Kisah Ferry Santoro, Jurnalis yang Pernah Disandera GAM 

Tak ada yang tahu menjadi jurnalis adalah nyawa taruhannya

Banyumas, IDN Times - Mengenang masa masa 'indah" menjadi jurnalis saat ditugaskan adalah hal yang paling sulit untuk dilupakan. Hal itu terungkap dalam buku harian jurnalis TV Swasta Fery Santoro yang kala itu masih bernama RCTI mengenang 20 Tahun Silam, 325 hari menjadi sandera.

Menurut fery Santoro melalui Saladin Ayubi yang merupakan rekannya di MNC Group menyebutkan bukan hal yang mudah tidak mudah menjadi seorang jurnalis. Situasi, kondisi dan lebih jeli terhadap apa yang sedang terjadi merupakan hal yang menjadi menu wajib untuk diketahui, apalagi bila sang jurnalis di tugaskan di daerah konflik, nyawa taruhannya.

Baca Juga: Tari Lengger Ramaikan Pembukaan Jumbara Banyumas di Desa Banteran

1. Dikira menyenangkan tugas di daerah konflik

Kisah Ferry Santoro, Jurnalis yang Pernah Disandera GAM Ferry Santoro dengan kamera besarnya yang menceritakan kisah penugasan liputan di daerah konflik, Jumat (3/11/2023).(IDN Times/Saladin Ayubi)

Fery Santoro berbagi cerita, saat dirinya tugas di stasiun TV swasta RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia). Pada tahun 2003 saat itu sebagai kameramen news yang meliput di daerah konflik di Banda Aceh yang terjadi gejolak pertempuran antara TNI dan GAM.

"Waktu itu, tahun 2003, Saya saat itu sebagai kameraman news RCTI ditugaskan oleh kantor untuk meliput di daerah konflik di Banda Aceh, saat itu tengah bergejolak pertempuran antara TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka),"katanya.

Bagi Ferry Santoro, tugas pertama kali di Aceh tersebut sangat menyenangkan, karena baru pertama kali menginjakan kaki di kota yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah. Namun, rasa was-was pasti ada, karena Aceh lagi bergejolak.

"Dengan tekad yang bulat dan juga izin keluarga, saya berangkat ke Aceh bersama tim, buat saya itu suatu pengalaman yang sangat berarti,"terangnya.

3. Dihadang kelompok Bersenjata di "Jalan Hitam"

Kisah Ferry Santoro, Jurnalis yang Pernah Disandera GAM Menjadi tahanan GAM saat bertugas liputan di Aceh bersama rekan lainnya.(IDN Times/Saladin Ayubi)

Ferry menuturkan, selama seminggu liputan di Banda Aceh Ia selalu ber partner dengan reporter senior RCTI Ersa Siregar. Liputan terakhir kami mengarah ke daerah Langsa untuk meliput pengungsian dan pos TNI AL (Angkatan Laut) di Langsa, Lhokseumawe.

Dalam perjalanan pulang menuju Lhokseumawe ada perasaan kurang tenang dalam hati saya, karena sepi sunyi tanpa ada yang melintas satupun. “Jalan hitam” istilah mereka, kalau kita bilang jalan provinsi.

"Perasaan (tidak tenang) itu ternyata benar benar terjadi, saat kendaraan berjalan dengan kecepatan 80 KM/ jam tiba-tiba kami dihadang oleh sekelompok orang bersenjata, mereka keluar dari semak-semak,"katanya mengisahkan.

4. Mobil diambil alih, kepala ditodong Senpi

Kisah Ferry Santoro, Jurnalis yang Pernah Disandera GAM Ferry Santoro saat berada di Aceh.(IDN Times/Saladin Ayubi)

Dikisahkan saat itu bunyi ban direm menggesek jalan karena sang supir RCTI bernama Rahmad Syah tiba tiba mengerem mendadak seraya saling bertanya dalam hati.

"Ya Allah, ada apa ini?, belum terjawab pertanyaan saya, pintu dibuka secara paksa dan sopir disuruh turun oleh kawanan bersenjata, kemudi diambil alih, Gerombolan itu ada 6 orang, masuk semua ke mobil sambil todongkan pistol, Semua, nunduk kepala!!” teriak mereka.

Saat itu menurut Ferry perasaan hatinya bercampur aduk antara takut mati karena sepucuk pistol mengarah ke kepalanya.

"Hati saya campur aduk, takut mati, karena saat menunduk itu, saya masih tersadar pistol diarahkan ke kepala saya, Saya berpikir, jangan-jangan ini GAM, Saya dan bang Ersa serta lainnya dibawa ke tengah kampung jauh,' kisahnya.

5. Dengan kamera yang dibawanya, GAM percaya wartawan

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kisah Ferry Santoro, Jurnalis yang Pernah Disandera GAM Dengan berbekal kamera besar yang dibawa saat bertugas liputan, GAM percaya bahwa Ferry Santoro dan lainnya adalah wartawan.(IDN Times/Saladin Ayubi)

Kemudian gerombolan tersebut juga sempat menanyakan dari mana tim. “Kamu dari mana!?” bentak salah satu anggota kelompok bersenjata.

Kemudian Ferry menjawab bahwa dirinya dan lainnya berasal dari Jawa. “Saya dari Jawa “ jawab saya sambil lemas badan.

Namun gerombolan tersebut menjawabnya dengan kalimat ancaman dan tuduhan. "Wah Jawa, besok pagi mati nih. Kompeni nih." “Pasti Pai (TNI.red) itu. Mata-mata tentara," teriak mereka bersahutan.

Mendengar ancaman itu, saya hanya bisa pasrah, namun berbekal kamera besar di tangan, kelompok bersenjata itu percaya kalau kami wartawan.

6. Kami dirawat GAM, namun rekan kami Ersa meninggal

Kisah Ferry Santoro, Jurnalis yang Pernah Disandera GAM Ferry Santoro ( kedua dari kanan) bersama sandera yang lain saat bertugas liputan di Aceh.(IDN Times/Dok. Saladin Ayubi)

Di tempat lain, Panglima Perang GAM, Teuku Ishak Daud meminta bawahannya untuk merawat dan menjaga keselamatan kami. Mendengar itu, Ersa dan saya mengaku lega. Tapi, hidup dalam penyanderaan baru saja dimulai.

"Kami selalu pindah-pindah demi hindari kejaran TNI. Kalau dirasa tidak aman, kami harus lewati semak, seberangi sungai dan hutan belantara,"

Tidur beralaskan tikar, berbaring di samping macan kumbang harus kami lalui. Beruntung, tidak ada hewan buas yang menyerang kami. "Bahkan orang GAM menawarkan kami tidur di alas ular itu. Sempat bergidik sih, tapi dia bilang jangan takut. Ternyata tidak apa-apa,"ungkapnya.

Di luar sana, sejumlah LSM, organisasi pers hingga palang merah internasional meminta agar saya dan Ersa Siregar dibebaskan. Hampir setahun lamanya, negosiasi pembebasan antara pemerintah Indonesia dan GAM selalu mengalami deadlock.

Hingga ada suatu kesepakatan yang kami dengar melalui siaran radio local. Saya senang karena akan segera mendapatkan kebebasan. Sebuah impian selama berbulan-bulan untuk kembali berkumpul bersama istri dan anak pun mengalir deras dalam pikiran.

Malam hari menjelang tewasnya Ersa, beberapa anggota GAM memutuskan turun gunung. Tak lupa, mereka meninggalkan empat pucuk senjata. Bahkan, menawari kami berdua memegang senapan tersebut, tapi ditolak sama saya. "Kalau bisa gunakan senjata, pasti kami sudah tembak kalian," canda saya saat itu.

Sepeninggal mereka, saya hanya dijaga seorang anggota GAM. Saya, bang Ersa dan seorang pria berusia lebih tua dari kami itu memilih beristirahat di dalam gubuk. "Tiba-tiba ada tembakan. Dar-der-dor, rentetan tembakan dari semak-semak. Orang GAM yang sedang memasak diluar tewas kena tembakan,"

Tanpa pikir panjang, saya mencari cara untuk menyelamatkan diri dari desingan peluru. Sebuah lompatan kecil berhasil menyelamatkan nyawa saya dari tembakan yang mengarah ke kaki. Di tengah ketakutan, saya masih berupaya menyelamatkan rekannya, namun gagal

"Ada tembakan di atas saya. Saya lompat, masuk ke semak, mana banyak duri, hingga badan saya penuh darah, saya berhasil selamat dari serangan itu dan memilih bermalam di sebuah tempat dan disana, saya bertemu seorang pria yang sebelumnya bersama di gubuk, sedangkan Ersa, rekan saya tak kunjung datang,"jelasnya.

7. Organisasi Pers dan Palang Merah Internasional berperan penting

Kisah Ferry Santoro, Jurnalis yang Pernah Disandera GAM Cerita ini kutulis kembali seperti dalam buku harian semasa disandera, dokumen yang hingga kini disita Mabes TNI.(IDN Times/Dok. Saladin Ayubi)

Ferry juga berkisah bahwa selama empat hari empat malam dirinya jalan kaki mencari perkampungan yang harus lewati empat sungai yang akhirnya bertemu pada sebuah perkampungan.

Sesampainya di kampung itu, bukan TNI yang ditemui, tapi anggota GAM lainnya, alhasil saya kembali menjadi sandera. Di tempat itu pula, saya mengetahui rekan saya (Ersa Siregar) telah tewas. "Lemas badan saya. Saya bingung mau sama siapa lagi? Rekan saya sudah meninggal, tidak ada lagi yang temani saya,"ceritanya sedih.

Jelang malam tahun baru 2004, saya akhirnya dibebaskan berkat upaya diplomasi yang dilakukan organisasi pers dan palang merah internasional. Sesaat setelah keluar, saya hampir tak mengenali orang-orang terdekat, kecuali anak dan istri.

“Pengalaman mendebarkan itu terus terkenang, cerita ini kutulis kembali seperti dalam buku harian semasa disandera, dokumen yang hingga kini disita Mabes TNI."pungkas Ferry Santoro.

Baca Juga: Museum yang ada di Banyumas, Berwisata Sambil Belajar

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya