioritas bagi dirinya "Karena saya masih umur 25 tahun, menurut saya rumah itu memang perlu. Cuma saat ini belum penting karena saya masih bisa mengontrak rumah," kata Ratna. Ia mengatakan gaji pekerja sesuai UMR di Kota Mataram yakni sebesar Rp2,4 juta. Jika dipotong sebesar 3 persen untuk Tapera, maka gaji tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama sebulan.

"Perlu ada tunjangan perumahan untuk pegawai swasta. Masa gaji dipotong lagi 3 persen, dong berapa sisa gaji kita untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari," katanya.

Daripada memotong gaji pekerja untuk program Tapera, Ratna meminta pemerintah memperbanyak dan mempermudah akses masyarakat mendapatkan rumah subsidi. Sehingga anak muda juga bisa memiliki rumah. Selain itu, Ratna mengatakan tidak semua orang membutuhkan rumah melalui Tapera, karena ada juga yang sudah mempunyai rumah. Jika program Tapera benar-benar direalisasikan pemerintah, Ratna khawatir, para pekerja tambah stres.

Karena uang yang biasanya disiapkan untuk healing setiap bulan akan tersedot untuk Tapera."Padahal healing bisa bikin kerja makin semangat. Kalau tidak healing maka pekerja akan stres, produktivitas kita juga akan berkurang," kata gadis asal Lombok Timur ini.

Rania (23), salah seorang Gen Z di Kota Makassar, mengaku tidak setuju dengan kebijakan Tapera. Karena menurutnya, hal itu tentu menjadi beban untuk masyarakat kelas menegah ke bawah dan menjadikan yang menengah ke atas semakin diuntungkan. 

"Ini membuat Gen Z tidak bisa mengasah potensi mereka," kata Rania saat diwawancarai IDN Times, Minggu (9/6/2024). Menurut Rania, Tapera belum tentu bisa memfasilitasi Gen Z punya rumah.

Menurutnya kebijakan ini malah membuat stigma negatif dan menjadikan Gen Z menjadi lebih buruk, bukan menjadi lebih baik. "Memiliki rumah sendiri itu bukan masalah umum yang harus dipedulikan dan dibebankan kepada masyarakat," kata Rania.

Zul (24) pekerja freelance asal Lampung merasa keberatan jika uang hasil kerjanya harus dipotong untuk tabungan perumahan, saat ini saja uang hasil pekerjaanya yang tidak tentu telah banyak potongan. Selain itu, Zul juga khawatir uang tabungan tersebut akan dikorupsi seperti kasus yang sudah-sudah. Sebagai Gen Z ia merasa mampu menabung sendiri untuk membeli rumah.

Ayu Widiasmari (24) asal Desa Kelating, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan mengatakan Gen Z seperti dirinya bisa saja membeli rumah asal memiliki pengaturan keuangan yang baik."Bagi saya ya atur keuangan dengan baik. Tabung dan sisihkan pendapatan jika memang tujuannya untuk membeli rumah," ujarnya. Ayu sendiri, ia bercita-cita memiliki rumah dengan lima kamar di wilayah Kabupaten Tabanan. "Kalau besaran bajetnya nanti dihitung," ujarnya.

Selain Gen Z, program Tapera juga ditolak milenial. Buniamin (30), seorang pekerja swasta di Kota Mataram lebih memilih membangun rumah sendiri ketimbang gaji dipotong untuk Tapera. Buniamin mengatakan program Tapera menambah beban pekerja.

"Karena saya punya tanah, ngapain beli rumah lewat program Tapera. Masa' gaji dipotong setiap bulan. Saya gak suka gaji dipotong-potong lagi. Karena gaji sudah dipotong untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan," kata gadis asal Sembung, Lombok Barat ini.

"Kalau sudah punya rumah, kapan uang kita balik yang sudah dipotong. Karena banyak ASN yang belum dikasih Taperanya. Menurut saya, kasih kebebasan kepada masyarakat. Mau punya rumah, mau ngontrak, terserah mereka," ujar Buniamin.

