Ambisi Iklim Indonesia Usai COP30 Belum Maksimal, Ini Catatan IESR

- Target Indonesia belum memperbarui komitmen 2030
- Tidak ada komitmen eksplisit soal phase-out batu bara
- Tiga langkah strategi yang diperlukan
Semarang, IDN Times – Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai bahwa ambisi iklim Indonesia dalam dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) yang diperbarui pada 2025 belum mencerminkan poin kritis dari First Global Stocktake. Penilaian tersebut disampaikan pascaberakhirnya KTT Iklim PBB ke-30 (COP30) di Belem, Brasil.
KTT Iklim PBB ke-30 yang berakhir pada Sabtu (22/11/2025) menghasilkan dokumen Gotong Royong Global atau Global Mutirão. Dokumen tersebut memuat inisiatif baru, antara lain Global Implementation Accelerator (GIA) untuk mempercepat implementasi aksi dan mitigasi iklim dalam Nationally Determined Contribution (NDC) serta Belém Mission to 1.5 untuk mendorong ambisi dan investasi iklim.
Meski demikian, IESR menilai, hasil Global Mutirão belum sepenuhnya mampu mendorong dunia bertindak cepat dan tegas dalam menghadapi krisis iklim.
1. Target Indonesia belum memperbarui komitmen 2030

IESR menyoroti masih lemahnya komitmen ambisi iklim global yang ditandai dengan tidak tercapainya gagasan peta jalan penghentian penggunaan bahan bakar fosil serta komitmen pendanaan iklim yang belum konkret. Selain itu, aspek transisi berkeadilan (just transition) belum mendapat penekanan yang kuat dalam dokumen Global Mutirão.
Mekanisme Global Stocktake bertujuan menilai progres implementasi, ambisi, dan kesenjangannya terhadap target pembatasan kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius. Hasilnya menegaskan, untuk menjaga suhu global tidak meningkat lebih dari 1,5 derajat Celsius, emisi global harus turun 43 persen pada 2030 dan 60 persen pada 2035 dibandingkan tingkat emisi tahun 2019.
Meskipun pasca-COP30 sebanyak 122 negara sudah memformalkan NDC 2035, analisis Climate Action Tracker memproyeksikan, suhu bumi pada akhir abad ini akan naik sekitar 2,6 derajat Celsius dengan 50 persen probabilitas untuk lebih tinggi atau lebih rendah.
Koordinator Kebijakan Iklim IESR, Delima Ramadhani mengungkapkan, evaluasi terhadap komitmen iklim Indonesia pada webinar Debrief COP30: Menakar Ambisi Iklim, Pendanaan Iklim, and Transisi Berkeadilan Indonesia yang diselenggarakan IESR, Jumat (28/11/2025).
Dalam SNDC, Indonesia menetapkan target 2035 tanpa memperbarui target 2030-nya, padahal hal itu penting sebagai tindak lanjut hasil Global Stocktake. Menurut Delima, dari sisi cakupan, NDC Indonesia sudah cukup komprehensif karena memuat sektor energi, industri, pertanian, limbah, serta tambahan sektor kelautan. Selain itu, secara transparansi meningkat dengan target penurunan diubah dalam format emisi absolut di bawah tahun referensi 2019.
"Pemerintah menyampaikan niat untuk melampaui target bersyarat 2030, tetapi tanpa diformalkan, langkah ini belum menunjukkan perbaikan nyata terhadap target jangka pendek. Dalam sektor energi, pemerintah menargetkan puncak emisi pada 2038, lebih lambat dari proyeksi sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa strategi pembangunan ekonomi Indonesia masih bergantung tinggi karbon," katanya dalam keterangan resmi yang diterima IDN Times, Selasa (9/12/2025).
2. Tidak ada komitmen eksplisit soal phase-out batu bara

