Menjaga Keseimbangan dari Ketenaran Sang Anabul Kucing

Animal welfare menjadi kunci

Intinya Sih...

  • Chlowie, kucing viral di Tiktok, diperlakukan layaknya manusia oleh pemiliknya yang menolak aksi eksploitasi hewan.
  • Populasi kucing peliharaan meningkat di Indonesia, mencapai 4,8 juta ekor pada tahun 2022.
  • Kafe dan petshop khusus kucing menjamur sebagai dampak tren cat influencer, mempengaruhi perilaku publik terhadap kucing.

Siapa yang suka lihat video kucing jadi senyum-senyum sendiri? Atau malah gemas dan tertawa akan kelakuannya.

Seperti tingkah lakunya Chlowie. Kucing domestik ras kampung itu viral di media sosial Tiktok karena ulahnya memarahi sang pengasuhnya.

Aksi tersebut membuat Chlowie terkenal dan kini memiliki pengikut (followers) sebanyak 2,4 juta di akun Tiktok @chlowie88.

@chlowie88 Kirain kenapa ih taunya kamu cemburu ya wkwkwk #kucingtiktok#kucinglucu#chlowie ♬ dudul - pinkbrain

Chlowie sebelumnya adalah kucing jalanan. Sang pemilik, Cynthia Luriany, menemukannya di salah satu sudut pasar dekat rumahnya di Medan pada tahun 2020.

Perempuan asal Kota Bandung itu mulanya hendak mengadopsi kucing dari Pet Shop. Keinginan itu urung dilakukan setelah bertemu Chlowie.

"Chlowie saya temukan di pasar, kemudian saya rawat, dan saya memang hobi update keseharian ke sosial media. Suatu hari aku upload Chlowie di Tiktok, pas dia marah ke aku, dan gak nyangka tiba-tiba FYP (di Tiktok), dapat viewers sampai empat juta," ujar Cynthia kepada IDN Times, Sabtu (16/3/2024).

Chlowie bukanlah kucing kampung pada umumnya. Matanya indah dan odd eye, yakni warna mata kanan dan kiri berbeda. Keunikan tersebut membuat para pengikutnya di Tiktok gemas dan selalu menunggu konten mengenai tingkah usil Chlowie. 

Cynthia mengakui tidak mudah untuk membuat konten bersama Chlowie. Ia tak pernah memaksa dan selalu menunggu mood sang kucing nyaman dan enak sebelum memproduksi konten. Jika kebanyakan selebgram kucing menjual produk baju dengan memaksa kucing setiap hari ikut berjualan, Chlowie justru sebaliknya.

Oleh karena itu, saat disinggung apakah apa yang dilakukan tersebut merupakan aksi eksploitasi kucing, Cynthia membantahnya dengan tegas. Pasalnya, Chlowie diperlakukan layaknya manusia. Misalnya dengan tidak mengurungnya terus di dalam kandang meski saat ini baru menerima endorsement produk makanan dan aksesoris dari sebuah petshop.

Cynthia yang kelahiran 1988 itu bahkan mempunyai treatment khusus untuk Chlowie. Mulai dari dokter pribadi sampai makanan yang gak biasa, bak memperlakukan seperti anak sendiri.

"Dalam pembuatan konten ga ada unsur eksploitasi, selama kucing aku sehat dan terjamin, tentu gak ada yang tidak sesuai dengan animal welfare. Ngonten pun hanya memperlihatkan kesehariannya, kalau pun ada konten endorse itu pun harus ngikutin mood anak berbulu (anabul), gak ada paksaan dan gak bikin stres Chlowie. Hasil endorse produk dan petshop untuk kemapanan hidup Chlowie sehingga kesehatan, kesejahteraan, dan asupan makanan terjaga," ujar

Dulu benci sekarang cinta

Menjaga Keseimbangan dari Ketenaran Sang Anabul KucingChlowie, kucing kesayangan Chynthia. (Dok. Pribadi)

Ya, kucing memang bikin hati adem. Cynthia sudah merasakannya.

Hewan mamalia karnivora yang berasal dari keluarga felidae itu rupanya mempunyai ikatan emosional dengan manusia. Makanya banyak yang memilih untuk memelihara kucing karena saking eratnya emosional keduanya.

Euromonitor pada tahun 2022 mencatat, ada 4,8 juta ekor kucing yang menjadi peliharaan di Indonesia. Jumlah itu meningkat 2,15 juta ekor dari tahun 2016. 