Baca Juga: Pengembang Perumahan Klaim Iuran Tapera Bisa Kurangi Backlog di Jateng

Baca Juga: Buruh Pabrik Karet Semarang Tolak Tapera: Iuran 50 Tahun Cuma Terkumpul Rp48 Juta

Gaji dipotong 50 tahun, terkumpul Rp48 juta, gak cukup beli rumah

Pro Kontra Tapera, Potong Gaji Jadi Solusi Atau Beban Baru Gen Z?Buruh demo Tapera di Bundaran Patung Kuda, Jakarta Pusat. (IDN Times/Amir Faisol)

Sejumlah buruh pabrik Kota Semarang secara terang-terangan menolak keputusan pemerintah yang akan memotong gaji 2,5 persen untuk iuran Tapera. Musababnya, mereka menganggap iming-iming mendapat rumah dari iuran Tapera merupakan suatu yang mustahil. 

Ngatimin, seorang buruh pabrik karet di Kawasan Tambakaji Semarang mengaku gaji yang diterima saban bulan tidak mencukupi untuk mengikuti iuran Tapera. Ngatimin sendiri sudah bekerja sebagai buruh pabrik semenjak tahun 1997. Tahun ini ia hanya menerima gaji Rp2,4 juta per bulan. Gaji yang ia terima di bawah patokan UMK Kota Semarang tahun 2024 yang ditetapkan sebesar Rp3,2 juta. Bahkan, gajinya sering dipotong untuk menyesuaikan jam kerjanya. 

Ia memberi contoh bahwa apabila masuk kerja sebulan full maka diberi gaji Rp2,4 juta. Sementara bila ia bekerja setengah bulan dipotong menjadi Rp800.000."Untuk kesehari-hariannya saja sudah kesulitan dan bingung.  Karena, saya bekerja dalam satu bulan tidak full, jadi setengah bulan masuk dan setengah bulannya lagi libur. Makanya saya sebagai pekerja keberatan ditarik iuran Tapera 2,5 persen," kata Ngatimin, Kamis (6/6/2024). 

Tak cuma itu saja, menurut pria yang tinggal di Jalan Tegal Rejo RT 07 RW XIII Tambak Aji itu, gaji yang ia terima Rp2,4 juta tersebut juga harus dikurangi dengan iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Jika ditotal ia saban bulan mesti membayar iuran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan sebanyak Rp170 ribu. 

Ia pun berusaha menghitung iuran Tapera jika seandainya bisa terkumpul selama setahun. Kalau gajinya dipotong untuk iuran Tapera 2,5 persen, maka ia punya kewajiban membayar iuran sekitar Rp800 ribu per bulan. 

Maka dalam jangka waktu per tahun, uang yang terkumpul adalah Rp9.600.000. Untuk jangka waktu 20 tahun uang iuran Tapera yang dikumpulkan Rp19.200.000.Berdasarkan perhitungan tersebut, dia pesimistis  bisa memperoleh rumah dari hasil mengikuti iuran Tapera.

Ngatimin memastikan dia tidak akan sanggup membeli rumah pada usia pensiun dari hasil uang iuran Tapera. "Apakah waktu 50 tahun ke depan, buruh bisa beli rumah pastinya nggak mungkin. Karena perhitungannya yaitu hanya terkumpul uang Rp48 juta dari Tapera. Padahal harga rumah subsidi saat ini, yang paling murah Rp155 juta," ujarnya. 

Ketimbang dipakai Tapera, Ngatimin mengakui lebih memilih dialihkan ke kebutuhan yang tak terduga seperti biaya sekolah anaknya sampai perguruan tinggi. "Iuran Rp80 ribu mending ditabung sendiri dan dimanfaatkan untuk masa depan anak saya yang masih membutuhkan biaya cukup besar untuk jenjang sekolah lebih tingi. Belum lagi pengeluaran tak terduga karena hidup kayak gitu," ungkapnya

Aulia Hakim, Sekretaris Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jateng mengecam tindakan pemerintah yang berencana memotong gaji pekerja, karena akan menjadi kebijakan yang blunder. "Padahal jika mengacu pada undang-undang nomor 4 tahun 2016 adalah sukarela tetapi Tapera menjadi paksaan," ungkapnya di tengah unjuk rasa menolak iuran Tapera di kantor Gubernur Jateng. 

KSPI menganggap pungutan iuran Tapera belum tepat dijalankan saat ini. Justru jika benar-benar diberlakukan, maka iuran Tapera yang diatur dalam PP nomor 21 tahun 2024 menjadi aturan yang blunder. "Potongan 2,5 persen untuk Tapera dianggap sangat ngawur dan akal-akalan dari pemerintah yang diduga pemerintah sedang butuh uang," tegas Aulia.