Indonesia juga tidak menyertakan komitmen eksplisit untuk phase-out bahan bakar fosil atau pengurangan batu bara secara bertahap. Bahkan, penggunaan batu bara masih dipertahankan dengan teknologi clean coal dan co-firing biomassa dalam bauran kebijakan energi.
Hasil analisis IESR menunjukkan, penurunan emisi Indonesia masih sangat bergantung pada sektor kehutanan dan lahan, bukan pada pengurangan nyata di sektor energi. Di luar penyerapan dari sektor FOLU (Forestry and Other Land Use), emisi nasional diproyeksikan naik hingga 98 persen dalam skenario tidak bersyarat.
Dalam skenario bersyarat atau dengan bantuan internasional, emisi diproyeksikan naik 54 hingga 84 persen di atas emisi historis 2019. Kondisi tersebut menunjukkan. upaya pengurangan emisi belum optimal di sektor-sektor kunci seperti energi dan industri.
Meskipun terdapat berbagai tantangan, Manajer Diplomasi Iklim dan Energi IESR, Arief Rosadi menyebutkan, Indonesia memiliki peluang politik yang kuat untuk mengambil peran kepemimpinan di antara negara Global South dalam menjaga semangat aksi iklim pasca-COP30.
Hal itu selaras dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto di berbagai forum internasional serta target nasional untuk mencapai 100 persen energi terbarukan pada tahun 2035 sebagaimana disampaikan dalam pidato kenegaraan di MPR.
"Indonesia memiliki rekam jejak sebagai pemimpin dalam menyediakan fondasi proses global, baik saat menjadi host COP-13 yang menghasilkan Bali Roadmap, G20 Chairmanship (2022) yang melahirkan Bali Compact dan Bali Energy Transition Roadmap, serta pada saat keketuaan ASEAN yang menghasilkan ASEAN Strategy for Carbon Neutrality," tambah Arief.
3. Tiga langkah strategi yang diperlukan

Menurut Arief, komitmen Indonesia perlu diwujudkan dalam tiga langkah strategi. Pertama, memperjuangkan isu iklim dan transisi energi dalam forum internasional sebagai jangkar pembangunan hijau. Peran itu harus dilakukan dengan memberikan teladan, yakni memastikan bahwa kebijakan domestik benar-benar mencerminkan ambisi iklim yang tinggi.
Kedua, mendorong penerjemahan keputusan multilateral menjadi kemitraan konkret. Indonesia perlu menggunakan pengalaman kepemimpinan internasionalnya untuk mengubah kesepakatan global menjadi program-program nyata yang dapat diimplementasikan.
Ketiga, mengamplifikasi keputusan dan inisiatif yang mendukung energi terbarukan. Indonesia perlu mengadopsi serta menggaungkan keputusan formal maupun inisiatif non-formal dari COP30 yang secara praktik mendorong akselerasi energi terbarukan dan penghapusan bertahap bahan bakar fosil.
Salah satu ide yang dapat digaungkan adalah roadmap on transition away from fossil fuel untuk dipromosikan di forum multilateral lainnya di luar COP. Inisiatif tersebut dapat menjadi platform bagi Indonesia untuk menunjukkan kepemimpinan dalam transisi energi global.
Seperti diketahui, salah satu kelemahan hasil COP30 adalah komitmen pendanaan iklim yang belum konkret. Padahal, pendanaan merupakan kunci keberhasilan implementasi aksi iklim, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia yang membutuhkan investasi besar untuk transisi energi. Dengan posisi strategis di kawasan Asia Tenggara dan pengalaman kepemimpinan dalam forum-forum internasional, Indonesia memiliki momentum untuk menjadi pemimpin iklim di antara negara-negara Global South. Peran ini sangat penting untuk memastikan suara dan kepentingan negara berkembang terakomodasi dalam arsitektur iklim global.
Indonesia perlu aktif memperjuangkan mekanisme pendanaan iklim yang adil dan dapat diakses dengan mudah. Pendanaan ini penting untuk mendukung pengembangan infrastruktur energi terbarukan, peningkatan efisiensi energi, dan program adaptasi perubahan iklim.

















