TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Jejak Orang Koja Semarang, Jaga Tradisi Islam, Tinggal di Gang Sempit

Awas! Orang Koja sama orang Arab berbeda, guys

Seorang jemaah sedang khusyuk bermunajat di Masjid Jami Pekojan Semarang. IDN Times/Fariz Fardianto

Semarang, IDN Times - Kumandang azan menggema di Kampung Petolongan, Semarang Tengah tepat pukul 11.54 WIB. Dengan memakai kopyah putih yang dipadukan baju dan sarung warna serupa, sekumpulan orang bertubuh tinggi besar bergegas masuk ke Masjid Jami Pekojan. 

Semilir angin yang berkembus dari rongga jendela membuat udara bertambah sejuk. Suasana salat Jumat siang itu berlangsung khusyuk. Jika diamati sebagian besar jemaah masjid bertubuh tinggi dan berhidung bangir alias mancung. Dengan kulit kecokelatan serta lekuk mata yang agak ke dalam, mempertegas guratan wajahnya bak warga India. 

"Di kawasan Pekojan terutama di gang-gang kampung di sana memang masih keturunan dari Koja, salah satu desa kuno di Gujarat. Tapi kita beda dengan India, warna kulit kita lebih cerah. Maka kampungnya dinamakan Pekojan yang berarti perkampungan warga Koja," kata Muhammad Soleh, yang dipercaya sebagai Ketua Komunitas Koja Semarang (Koja'S), ketika berbincang dengan IDN Times, Jumat (16/4/2021). 

Baca Juga: Dua Kali Ramadan Tanpa Tradisi Bubur Samin Masjid Darussalam Solo 

1. Warga keturunan Koja Gujarat fasih menggunakan bahasa Urdu

Warga keturunan Koja melaksanakan salat dengan berjaga jarak. IDN Times/Fariz Fardianto

Orang-orang Koja, katanya, kebanyakan memiliki tinggi badan 180-190 sentimeter. Perawakan orang keturunan Koja juga besar dengan warna kulit cokelat muda. 

Ia bilang, publik selama ini sering keliru saat menyamakan orang Koja dengan keturunan Bangsa Arab. Padahal, jika dilihat dari corak budaya, logat dan makanannya, orang Koja dan Arab punya perbedaan yang mencolok. 

Warga keturunan Koja masih fasih menggunakan logat bahasa Urdu yang jadi warisan turun temurun dari Gujarat. Logat bahasa itulah yang membedakan gaya percakapan warga keturunan Koja dengan Arab di Semarang. 

"Kita punya bahasa sendiri, namanya Urdu. Jadi logatnya sangat berbeda dengan Arab. Logat Urdu itu kalau menyebut angka satu dua tiga dengan Uru, Redu, dan Anji. Kemudian kalau tidur bahasa Urdunya tongge. Kalau keturunan Arab menyebutnya Rehub. Dari tata bahasanya sudah lain," ujarnya. 

2. Orang keturunan Koja punya makanan unik bernama bolu lapis dan bubur India

Bubur India di Pekojan Semarang. Antara Foto

Tak hanya itu saja, warga keturunan Koja juga memperkuat silaturahmi dengan melestarikan ragam sajian makanan khas Gujarat. Soleh mengatakan ketika hajatan pernikahan, keturunan Koja pasti menyajikan bolu lapis sebagai kudapan utamanya.

Lalu ada sajian lainnya yang tak kalah populer ketika perayaan Idulfitri. Warga keturunan Koja selalu menyajikan kue lapis yang jadi ciri khas makanan Gujarat. Makanan favorit orang Koja ketika bulan puasa yaitu bubur sayur atau yang dikenal dengan sebutan bubur India. 

"Kalau kue lapis hanya disajikan saat Lebaran saja. Kemudian ada bolu lapis yang jadi makanan wajib ketika acara pernikahan. Terus ada juga bubur India yang disajikan pas bulan puasa. Selain itu, masih banyak banget makanan Koja yang masih dilestarikan sampai sekarang. Termasuk kroket juga dari Koja Gujarat," imbuh Soleh. 

Bagi Ali Bahirun, salah satu pembuat bubur India mengatakan sajian bubur tersebut telah mengakar sejak bertahun-tahun. Bubur India berbahan baku santan, gula Jawa dan ragam rempah-rempah lainnya. 

"Yang membedakan, kita buka puasa pakai bubur dengan camilan kurma, susu atau teh," aku Ali. 

3. Layaknya orang India, keturunan Koja juga gemar menari Sammer

Jalan Petolongan merupakan pusat pemukiman warga keturunan Koja di Semarang. IDN Times/Fariz Fardianto

Soleh menyebut, ada satu ciri khas lain yang dimiliki warga keturunan Koja. Yaitu tradisi tarian Sammer. Tarian tersebut kerap ditampilkan warga keturunan Koja ketika sedang bersantai ria dengan memainkan alat musik arkodion dan mandolin.

"Kalau tariannya, kita kiblatnya ke India. Irama musiknya seperti budaya India yang dikenal selama ini. Tapi kita menyebutnya dengan tarian Sammer. Biasanya penarinya duduk melantai sambil kita bergoyang-goyang santai. Dan alat musik yang masih kita lestarikan di Semarang ya arkodion dan mandolin," akunya.

4. Syiar Islam dilakukan warga Koja sejak Abad 18

Masjid Jami Pekojan jadi saksi bisu syiar agama Islam yang dilakukan warga keturunan Koja di Semarang. IDN Times/Fariz Fardianto

Soleh berkata warga Koja awalnya hijrah ke daratan Semarang sebelum perang Kemerdekaan Indonesia. Sekitar Abad 18, warga Koja yang menjadi saudagar memutuskan bermukim di Semarang sembari mensyiarkan agama Islam. 

Sejumlah ulama Koja pun ikut merantau ke Semarang. Daerah yang mereka pilih berada di kawasan yang sekarang bernama Pekojan. Penyebaran agama Islam yang pesat membuat para saudagar Koja hidup berdampingan dengan warga pribumi. 

Jejak penyebaran Islam kini masih bisa ditemui di Masjid Jami Pekojan. Masjid tersebut berdiri kokoh dengan corak arsitektur perpaduan pesisir Melayu dengan sentuhan budaya Gujarat. 

Di Masjid Pekojan masih bisa dijumpai sejumlah makam pendiri yayasan sekaligus sesepuh kampung. Dengan kelir dominan hijau muda, Masjid Pekojan menjadi bangunan ikonik sekaligus tempat favorit bagi umat Islam untuk berbuka puasa saat Ramadan. 

Baca Juga: 7 Rekomendasi Buka Puasa All You Can Eat di Semarang, Nganti Ambyar!

https://www.youtube.com/embed/hALgBXYwgTc
Berita Terkini Lainnya