Hasil survei lembaga riset Rakuten Insight Global memperkuat data tersebut. Lembaga itu menyebutkan, jika kucing menjadi hewan yang paling banyak dipelihara dengan jumlah persentase sebanyak 47 persen dari seluruh responden di Indonesia pada tahun 2021. 

Angka peliharaan kucing tersebut mengalahkan responden dari negara lain di kawasan Asia. Seperti Filipina (43 persen) dan Thailand (42 persen), dari total responden di kedua negara tersebut.

Makanya, tidak sedikit yang kemudian menjadikan kucing sebagai hewan peliharaan. Padahal awalnya begitu benci dengan kucing.

Seorang Ibu Rumah Tangga (IRT) asal Kota Denpasar, Triwidiyanti terheran dengan perasaannya. Ia mengaku sebal dan tidak menyukai kucing lantaran membuat bersin dan bulunya suka menempel di kain, pakaian, atau di perabotan rumah tangga.

Perempuan berusia 41 tahun yang akrab disapa Wids itu kini klepek-klepek jatuh cinta sama kucing alias menjadi seorang cat lover.

Teras rumahnya di Jalan Gunung Bromo, Kota Denpasar penuh dengan kandang kucing. Kepada IDN Times, Wids berkisah jika kesukaannya dengan kucing terjadi karena faktor suami, yang sudah lebih dulu menjadi cat lover.

“Karena suamiku suka kucing. Lama-lama jadi suka sama kucing. Terutama kucing Persia, blasteran gitulah. Karena lucu,” katanya.

Wids mendapatkan kucing dari sesama cat lover di Bali. Ia bahkan rela mencari kucing tak bertuan atau yang sudah mempunyai pemilik yang ingin melepaskan karena kebanyakan hewan peliharaan.

Wids semula hanya memiliki satu ekor kucing pada tahun 2023. Kini, ia merawat 7 ekor kucing beragam ras. Mulai dari kucing Persia, Maine Coon, hingga blasteran kucing kampung.

Treatment yang dilakukan mirip dengan Cynthia. Wids rutin melakukan perawatan sehari dua kali untuk pembersihan kandang kucing-kucingnya, sekaligus pemberian makanannya. Ia pun tak mengelak jika biaya pemeliharaan kucing tidak murah karena setiap bulan merogoh kocek hingga Rp1,8 juta untuk kucing-kucingnya itu.

“Kalau sempat, tiap weekend dibawa ke salon kucing untuk perawatan. Satu kucing Rp100 ribu. Nyalon-nya gantian gak langsung nyalon semua (kucing),” ujarnya.

Menjaga Keseimbangan dari Ketenaran Sang Anabul Kucingilustrasi kucing (pexels.com/ Cats Coming)

Seiring dengan perkembangan teknologi dan tren ketenaran kucing di platform digital seperti media sosial mengundang decak kagum warganet. Mereka yang menjadi model, selebgram, artis, atau tiktoker memiliki penggemar khusus karena berhasil menyihir warganet untuk peduli dengan kucing.

Putu Ayu yang tinggal di Tabanan Bali demen melihat momen kelakukan keseharian kucing di media sosial, seperti TikTok hingga Youtube. Selain sebagai hiburan setiap hari, katanya, video kucing yang lucu-lucu ia gunakan sebagai sarana melepas stres terutama setelah penat bekerja.

"(Gak tahu) suka banget nonton yang live soal keseharian kucing. Suka aja nontonnya, padahal kucingnya cuma tiduran saja," kata perempuan berusia 23 tahun itu, Jumat (15/3/2024).

Ayu mengakui rela kuota internetnya habis untuk melihat beragam video kucing lucu. Saat ditanya apakah cat influencer tersebut termasuk bentuk eksploitasi hewan terhadap kucing, menurutnya tergantung momen atau konten yang dibagikan di media sosial.

"Rata-rata (yang saya tonton) momennya keseharian kucing. Jadi yang alami saja tidak ada paksaan. Beda lagi kalau kucingnya dipaksa melakukan sesuatu sampai dipukul-pukul," papar Ayu.

Ayu berpesan kepada siapa pun yang ingin memelihara kucing tidak boleh hanya faktor lucu. Ia yang semula tidak mempunyai kucing kini ada anabul kesayangan di rumah.

Ayu pun selalu menyiapkan dana darurat untuk kesehatan anabulnya. Salah satunya untuk biaya steril. Menurut Ayu, biaya kesehatan kucing penting untuk disiapkan karena kucing juga makhluk hidup yang bisa sakit.

"Ada tanggung jawab besar memelihara kucing maupun anabul lainnya. Harus siapkan biaya makanan hingga biaya kesehatan untuk mereka. Anabul itu tidak hanya sebagai hewan peliharaan, tetapi seperti teman. Saya saja kalau kerja, harus ditemani anabul," ujarnya.

Ratna ikut memaparkan hal yang sama. Bagi mahasiswi asal Tabanan itu, kerandoman tingkah laku kucing di media sosial itu menjadi hiburannya

"Kebetulan juga punya dua kucing di rumah. Awal memelihara kucing agar ada teman selama belajar online, agar tidak stres dan suntuk di rumah. Eh, sekarang malah sampai punya dua ekor," paparnya.

Ratna menilai, ekploitasi pada kucing terjadi jika hewan tersebut dipaksakan untuk melakukan sesuatu atau mendapatkan tindakan kekerasan.

"Kalau momen keseharian mereka sih tidak apa-apa dijadikan konten. Beda kalo konten yang dibagikan itu menyakiti kucing," ujarnya.

Baca Juga: Kafe Kucing Lombok, Interaktif untuk Pecinta Kucing dan Kopi

Baca Juga: Pecinta Kucing Jadikan Cat Influencer Pelepas Stres

Menumbuhkan perekonomian lokal

Hype soal cat influencer tidak hanya menumbuhkan kepedulian kepada kucing tapi ikut menyuburkan perekonomian lokal (pet economy). Kondisi itu ditandai dengan menjamurnya toko-toko hewan (petshop) yang menjual makanan dan pernak-pernik kucing. Bahkan sampai jasa layanan lain untuk kucing. Contohnya grooming, hotel kucing, hingga kafe khusus untuk pecinta kucing. 

Impor makanan kucing pun ikut membanjiri Tanah Air. Melansir data Statistik Perdagangan Luar Negeri tahun 2022 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), impor produk makanan hewan dengan kode HS 2309 meningkat setiap tahun. Tak terkecuali kategori pet food untuk anjing dan kucing (HS 230910) dan untuk hewan peliharaan lainnya (HS 230990).

Sebagai perbandingan, pada tahun 2018, impor produk makanan hewan (pet food) untuk anjing dan kucing berkode HS 230910 mencapai 92,93 juta dollar AS. Jumlahnya meningkat di tahun 2022, senilai 182,22 juta dollar AS.

Adapun, negara pengekspor utama makanan hewan adalah Thailand, China, Perancis, dan Australia. Nilai impor produk makanan untuk anjing atau kucing dari Thailand pada tahun 2022 mencapai 73,68 juta dollar AS atau 40 persen dari total impor pet food untuk anjing dan kucing.

Menjaga Keseimbangan dari Ketenaran Sang Anabul KucingOwner Bonafide Pet Shop di Pontianak, Mega saat bermain dengan kucing peliharaan. (IDN Times/Teri).

Di Kalimantan Barat (Kalbar) terdapat petshop yang menyajikan berbagai jasa perawatan kucing, penjualan makanan kucing, open adopsi kucing, grooming, dan hotel kucing. Yakni ada di Bonafide Petshop yang berada di Jalan Sungai Raya Dalam (Serdam), Kabupaten Kubu Raya.

Bisnis yang sudah berjalan sejak 2014 itu berawal dari kesukaan sang pemiliknya, Megawati kepada kucing. Ia lalu belajar dan mengikuti pelatihan cara grooming kucing.

Mega saat ini memiliki kurang lebih 20 jenis kucing ras seperti persia, british shorthair, dan pedigree.

Ia mengakui jika penjualan makanan kucing di tokonya terus meningkat. Peningkatan tersebut semata bukan karena kemunculan selebgram kucing atau cat influencer, melainkan sudah seperti kebutuhan manusia.

Jenis makanan yang ia jual juga beragam. Ada yang produksi Indonesia dan yang impor dari luar negeri. Meski impor, Mega menegaskan semua produknya dibeli melalui jalur resmi legal sesuai dengan prosedur yang berlaku di Indonesia.

“Sama seperti manusia, jadi makanan kucing ini kan terus dicari jadi memang meningkat terus penjualan makanan di sini,” ucap Mega.

Menjaga Keseimbangan dari Ketenaran Sang Anabul KucingMomo bersama suami Kharisma Hariadi, pemilik kafe kucing di Kota Mataram. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Vibes dunia perkucingan ikut berdampak pada Momo dan Kharisma Hariadi. Keduanya sukses membuka kafe kucing pertama di Pulau Lombok.

Kafe berkonsep kucing bernama Black House Cafe itu berlokasi di Jalan Tulung Agung No 21 Pagesangan Timur Kota Mataram. Kafe telah beroperasi sejak tahun 2020. Sebelumnya mereka menjalankan usahanya secara online pada tahun 2016. 

Di kafe itu ada sekitar 30 kucing ras yang dipelihara Momo dan Kharisma Hariadi.

"Ini adalah konsep kafe kucing pertama di Lombok. Saya sering disamperin kucing ketika makan dan saya merasa kasihan. Oleh karena itu, saya memberi makan kucing-kucing tersebut. Karena cinta saya pada kucing, maka tema kafe ini adalah kucing," kata Momo kepada IDN Times, Sabtu (16/3/2024).

Di kafe tersebut, para pengunjung bisa merasakan sensasi menikmati makanan dan minuman sambil berinteraksi dengan kucing di sebuah ruangan khusus. Para pengunjung yang memiliki kucing juga dapat berkonsultasi tentang cara merawat dan memelihara kucing yang baik. 

Meskipun dapat berinteraksi dengan kucing, ada beberapa larangan yang harus diikuti dan ditaati pengunjung. Misalnya, pengunjung tidak boleh menggunakan laser, terutama yang mengarah ke area mata kucing. Lalu, pengunjung dilarang meremas atau melemparkan kucing, memberi makan sisa makanan kepada kucing, menyentuh area sensitif kucing, dan bermain kasar dengan kucing.

"Kami memiliki ruangan khusus bagi pengunjung yang ingin makan sambil menikmati tingkah laku kucing. Ada pengunjung yang sebelumnya tidak suka kucing, namun setelah berkunjung ke sini, mereka menjadi menyukainya. Ini juga merupakan bagian dari kampanye kami untuk peduli pada kucing," aku Momo yang kini pengunjung kafenya juga datang dari luar Kota Mataram seperti Sumbawa bahkan Bandung, Jawa Barat.

Baca Juga: Breeder Kucing di Pontianak Lesu karena Pengaruh Over Populasi

Baca Juga: 5 Tips Mencegah Kucing Mengalami Stres, Ajak Main!

Kebal stereotipe dan fitnah

Menjaga Keseimbangan dari Ketenaran Sang Anabul KucingSusan memberi makan kucing-kucingnya di Lampung. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Selain pet economy, gairah bertumbuhnya cat influencer ikut meningkatkan perubahan perilaku publik (behaviour change) akan kecintaan dan kepedulian mereka terhadap kucing. Tidak sedikit dari mereka memilih untuk mengadopsi atau sekadar membantu kucing-kucing jalanan sehingga tidak lagi hidup berkeliaran, makan dan tidur sembarangan, serta beranak-pinak.

Susan kerap menerima stereotipe lantaran mengurus puluhan kucing jalanan. Di tengah keterbatasan ekonomi untuk mengurus mereka, beberapa orang mencemooh bahkan memfitnah apa yang dilakukannya.

Sebagai Pendiri Komunitas Keluarga Kucing Lampung (K3L), pemilik nama lengkap Yani Dewi Susanti tidak bergeming. Ia terus saja menampung lebih dari 100 kucing jalanan (stray cat) yang mengalami gangguan cacat fisik atau sakit saja. Seperti tak memiliki kaki, tangan, dan sakit kanker.

Kemudian, untuk kucing-kucing yang terluka biasanya akan langsung ia bawa ke dokter hewan lalu mendapatkan perawatan atau operasi bila perlu. Setelah itu, kucing tersebut akan dirawat di shelter K3L sampai benar-benar pulih.

“Kalau yang masih perlu dirawat tinggal nunggu kering, kita taruh di kandang. Kalau yang sudah sehat banget baru kita lepas. Tapi kadang kita suka lepas juga kok supaya mereka gak bosen. Yang namanya fitnah (kegiatan) ini bukan sekali dua kali. Tapi saya tutup telinga aja. Yang penting kucing-kucing saya bisa keurus dengan baik itu sudah cukup,” katanya.

Susan menjelaskan, K3L lahir murni dari kecintaannya terhadap kucing. Ia iba pada kucing yang membutuhkan pertolongan sehingga merasa perlu memberikan rumah bagi mereka.

Kini jumlah kucing keseluruhan yang ia rawat mencapai 100-an. Dari jumlah itu, sebanyak 30-an kucing Susan rawat di rumah.

“Saya awalnya kerja di salah satu perusahaan swasta di Lampung sembari ngerawat kucing-kucing ini. Tapi setelah itu saya resign. Saya kayaknya pengin aja udah ngurusin mereka. Suami saya juga awalnya memang gak setuju tapi kayaknya sudah capek juga ya ngomongin saya dan akhirnya membiarkan,” akunya.

Ia tak memungkiri apabila badan donasi seperti K3L yang ia dirikan pada Desember 2020 itu rentan membuat orang lain curiga. Padahal, ia membuka tangan kepada siapa pun yang ingin membantu kucing-kucing di shelter secara langsung.

“Jujur gak kecil loh (biaya untuk) ngurusin mereka ini. Makanan saja abis berapa. Belum sewa tempat ini, terus bayar pegawai dua orang. Kita juga vaksin dan steril mereka. Soalnya gimana ya mbak, namanya juga kucing liar, kalau gak vaksin rabies kan kita gak tahu mereka dari mana asal usulnya,” katanya.

Meski begitu, Susan mengaku hasil donasi terkadang belum sepenuhnya bisa mencukupi kebutuhan para kucing di shelter. Ia dengan jujur menyebutkan, ia pernah beberapa kali menunggak membayar perawatan di dokter hewan dan petshop.

Ia merinci, pengeluarannya seminggu untuk makanan dan pasir kucing saja sekitar Rp2,5–3 juta. Sementara untuk sewa rumah shelter kucing Rp3,5 juta per tahun.

“Saya sering ngebon (red: mengutang) di dokter. Saya bilang ke dokternya bayarnya nanti dan karena sudah kenal jadi boleh. Buat makanan dan pasir juga gitu. Kadang ya langsung bayar kadang ngebon dulu,” imbuhnya.

Kesejahteraan hewan menjadi pedoman

Menjaga Keseimbangan dari Ketenaran Sang Anabul KucingOwner Bonafide Petshop sedang bermain dengan kucing peliharaannya. (IDN Times/Teri).

Meski ada kemungkinan hubungan maraknya cat influencer meningkatkan ketertarikan masyarakat untuk memelihara kucing seperti Susan, Kepala Bidang Keswan dan Kesmavet Dinas Perkebunan dan Peternakan Prov Kalbar, drh Banter Wahyudi menyampaikan, jika permasalahan over populasi kucing juga harus ikut diantisipasi. 

“Populasi kucing yang berlebihan dapat menimbulkan permasalahan baik kesehatan maupun kesejahteraan dari hewannya,” katanya.

Ihwal adanya indikasi pelanggaran animal welfare (kesejahteraan hewan) pada kucing-kucing yang menjadi figur publik, Banter menyatakan bahwa para pemiliknya harus memahami Undang-Undang (UU) Nomor 18 tahun 2009.

Dalam beleid itu, kesejahteraan hewan menyangkut segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan, dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia.

“Prinsip animal welfare harus menjadi pedoman bagi setiap pecinta dan pemilik hewan kesayangan. Ada 5 kebebasan yang harus dipedomani pemilik hewan yaitu hewan harus bebas dari kelaparan dan kehausan, bebas dari ketidaknyamanan, bebas dari rasa sakit dan penyakit, bebas untuk mengekspresikan perilaku alaminya dan bebas dari kekhawatiran dan stres,” tukasnya.

Artikel ini merupakan kolaborasi jurnalis dan tim hyperlocal IDN Times, yang disusun oleh:

  • Azzis Zilkhairil
  • Ayu Afria Ulita Ermalia
  • Dhana Kencana
  • Muhammad Nasir
  • Ni Ketut Wira Sanjiwani
  • Rohmah Mustaurida
  • Tri Purnawati.

Baca Juga: K3L, Badan Rescue Puluhan Kucing Jalanan Sakit di Lampung

Baca Juga: Chlowie: Kucing Tiktok Ras Kampung Berfollowers 2,4 Juta

Topik:

  • Dhana Kencana

Berita Terkini Lainnya