Ia mendesak pemerintah pusat mengkaji ulang aturan tersebut. Jangan sampai muncul korupsi di Tapera seperti kasus yang mencuat di Asabri dan Taspen. "Tapera kurang tepat dijalankan sebelum ada pengawasan yang sangat melekat untuk tidak terjadinya korupsi dalam dana program Tapera," ujarnya. 

Majelis Pekerja Buruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (MPBI DIY) menuntut pemerintah agar terlebih dahulu membangun sistem pengamanan iuran Tapera agar tidak menjadi kasus Jiwasraya kedua. Pihaknya pun meminta pemerintah memperbanyak pembangunan perumahan rakyat di DIY dengan DP 0 persen, dan cicilan maksimal Rp500 ribu/bulan. "Pemerintah menyempurnakan program jaminan perumahan rakyat dan naikkan upah buruh 50 persen, turunkan harga rumah 50 persen," ujar Koordinator MPBI DIY, Irsad Ade Irawan, Selasa (28/5/2024).

Ketua Federasi Serikat Buruh (FSB) Niaga, Informatika, Keuangan, Perbankan, dan Aneka Industri (Nikeuba) Kota Palembang Hermawan mengatakan, jika pemerintah sebelumnya memaksakan UU Omnibus Law Cipta Kerja dan kini berusaha menyerap gaji masyarakat lewat Tapera. Sedangkan saat proses kenaikan gaji, pemerintah abai tak mendukung kenaikan gaji yang proporsional bagi pekerja.

"Tapera menambah beban finansial pekerja. Kondisi upah saja tidak naik yang bahkan hanya naik sekitar Rp50.000," kata dia. Kondisi ekonomi yang semakin sulit, dengan harga bahan pokok dan kebutuhan lainnya terus meningkat, membuat kebijakan Tapera terasa sangat tidak tepat bagi para buruh.

Upaya menyerap uang buruh dinilai Hermawan tidak tepat. Kalaupun pemerintah ingin merumuskan kebijakan perumahan bagi buruh maka penyediaan rumah subsidi lah yang harus didorong. "Tapera ini tidak tepat. Dengan adanya pungutan bulanan ini justru akan memberatkan pekerja," ucapnya.

Beban pengusaha naik dua kali lipat jika ada potongan Tapera

Pro Kontra Tapera, Potong Gaji Jadi Solusi Atau Beban Baru Gen Z?Potret komplek perumahan bersubsidi dari program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). (dok. Kementerian PUPR)

Tak hanya mendapat penolakan dari para buruh pemberlakuan potongan gaji dan beban membayar Tapera juga mendapat penolakan dari para pengusaha. Asosiasi Pengusaha Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (Apindo DIY) menolak PP nomor 21 tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) nomor 25 tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). 

"Kami Apindo DIY menolak keras pelaksanaan PP 21 tahun 2024 terkait Tapera. Meminta pemerintah menunda pelaksanaan Tapera itu," tutur Wakil Ketua Umum Apindo DIY Bidang Ketenagakerjaan, Timotius Apriyanto, Kamis (30/5/2024).

Timotius menyebut jika tidak ada revisi, Apindo DIY berhak tidak menjalankan PP tersebut. Ia mengungkapkan PP tentang Tapera bertentangan dengan Undang-Undang nomor 21 tahun 2006 tentang Tabungan Perumahan rakyat yang bersifat sukarela. "Belum ada pembahasan yang komperhensif melibatkan banyak pihak. Artinya memang PP ini bertentangan dari sifat Undang-Undang itu. PP (sebelum perubahan) voluntery, ini menjadi mandatory, ini menjadi masalah. Yang menjadi masalah bukan Taperanya, yang menjadi masalah itu mandatory-nya  tanpa persiapan lebih lanjut," ungkap Tim.

Menurutnya, Tapera ini akan memunculkan beban moral pengusaha, karena semua pekeja yang sudah memiliki rumah maupun yang tidak wajib ikut program Tapera. Selain itu, Apindo menyoroti tata kelola Tapera yang belum jelas. "Program BPJS juga butuh waktu yang lama. Terlebih PP yang digunakan bertentangan dengan Undang-Undang. Kalau PP bertentangan dengan Undang-Undang ya bisa diabaikan," ucap Tim.

