TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Tradisi Dugderan Menyambut Ramadan di Semarang, Seru Habis

#RamadanMasaKini Warak Ngendog simbol bersatunya keberagama

Antara Foto

Karnaval dudgeran menyambut datangnya Ramadan di Semarang berlangsung meriah, Sabtu (4/5). Ribuan warga memadati halaman Balaikota Semarang dan Jalan Pemuda untuk menyaksikan kirab yang mengarak Warak Ngendog sebagai simbol dugderan.

Pawai tahunan itu berangkat dari halaman balaikota menuju Masjid Agung Semarang atau Masjid Besar Kauman, dilanjutkan Masjid Agung Jawa Tengah. Dugderan secara simbolis dibuka oleh Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi, yang memerankan Kanjeng Bupati Arya Purbaningrat, dengan memukul bedug.

Baca Juga: Tradisi Menyambut Bulan Ramadan di Semarang dan Sekitarnya

1. Warak Ngendog ikon dugderan Kota Semarang

Antara Foto

Arak-arakan dugderan kemudian menyusuri Jalan Pemuda menuju Masjib  Besar Kauman. Ribuan peserta menampilkan beragam kesenian dan budaya, salah satunya dengan mengarak boneka Warag Ngendog yang menjadi ikon dugderan.

Warak Ngendog merupakan gabungan dari tiga binatang yang menyimbolkan kerukunan beragam etnis di Semarang. Binatang yang menjadi Ikon dugderan ini mempunyai kepala naga, badan unta, dan kaki kambing.

Hendi, sapaan akrab Wali Kota Semarang, bersama istrinya, Krisseptiana, menaiki kereta kencana diikuti dengan jajaran Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang. Sesampai di Masjid Kauman, Hendi menerima suhul halaqah atau ketentuan dimulainya Ramadan dari para ulama Masjid Kauman.

2. Dugderan asalnya dari bunyi bedug dan petasan

Dok. IDN Times

Dari Masjid Besar Kauman, arak-arakan mengiringi Hendi menuju ke Masjid Agung Jawa Tengah untuk menyerahkan hasil halaqah kepada Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang memerankan Kanjeng Tumenggung Raden Mas Haryo Purbo Hadi Kusumo.

Gubernur Ganjar selanjutnya membacakan ketentuan dimulainya puasa di depan warganya sebelum akhirnya menabuh bedug. Pada zaman dulu, tabuhan bedug  yang ‘dug’ ditambah dengan bunyi petasan yang ‘der’ sehingga kemudian dikenal dengan nama dugderan.

“Dari dulu Indonesia itu beragam, jadi jangan mempermasalahkan perbedaaan. Warak Ngendog itu memberi pelajaran yang sangat berharga bahwa perbedaan itu indah,” ujar Ganjar yang didampingi istrinya, Atikoh.

Baca Juga: Foto-foto Tradisi Padusan Menyambut Ramadan di Boyolali, Super Heboh 

Berita Terkini Lainnya