TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

40 Orang Ditangkap saat Konflik Wadas Purworejo, Satu Disebut COVID-19

Konflik tanah berurusan dengan penghidupan warga

ilustrasi borgol (IDN Times/Mardya Shakti)

Purworejo, IDN Times - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menyebut ada 40 orang warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo yang ditangkap polisi saat pengukuran lahan pada Selasa (8/2/2022). Lahan tersebut rencananya akan ditambang untuk material Bendungan Bener.

1. Penangkapan diawali dengan aksi sweeping

Kepolisian saat berada di Desa Wadas, Bener, Purworejo. (Twitter/YLBHI)

Untuk diketahui, Bendungan Bener menjadi salah satu proyek strategis nasional (PSN). Pemerintah mengklaim pembangunan bendungan tersebut untuk memenuhi kebutuhan air baku dan irigasi serta berguna mewujudkan kemanfaatan air berkelanjutan yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Melalui laman resminya, kedua lembaga tersebut melansir, penangkapan dilakukan secara sewenang-wenang yang diawali dengan aksi sweeping. Mereka sebagian besar adalah warga Desa Wadas.

Ketika ditangkap, ke-40 orang tersebut sedang istigasah. Ketua YLBHI Bidang Advokasi dan Jaringan, Zainal Arifin dan Direktur LBH Yogyakarta, Yogi Zul Fadli mengatakan, warga yang sedang melakukan istigasah tiba-tiba dikepung dan ditangkap. Tidak hanya itu, keduanya bilang jika Kepolisan melakukan sweeping dan penangkapan di rumah-rumah warga.

Baca Juga: Adaptasi Mandiri ala Pedagang Bakso Menghindari Rayuan Maut

2. Satu orang disebut terpapar COVID-19

ilustrasi virus corona (IDN Times/Aditya Pratama)

Zainal dan Yogi juga menyebut, polisi mengintimidasi dan menghalang-halangi tugas Pengacara Publik LBH Yogyakarta yang akan memberikan bantuan hukum kepada warga yang ditangkap. Mereka berkata, polisi beralasan pendampingan hukum tidak bisa dilakukan lantaran sedang proses interogasi dan berdalih ada satu orang yang terpapar COVID-19.

"Namun ketika ditanya terkait informasi lebih lanjut, Kepolisian justru mengintimidasi dan mengusir pengacara publik LBH Yogyakarta. Pengacara juga mengalami kekerasan fisik berupa pukulan beberapa kali saat di lapangan. Tindakan tersebut jelas melanggar Pasal 28 d ayat 1 UUD 1945, Undang-undang (UU) Bantuan Hukum, Undang-undang (UU) Advokat, dan KUHAP." tulis Zainal dan Yogi.

3. Tindakan represi untuk memancing pidana

Ilustrasi barisan polisi (twitter.com/AlissaWahid)

Pengukuran tanah tersebut dilakukan pada lahan milik warga yang telah setuju. Meski demikian, aksi kekerasan oleh polisi menurut Dosen sekaligus peneliti Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), I Gusti Agung Made Wardana tidak bisa dilepaskan dari proses pengkondisian iklim represi oleh aparat yang terjadi beberapa bulan terakhir dengan terus menerus memprovokasi warga Desa Wadas.

Pengkondisian iklim represi tersebut sudah umum digunakan agar ada warga terprovokasi sehingga bisa melakukan sebuah tindakan pidana.

"Di sinilah SLAPP (strategic litigation against public participation) akan digunakan untuk membungkam perlawanan. Bukti bahwa ada warga yang membawa senjata tajam dibesar-besarkan, sehingga menjadi syarat aparat mengambil tindakan represif. Jika penolakan warga masih kuat, maka kasus senjata tajam berubah menjadi proses pidana UU Darurat. Lihat kasus Budhi Tikam di Bangka-Belitung," unggah Agung Wardana dilansir akun Twitternya, @agungwarancak.

4. Tanah sebagai ruang hidup dan identitas

Warga yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA) memasang spanduk saat melakukan aksi damai di depan kantor Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak, Sleman, D.I Yogyakarta, Kamis (6/1/2022) (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)

Agung menegaskan, konflik di Desa Wadas tidak hanya sekadar kepemilikan tanah yang bisa diselesaikan melalui “ganti untung”. Persoalan tersebut berurusan dengan penghidupan warga, baik pemilik tanah maupun bukan pemilik tanah, yang bersandar pada unit ruang tersebut.

"Jangan lupa Rezim Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang dipakai untuk merampas tanah warga juga bermasalah. Di sini, tanah hanya diartikan secara instrumental melekat pada pemiliknya sehingga nilainya pun sekadar dihargai hitung-hitungan berbasis NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak)," imbuhnya yang juga disapa Igam.

Baginya, tanah adalah ruang hidup, tidak sekadar bernilai instrumental sebagai aset ekonomi, tapi penanda identitas. Tanah, lanjut Agung, juga bermakna religius-magis sebagai medium relasi sosial baik generasi sekarang dan lintas generasi (dulu-sekarang-mendatang) melalui pewarisan.

Baca Juga: Kisah Kekerasan pada Transpuan, Dianiaya Oknum Aparat Sampai Trauma

Berita Terkini Lainnya