Tim menyebut saat ini kondisi dunia usaha belum sepenuhnya pulih. Ia mencontohkan sektor riil, sektor konstruksi masih terpuruk, termasuk industri tekstil, produk tekstil, dan sejumlah industri lainnya belum bangkit sepenuhnya pasca pandemik Covid-19. Hal ini ditambah dampak tekanan situasi geo politik yang mempengaruhi rantai pasokan dunia. "Itu otomatis mempengaruhi demand, permintaan turun dari Eropa maupun Amerika, bahkan Timur Tengah," ujarnya.

Ketua PHRI Sumsel, Kurmin Halim mengatakan penarikan iuran Tapera sangat memberatkan. Apalagi aturan tersebut dinilai dipaksa tanpa ada diskusi. "Ini jadi tambahan bagi kami pengusaha, pelaku usaha harus bayar 0,5 persen ditambah kami harus memberikan 2,5 persen bagi karyawan yang bekerja di usaha mereka berupa pemberian gaji," kata dia.

Kurmin menerangkan, beban Tapera kian memberatkan karena para pengusaha juga diwajibkan membayar iuran BPJS bagi karyawan yang bekerja di tempat usaha mereka. "Angkanya juga tidak kecil (iuran BPJS). Jadinya kami ada beban dua kali lipat, sebagai pelaku dan sebagai pemilik usaha," dia menambahkan.

Selain jadi tambahan beban ekonomi bagi masyarakat, program Tapera pun tak akan efisien. Sebab kalau dihitung secara rasional, Tapera hingga 100 tahun tak bisa untuk beli rumah. "Kami juga tidak yakin dengan program tersebut, sebab dari tabungan yang disimpan kalau dihitung dari UMR mungkin sampai 100 tahun juga tidak bisa untuk membeli rumah. Termasuk rumah subsidi yang setiap tahun terus naik,” ujar dia.

Keresahan terhadap pemberlakuan pemotongan 3 persen untuk Tapera juga diungkapkan pelaku UMKM di Magetan, Baikuni. "Mewajibkan perusahaan menanggung 0,5 persen iuran Tapera akan menambah beban operasional, terutama bagi UMKM yang sedang berjuang untuk bertahan, belum yang merintis seperti kami. Ditambah lagi pajak-pajak" ujarnya.

Baikuni berpendapat bahwa pemerintah seharusnya fokus menumbuhkan dan mengembangkan UMKM serta menciptakan peluang kerja bagi Gen Z. Menurut data Disnaker Magetan, ada 16 ribu Gen Z di Magetan yang masih menganggur, sebagian besar adalah lulusan SMK. "Tapera justru akan menambah kesengsaraan mereka yang baru memulai kerja. Ciptakan lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya, jika sejahtera mereka otomatis bisa membeli rumah sendiri," katanya.

Cara licik membiayai pembangunan IKN?

Pro Kontra Tapera, Potong Gaji Jadi Solusi Atau Beban Baru Gen Z?Pengamat Ekonomi Universitas Mataram Dr. Firmansyah. (dok. Istimewa)

Pengamat Ekonomi Universitas Mataram Dr irmansyah mengatakan pemotongan gaji pekerja sebesar 3 persen untuk program Tapera akan berdampak terhadap tidak bergairahnya ekonomi. Menurutnya, program Tapera akan membuat konsumsi rumah tangga akan menurun.

Dikatakan, pekerja adalah kelompok kelas menengah yang selama ini berperan penting dalam menggerakkan perekonomian. "Saya khawatir belanja sehari-harinya akan terbatas atau berkurang. Sementara kita ingin menggairahkan perekonomian lewat konsumsi masyarakat. Ini akan berdampak pada perekonomian. Apalagi daerah industri yang memang ekonominya ditopang oleh belanja rumah tangga. Karena belanja berkurang dengan pemotongan Tapera," ucap Firmansyah.

Gaji yang seharusnya teralokasi untuk belanja di UMKM, tempat makan, rekreasi dan lainnya tidak akan tersalur lagi. Sehingga uang yang beredar juga berkurang akibat pemotongan gaji untuk Tapera. "Pekerja ini masuk kategori kalangan menengah. Kalangan menengah inilah yang banyak berbelanja di luar. Mereka menggerakkan ekonomi. Sehingga, kalau Tapera ini berjalan maka yang merasakan juga UMKM," katanya.

Pengamat ekonomi Sumatra Selatan (Sumsel), Yan Sulistyo menyebutkan kebijakan Tapera bagi swasta dan pegawai freelance merupakan cara pemerintah memaksa masyarakat memberikan dana kepada pemerintah dalam memenuhi kebutuhan proyek.

"Tapera merupakan cara licik pemerintah ambil dana dari masyarakat untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Ini analisa saya," katanya kepada IDN Times, Selasa (28/5/2024). Yan menilai Tapera yang dibebankan kepada pegawai swasta adalah cara lain pemerintah memenuhi kekurangan dana dalam pembangunan IKN, karena dari data Kementrian Keuangan (Kemenkeu) kebutuhan anggaran IKN tahun 2024 mencapai Rp39,8 Triliun.

"Sementara saat ini dari yang dikatakan Menkeu Sri Mulyani, pemerintah baru memiliki Rp4,8 triliun. Kemudian nanti di 2025 anggaran IKN naik menjadi Rp72 triliun. Artinya pemerintah kurang dana banyak, dan masih banyak kebutuhannya," ujar dia.

Kebijakan Tapera sebelumnya memang telah diterapkan dari iuran yang dibebankan kepada ASN, TNI, Polri, dan karyawan BUMN, BUMD serta Bumdes. Namun untuk aturan terbaru kepada pegawai swasta yang disebut dengan istilah subsidi silang bukan menjadi solusi terbaik.

"Kalau rencana Tapera swasta untuk subsidi, bagaimana progres dari iuran BUMN, BUMD sebelumnya? Bukan jadi solusi terbaik (Tapera swasta). Jika tujuan membantu yang membutuhkan (Tapera) kenapa tidak ambil gaji, tunjangan dari komisaris direksi BUMN, perbankan milik negara? Ketimbang menarik iuran dari swasta yang rata-rata menengah ke bawah dan notabene untuk memenuhi kebutuhan harian juga sulit," ujarnya.

Dr M Zainul, pakar ekonomi di Kalimantan Selatan mengatakan Tapera belum bisa diterapkan jika melihat situasi perekonomian di tengah naiknya harga sembako dan persoalan finansial yang belum stabil saat ini. Apalagi kebijakan ini belum memiliki kejelasan. Potongan gaji sebesar 3 persen bahkan terkesan membingungkan.

"Kata kuncinya, pemerintah harus memberikan kepastian atau kejelasan, misalnya berapa tahun bisa mendapatkan rumah, dikhawatirkan, Tapera hanya taktik pemerintah untuk mendapatkan dana," ujarnya.

Pengamat sosial dari Unika Soegijapranata Semarang, Hermawan Pancasiwi juga mempertanyakan program Tapera . Apalagi ia menilai program ini tidak cocok dengan Gen Z. Sebab, saat ini Gen Z tidak lagi tertarik untuk membeli rumah. “Rumah tapak sering kali menjadi sesuatu yang mungkin membuat mereka repot. Gen Z akan cenderung memilih hunian seperti apartemen dan kondominium,” katanya, Sabtu (8/6/2024).

Menurut dosen Program Studi Ilmu Komunikasi itu, anak-anak muda kelahiran 1997 hingga 2012 ini tidak mau repot dengan urusan rumah tangga di tengah kesibukan aktivitas sehari-hari. Mereka lebih tertarik dengan sesuatu yang serba praktis. Sehingga, mereka sudah tidak memandang rumah sebagai kebutuhan primer.

Gen Z merupakan manusia modern bersifat monodimensional atau hanya memiliki satu dimensi, layaknya kuda yang memakai kacamata. Gen Z mudah mengeluarkan uang untuk hal-hal yang tidak penting, salah satunya gonta-ganti gadget.

“Mereka adalah orang-orang praktis yang selalu mengenggam teknologi. Jadi, kebutuhan mereka akan rumah sekarang tidak lagi primer, bisa menjadi sekunder, bahkan tersier,” kata pria yang akrab disapa Hengwi. Sehingga, kebijakan Tapera yang turut menyasar Gen Z untuk memiliki rumah di masa depan sudah tidak relevan dengan segala dinamika yang generasi itu alami. “Rencana pemerintah untuk Tapera itu omong kosong karena rumah sudah tidak laku sebetulnya. Apalagi, jika kebijakan itu menyasar Gen Z,’’ ujarnya.

Menurut dia, Gen Z lebih tertarik pada hal-hal berbau teknologi komunikasi dan informasi dibandingkan rumah. Adapun, terkait hunian mereka tidak akan mempermasalahkan sekecil apa tempat tinggalnya. Asalkan, kehidupan mereka didukung dan terhubung dengan teknologi. “Hal itu menunjukkan bahwa sekarang Gen Z memiliki orientasi dan kesukaan pada barang-barang modern, termasuk teknologi komunikasi berupa smartphone,” ujarnya.

Setoran Tapera mestinya bersifat sukarela dan dikelola transparan

Pro Kontra Tapera, Potong Gaji Jadi Solusi Atau Beban Baru Gen Z?Infografis asal mula lahirnya potongan Tapera ((IDN Times)

Pengamat ekonomi sekaligus Rektor Universitas Widya Mataram, Edy Suandi Hamid, menyebut kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) harus bersifat sukarela. Selain itu, pengelolaan dana Tapera ini harus transparan. "Kalau kita melihat niat dari regulasi itu bagus, supaya buruh memiliki rumah. Nah, tetapi kan kita melihat sering kali manajemen keuangan yang dikaitkan dengan pengelolaan dana-dana seperti itu tidak optimal," ucap Edy, Selasa (28/5/2024).

Mantan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) tersebut mengatakan, pengalaman pengelolaan dana yang tidak optimal tersebut membuat para buruh/karyawan menjadi ragu-ragu. "Tidak ada trust, maka (karyawan berpikir) lebih baik gak usah," ungkap Edy. Melihat adanya keraguan masyarakat, kebijakan tersebut bisa dijalankan tetapi sifatnya sukarela, tidak bisa dipaksakan. "Kalau mereka yang merasa yakin, merasa akan bermanfaat silakan dipotong 2,5 persen, ada tambahan 0,5 persen dari majikan (perusahaan)," ujar Edy.

Edy juga menyinggung soal transparansi pengelolaan dana yang ada. Dana dari pekerja tersebut harus transparan, dan ada pertanggungjawaban ke publik soal pengelolaan keuangan itu. "Karena gak boleh digunakan untuk investasi yang berisiko tinggi, apalagi spekulatif," ucap Edy. Selain itu diungkapkan Edy apa yang didapat pekerja nantinya juga harus jelas. Misal selama setahun ada tabungan Rp100 juta harus jelas kenaikannya. "Jangan kenaikan setahun 1 persen, 2 persen, rugi mereka, lebih baik kelola sendiri," ujarnya.

Edy juga memberi saran Tapera ini bisa dikelola kantor masing-masing pekerja. Menurutnya dengan begitu risiko lebih kecil, karena pengawasan bisa lebih dekat. "Kalau satu lembaga nasional, mereka gak punya kesempatan ngawasin, hanya bagian kecil. Kelola sendiri (oleh kantor) pengawasan lebih dekat," ucap Edy.

Ekonom Sumut Armin Rahmansyah menyebutkan, pemberlakuan Tapera mesti transparan, "Tapera ini harus transparan. Kalau memang untuk rumah, ya, harus diwujudkan. Harus jelas akadnya, sampai berapa lama gaji pekerja dipotong. Kan tidak mungkin, kan, baru dipotong bulan ini dia sudah dapat rumah? Pasti ada periodenya. Ini harus clear dan harus dijelaskan ke pekerja. Kalau misalnya ini sudah clear, dijalankan dengan akuntabel, maka saya kira akan bagus," ujar Amrin yang juga merupakan Dosen Unimed ini. Sebaliknya, jika Tapera tidak berjalan alias hanya untuk mengumpulkan dana dan timbul polemik di pekerja, Amrin mengatakan jika Tapera akan membahayakan.

Reaksi pekerja baginya harus diperhatikan dan jangan sampai muncul gesekan antara pengelola dengan pekerja. "Solusinya ialah giat sosialisasi, transparansi, dan akuntabel. Kalau tak dibuat seperti itu, alias hanya potong, potong, dan potong, tidak akan jalan itu Tapera. Karena setiap berkaitan dengan pemotongan gaji itu sangat sensitif pada pekerja. Bahkan bisa memicu pertikaian. Kalau tidak tahu kapan bisa dapat rumah, ya, sama saja," lanjutnya.

Pada prinsipnya solutif untuk dijalankan dan pemerintah harus hadir untuk memfasilitasi masyarakat yang belum punya rumah. Baik itu PNS, bahkan kelas pekerja yang penghasilannya sesuai UMP. "Kalau pemerintah tidak memfasilitasi ini, maka akan kita lihat jumlah masyarakat yang tidak memiliki rumah semakin tahun semakin bertambah. Karena kalau dari data BPS, seingat saya sekitar 15 persen dari data penduduk atau sekitar hampir 12 jutaan keluarga itu belum punya rumah. Jadi memang harus difasilitasi oleh pemerintah. Kalau tidak, sampai kapan nanti pekerja berpenghasilan sesuai UMP atau PNS berpenghasilan rendah itu punya rumah?" katanya kepada IDN Times, Selasa (28/05/2024).

Armin menganggap jika ini merupakan salah satu upaya untuk mengatasi kesenjangan kepemilikan rumah atau kekurangan rumah. Kalau dilihat data, setiap tahun sekitar 800 ribuan kekurangan pasokan rumah, sementara yang dibangun pengembang hanya sekitar 400 ribu, sehingga kekurangan rumahnya 12 juta.

"Ini kan ada gep yang sangat tinggi sebenarnya. Kalau kita lihat sekarang, problem yang membuat pekerja itu belum punya rumah salah satunya karena harga yang mengalami kenaikan. Kalau kita misalnya mau membeli dengan cara kredit, maka uang muka yang harus diserahkan juga semakin tinggi. Maka di situlah saya kira peran badan pengelola Tapera hadir untuk menyelesaikan masalah ini," tutur dia.

Apa kata pengusaha properti?

Pro Kontra Tapera, Potong Gaji Jadi Solusi Atau Beban Baru Gen Z?Potret komplek perumahan bersubsidi dari program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). (dok. Kementerian PUPR)

Sementara itu para pengembang perumahan yang tergabung dalam Asosiasi Perumahan Sederhana Nasional (Apernas) memperkirakan program pemotongan gaji untuk iuran Tapera nantinya bisa mengurangi angka backlog rumah di Indonesia. Sebab dengan adanya Tapera masayarakat bisa lebih gampang memperoleh subsidi rumah ketimbang program lainnya. Backlog perumahan dapat diartikan sebagai kondisi kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan rakyat.

Ketua Apernas Jawa Tengah, Eko Purwanto mengatakan iuran Tapera bukanlah barang baru bagi masyarakat Indonesia. "Program ini sudah pernah jalan di ASN/TNI/Polri, maka simpanan memudahkan debitur dapat rumah meski harga naik, setidaknya untuk DP rumah dan memudahkan cicilan agar serapan kedepannya lebih cepat lagi dan backlog tinggi bisa turun signifikan," ungkap Eko, Senin (3/6/2024). 

Kehadiran PP 21/2024 tentang Penyelenggaraan Tapera diklaim bisa menjadi stimulus bagi pengembang maupun masyarakat agar mudah memperoleh rumah. Justru yang terjadi saat ini pencairan Kredit Perumahan Rakyat (KPR) fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) masih kurang untuk mengejar angka ketertinggalan backlog. Sebab, FLPP hanya menhandalkan subsidi dari pemerintah yang terbatas pada kuota per tahunnya. "Budget-nya terlalu dibatasi. Maka iuran Tapera ini kami optimis bisa mengurai angka itu. Karena adanya iuran, debitur mengangsurnya bisa lehih ringan, apalagi sudah ada tabungan yang diambil khusus untuk rumah," ujarnya. 

Di Jateng angka backlog atau kebutuhan akan kepemilikan rumah di 35 kabupaten/kota menurut Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Disperakim)mencapai 324.855 unit. Tercatat daerah paling banyak ditemukan backlog ialah Kabupaten Brebes dengan 22.453 unit, Kabupaten Tegal dengan 22.106 unit, dan Kabupaten Klaten dengan 21.634 unit. "Backlog itu tiap daerah masih diatas 1 juta. Tapi kami sudah lakukan intervensi mulai dari progran RTLH, KPR dan ada juga program Jateng Gayeng Bangun Omah Bareng, dandani omah bareng, tuku omah oleh omah," kata Kepala Disperakim Jateng, Arief Djatmiko. 

Tak cuma itu saja, Kota Solo juga ditemukan backlog sebanyak 17.016 unit, Sukoharjo dengan 11.988 unit, Boyolali dengan 6.571 unit, Karangayar dengan 5.760 unit, Sragen dengan 5.648 unit, dan Wonogiri dengan 4.952.Arief pun tak menampik bila backlog mencapai 324.855 itu merupakan angka yang besar. Sebab selama ini, banyak kendala yang menjadi tantangan untuk mengatasi krisis kesenjangan kepemilikan dan kebutuhan rumah. Kendala utama yaitu data terus berkembang karena jumlah orang tiap tahun pasti bertambah. 

Pihak Real Estate Indonesia (REI) Sumatera Selatan menilai Tapera bisa menjadi stimulus kepemilikan rumah. "Kebijakan Tapera bisa jadi stimulus sekaligus dorongan kepemilikan rumah dan meningkatkan animo publik untuk beli atau punya hunian sendiri," ujar Ketua DPD REI Sumsel, Zewwy Salim, Rabu (29/5/2024).

Bahkan menurut Zewwy, Tapera dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. "Tapera dinilai dapat membuka lapangan pekerjaan baru karena sektor properti yang diperkirakan menggeliat," kata Zewwy.  Program Tapera bisa jadi alternatif bagi pemerintah untuk memperbesar market perumahan dan pembiayaan perumahan terhadap Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), sehingga dapat meningkatkan pemenuhan serta keterisian perumahan.

Sementara itu pengembang perumahan di Magetan, Bedit Nana Sambodo mengatakan Tapera adalah skema untuk membantu pembiayaan, bukan pemberian rumah gratis atas dana tabungannya. "Dana Tapera bagi yang belum memiliki rumah bisa membantu meringankan uang muka atau angsuran rumah, dan bagi yang sudah memiliki rumah bisa membantu pembiayaan renovasi rumahannya. Jika dikelola dengan baik dana tapera diharapkan akan mampu memutus angka backlog masyarakat yang belum memiliki rumah dan jumlahnya masih sangat banyak," ucap Bedit.

Kata dia, Tapera berpotensi menjadi solusi nyata bagi masalah kepemilikan rumah di Indonesia, khususnya bagi Gen Z. "Namun, tantangan dalam implementasi, termasuk beban bagi karyawan dan perusahaan, serta risiko penyalahgunaan dana, perlu mendapat perhatian dan pengawasan serius," dia menambahkan. Implementasi Tapera membutuhkan pengawasan ketat untuk memastikan tujuan utama dari program ini dapat tercapai tanpa menambah beban yang signifikan bagi karyawan dan perusahaan.

Sekretaris Apernas DIY, Suranto Ramli menyebutkan dalam pelaksanaan pemerintah wajib memilih pengembang atau developer yang benar-benar berkualitas. "Pemerintah harus wajib berhati-hati kepada para pengembang yang diperintah membangun Tapera. Hal ini mengingat banyak pengembang belum jelas memiliki perizinan namun mereka telah mendapatkan kepercayaan dari pemerintah," ungkap Suranto.

Dia menambahkan, perlu dilihat juga meski developer ini masuk ke komunitas atau lembaga lembaga organisasi pengembang besar dan bonafide. "Hati-hati dengan pengembang model demikian karena dalam komunitas developer besar pun banyak pengembang yang tidak jelas seperti ini," kata dia.

Tim penulis: Khaerul Anwar (Banten), Riyanto (Jatim), Muhammad Nasir (NTB), Fariz Fardianto (Jateng), Anggun Puspitoningrum (Jateng), Herlambang Jati Kusumo (Jogja), Ranga Erfizal (Sumsel), Feny Maulina Agustin (Sumsel), Eko Agus Harianto (Sumut), Ni Ketut Wira Sanjiwani (Bali), Silviana (Lampung), Hamdani (Kaltim) Ashrawi Muin (Sulsel)

Baca Juga: Kata Gen Z Makassar soal Tapera: Bukan Solusi, Malah Menyusahkan!

Baca Juga: Polemik Tapera, Gen Z Lampung Tak Setuju, Takut Dikorupsi

Topik:

  • Bandot Arywono
  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya