Cerita Warga Tionghoa di Pecinan Semarang, Kenalkan Tradisi Junjung Toleransi

Buka permukiman baru pasca Geger Pecinan

Semarang, IDN Times - Semarang merupakan kota yang multikultural sebagaimana penduduknya berasal dari berbagai etnis. Selain etnis Jawa, ada etnis Tionghoa, Arab, Melayu, dan India. 

1. Kedatangan orang Tionghoa lewat jalur perdagangan

Cerita Warga Tionghoa di Pecinan Semarang, Kenalkan Tradisi Junjung ToleransiPasar Gang Baru di Kawasan Pecinan Semarang. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Kedatangan etnis-etnis tersebut ke Semarang umumnya lewat jalur perdagangan. Kemudian, mereka hidup, tinggal dan menetap di kawasan-kawasan yang ada di Ibu Kota Semarang. Seperti etnis Tionghoa yang kini sebagian hidup di kawasan Pecinan Semarang di Kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah.

Melansir buku ‘’Kota Semarang Dalam Kenangan’’ karya Jongkie Tio, orang-orang Tionghoa datang ke Semarang naik kapal-kapal layar besar dan mendarat di daerah Mangkang. Mereka berlabuh untuk berdagang atau penumpang yang akan menetap di Mangkang. Kemudian, para pendatang orang-orang Tionghoa itu masuk ke pedalaman dan membaur dengan penduduk setempat lalu membuka permukiman baru seperti di daerah Kranggan.

Selain itu, masuknya orang-orang Tionghoa dan membuka permukiman baru di Semarang terjadi pasca pemberontakan antara VOC dan orang-orang Tionghoa atau terkenal dengan peristiwa Geger Pecinan di Batavia pada tahun 1740. Pada waktu itu VOC mengeluarkan kebijakan Wijkenstelsel kepada orang-orang Tionghoa di Semarang, karena khawatir pemberontakan serupa akan terjadi lagi. Orang-orang Tionghoa yang tinggal di Semarang maupun di Gedong Batu dipaksa tinggal dalam wilayah yang sudah ditentukan, yakni di sekitar Kali Semarang.

Permukiman baru untuk orang-orang Tionghoa Semarang pasca pemberontakan 1740 ini, kemudian dikenal dengan nama Pecinan. Pecinan Semarang terhubung dengan dusun kecil Kranggan dan pasar Semarang (Pedamaran) di sebelah barat. Lalu, di sebelah utara melewati Kali Semarang juga terdapat kampung-kampung kecil seperti Petudungan, Pandean, Ambengan, dan sebagainya.

Baca Juga: Rekomendasi Street Food Populer Pasar Semawis Pecinan Semarang

2. Permukiman baru tumbuh bernama Pecinan

Cerita Warga Tionghoa di Pecinan Semarang, Kenalkan Tradisi Junjung ToleransiPasar Semawis di Kawasan Pecinan Semarang. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Dari buku ‘’Budaya Tionghoa Pecinan Semarang: San Bao Long Tang Ren Jie Zhong Hua Wen Hua’’ yang ditulis Rafael Soenarto, pada tahun 1753, kelenteng pertama di Pecinan Semarang dibangun sebagai bentuk syukur penduduk Tionghoa. Kelenteng ini diberi nama Sioe Hok Bio. Kelenteng Sioe Hok Bio sengaja dibangun tepat di tusuk sate untuk menghalau marabahaya yang datang, yaitu di ujung pertemuan Say Kee (Gang Baru) dan Tang Kee (Gang Pinggir).

Semakin banyaknya orang Tionghoa perantauan yang menetap di Pecinan Semarang, perkampungan baru pun berkembang. Jalan yang membelah perkampungan tersebut diberi nama Say Kee (Gang Blumbang/Gang Belakang), Ting Ouw Kee (Gang Gambiran), Pecinan Tengah (Gang Tengah), Pan Shia (Jalan Beteng), Moa Phay Kee (Gang Mangkok), Hoay Kee (Gang Cilik), dan Pecinan Belakang (Gang Besen).

Ketua Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis), Harjanto Halim mengakui, bahwa kedatangan orang-orang Tionghoa ke Indonesia pasti melalui daerah pesisir seperti di Cirebon, Surabaya, Lasem, Tuban, dan termasuk Semarang.

‘’Untuk di Semarang sendiri mayoritas orang Tionghoa yang datang adalah dari suku Hokkian. Memang orang-orang dari Hokkian ini karakteristiknya mudah dan cepat beradaptasi. Bahkan, mereka juga cepat menularkan budayanya ke masyarakat,’’ katanya kepada IDN Times, Jumat (2/2/2024).

Budaya Hokkian pun berasimilasi dengan budaya lokal seiring semakin lama orang-orang Tionghoa tinggal di Kota Semarang. Mulai dari bahasa, makanan, dan istilah-istilah lainnya.

3. Pasang surut kehidupan warga Tionghoa Semarang

Cerita Warga Tionghoa di Pecinan Semarang, Kenalkan Tradisi Junjung ToleransiKomunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis) di Klenteng Tay Kak Sie di Kawasan Pecinan Semarang. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Kendati demikian, kehidupan orang-orang Tionghoa yang tinggal di kawasan Pecinan Semarang tidak selalu mulus. Apalagi, pada masa orde baru dan peristiwa tahun 1965. Warga Tionghoa mengalami diskriminasi dan stigma.

Namun, pada 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengeluarkan Keppres No.6/2000 tentang pencabutan Inpres No.14/1967. Masyarakat Tionghoa mendapat kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya termasuk merayakan Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh dan sebagainya.

Kemudian, pada 19 Januari 2001, pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, Menteri Agama RI mengeluarkan Keputusan No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional.

Sejak saat itu hingga sekarang, warga Tionghoa di Semarang bisa hidup berdampingan dan menjunjung toleransi. Menurut pria dengan nama lain Liem Tun Hian ini, karena secara historis dan filosofis orang Tionghoa dan orang Jawa ini mirip.

‘’Pada dasarnya mereka adaptif, tidak neko-neko, dan hangat. Jadi, kalau dulu ada diskriminasi, ada kelompok-kelompok yang jadi keras begitu ya karena terprovokasi. Namun, sekarang zaman sudah berubah. Banyak warga Tionghoa yang mendapat kesempatan, misalnya berpolitik. Banyak sekarang caleg-caleg dari warga Tionghoa kan,’’ ujarnya.

4. Tradisi Pasar Imlek Semawis

Cerita Warga Tionghoa di Pecinan Semarang, Kenalkan Tradisi Junjung ToleransiPasar Gang Baru di Kawasan Pecinan Semarang. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Kemudian, pria berusia 58 tahun yang lahir di Kota Semarang ini merasa bahwa tradisi Tionghoa ini sudah diterima oleh masyarakat luas. Hal itu terlihat pada setiap perayaan Tahun Baru Imlek.

Kopi Semawis yang hampir secara rutin setiap tahun menyelenggarakan Pasar Imlek Semawis di kawasan Pecinan Semarang selalu mendapat sambutan dari masyarakat luas. Adapun, seperti tahun-tahun sebelumnya, jamuan makan malam di meja panjang dalam tradisi Tionghoa, yakni tok panjang akan kembali digelar pada 8 Februari 2024 mendatang.

Selain itu, juga banyak perayaan lain untuk merayakan Tahun Baru Imlek seperti upacara ketuk pintu di Klenteng Tay Kak Sie, pemasangan ratusan lampion, menghias rumah pecinan Semarang, dan sebagainya.

‘’Untuk Imlek tahun ini kami mengusung tema dari pepatah Jawa, yakni menggambar naga menghias mata. Maknanya, yaitu melengkapi dan menyempurnakan apa yang sudah dilakukan dengan baik sebelumnya,’’ tandas Harjanto.

Baca Juga: Buka Lagi, Warga Lepas Rindu di Waroeng Semawis Pecinan Semarang

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya