TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Banjir Semarang, Gak Cuma Persoalan Pompa dan Proyek Tol Tanggul Laut

Ada perubahan sosial-ekologis dalam hitungan dekade

Karyawan menyelamatkan sejumlah barang dari kantor yang terendam banjir di Stasiun Tawang, Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (6/2/2021). Akibat banjir setinggi hingga 70 cm tersebut, PT KAI (Persero) DAOP 4 Semarang mengalihkan sejumlah rute perjalanan kereta api. ANTARA FOTO/Aji Styawan

Semarang, IDN Times - Penyebab banjir di Kota Semarang bukan semata masalah pompa penyedot yang tidak mampu dikendalikan karena curah hujan yang ekstrem. Ada berbagai faktor masalah yang memengaruhinya selama puluhan tahun. Salah satunya adalah perubahan sosial-ekologis di Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah tersebut. 

1. Masalah pompa bukan satu-satunya penyebab banjir Semarang

Warga mengungsi saat banjir di Kota Semarang. Dok. BPBD Kota Semarang

Peneliti Human Geography, Planning and International Development Department, University of Amsterdam, Bosman Batubara mengatakan, masalah pompa yang tidak bisa mengendalikan air hujan bukan satu-satunya penyebab banjir di Semarang.

‘’Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam salah satu acara televisi menyampaikan bahwa pompa berfungsi, hanya saja disebutkan kapasitasnya tidak cukup,’’ ungkapnya saat dihubungi IDN Times, Selasa (9/2/2021).

Salah satu penulis buku Maleh Dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak itu menuturkan, curah hujan memang bisa menjadi penyebab banjir, namun bukan satu-satunya. Dalam pandangan Bosman, banjir tidak bisa dilihat sebagai sebuah peristiwa hidrologi yang terisolasi dari peristiwa sosial.

‘’Ini yang dalam buku Maleh Dadi Segoro kami sebut sebagai sosial-ekologis, yaitu suatu cara melihat bahwa krisis ekologi macam banjir, duduk manis di dalam bagaimana kehidupan sosial diatur. Dalam kasus banjir Semarang ini terjadi, karena proses-proses sosial-ekologis yang saling mengunci,’’ katanya.

Baca Juga: Cuaca Ekstrem, 995 Gardu Distribusi Listrik di Semarang Kena Banjir 

2. Ada krisis sosial-ekologis dalam peristiwa banjir di Semarang

Dok. IDN Times/bt

Bosman mencontohkan, misalnya kejadian banjir di Sungai Beringin Ngaliyan. Dalam kasus tersebut ada peristiwa sosial yang berpilin dengan ekologi. Ada perubahan penggunaan lahan dari hutan karet menjadi kawasan hunian Bukit Semarang Baru (BSB). Alih lahan itu menyebabkan naiknya debit Sungai Beringin.

‘’Contoh lain untuk banjir di daerah Semarang Utara yang dekat laut. Momen banjir sebagai momen ekstrem hidrologi berpilin dengan penurunan tanah (land subsidence atau amblesan). Kalau saya lihat alat ukur di rumah pompa Kali Semarang itu, kawasan tersebut kira-kira turun dengan kecepatan sekitar 10 sentimeter (cm) per tahun. Artinya, dalam lima tahun ada penurunan sekitar setengah meter. Dan itu dampaknya adalah semakin rentannya kawasan utara terhadap banjir,’’ jelasnya yang juga mengenyam pendidikan di Institute for Water Education di Delft Belanda itu.

Land subsidence atau penurunan muka tanah, menurut banyak pakar seperti yang dikutip atau diuraikan ulang dalam bukunya, disebabkan karena banyak hal. Seperti pemompaan air tanah, pembebanan bangunan, aktivitas tektonik.

Kemudian, kompaksi sedimen alluvial muda yang ada di bawah Kota Semarang bagian Utara, akibat pembebanan bangunan dan atau struktur yang lain, serta pengerukan secara reguler di Pelabuhan Tanjung Emas, membuat sedimennya bergerak ke arah laut.

‘’Dari situ dapat kita lihat bahwa, lagi-lagi krisis ekologi dari land subsidence mengakibatkan perubahan sosial,’’ ujarnya.

3. Perubahan sosial-ekologis menyebabkan banjir sudah terjadi dalam hitungan dekade

Banjir di jalur Semarang-Kendal Jalan Raya Mangkang. Dok. Laporan Warga MIK Semar

Kemudian, imbuh Bosman, titik banjir beberapa hari lalu tidak hanya terjadi di daerah Semarang Utara yang dekat dengan laut, melainkan juga terdapat di daerah Pedurungan dan Mangkang. Dari kejadian tersebubt dapat dilihat ada hubungan yang saling mengunci.

Bosman menuturkan, hubungan tersebut antara lain kondisi hidrometeorologi seperti curah hujan yang tinggi, perubahan penggunaan lahan yang berujung pada naiknya air limpasan yang masuk ke sungai-sungai, amblesan tanah yang disebabkan berbagai faktor, infrastruktur seperti pompa, dan masih banyak lagi sesuai kondisi masing-masing saluran atau sungai.

‘’Dengan memahami proses perubahan yang berdampak pada krisis sosial-ekologis, secara logis untuk mengatasi banjir di Kota Semarang perlu mengelola faktor-faktornya satu per satu. Jadi, tidak bisa dengan satu solusi cepat, karena proses perubahan sosial-ekologis itu terjadi dalam hitungan dekade,’’ jelasnya.

4. Tol Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD) bukan solusi menangani banjir

IDN Times/Dhana Kencana

Ia menambahkan, jika Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo menyebut upaya penanganan banjir adalah dengan melakukan reboisasi, perlu waktu minimal tiga tahun bagi pohon untuk tumbuh.

"Namun, yang disayangkan Pak Ganjar sudah menjabat lebih dari tiga tahun. Kenapa omongan rencana reboisasi baru muncul sekarang. Apakah sebelum banjir seperti sekarang terjadi, itu tidak banyak dipikirkan?’’ imbuhnya. 

Sementara itu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Semarang menggadang proyek giant infrastructure fix (solusi infrastruktur raksasa) atau akrab disebut Tol Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD) sebagai klaim solusi menangani banjir. 

Baca Juga: Semarang Banjir, Hendi: Kapasitas Pompa Tak Mampu Kendalikan Air Hujan

Berita Terkini Lainnya