TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Dear Warga Suku Anak Dalam, Yang Mau Kuliah Daftar Kampus Ini, Gratis!

Mereka masih terkendala mengakses pendidikan

Ilustrasi suku anak dalam (IDN Times/Mardya Shakti)

Semarang, IDN Times - Stigma negatif Suku Anak Dalam (SAD) di wilayah Provinsi Jambi masih menjadi persoalan sosial tersendiri sampai saat ini. Keterbatasan komunikasi menebalkan anggapan bahwa mereka adalah komunitas yang liar, menakutkan, dan termarjinalkan.

Padahal, konstitusi negara menyatakan adanya hak-hak dasar mereka sebagai warga negara, seperti akses pendidikan hingga kesehatan. Oleh karena itu, perlu peran serta masyarakat luas termasuk pendidikan tinggi untuk menyediakan solusi dari persoalan tersebut.

Baca Juga: Lowongan Kerja di Undip Semarang, Buka 45 Formasi, Cek Syaratnya 

1. Adminduk masih jadi persoalan warga SAD

Kegiatan “Inklusi Goes To Campus” dalam upaya menciptakan ruang penerimaan dan kesetaraan yang lebih luas pada komunitas SAD di komplek Rektorat Universitas Muara Bungo, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, Rabu (1/3/2023). (Dok. Pundi Sumatra)

Hal tersebut mengemuka saat kegiatan “Inklusi Goes To Campus” dalam upaya menciptakan ruang penerimaan dan kesetaraan yang lebih luas pada komunitas SAD, pada Rabu (1/3/2023). Acara diadakan di komplek Rektorat Universitas Muara Bungo, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi.

Kegiatan itu merukan inisiasi Pundi Sumatra--perkumpulan untuk kemandirian masyarakat sipil dan adat terpencil--yang didukung Kemitraan Partnership, termasuk Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP).

“Kalau mendengar SAD kayak gimana gitu, stigma negatif masyarakat masih sangat besar terhadap SAD. Mereka punya persoalan administrasi kependudukan. Bayangkan WNI tidak punya Administrasi Kependudukan (Adminduk)? Dampaknya tidak bisa mengakses layanan dasar mulai dari sekolah hingga kesehatan,” kata CEO Pundi Sumatra, Dewi Yunita Widiarti dalam keterangan resmi yang diterima IDN Times.

2. Jangan percata mitos soal SAD

ilustrasi hutan di Indonesia (Unsplash.com/ Jeremy Bezanger)

Dewi menjelaskan, fokus gerakannya tidak hanya persoalan SAD, namun juga meliputi dukungan pengembangan ekonomi yang inklusif, konservasi hingga perlindungan satwa liar di Jambi.

Salah satu fasilitator Pundi Sumatra, Yori bercerita tentang bagaimana dirinya bisa diterima dengan baik oleh SAD. Ia sudah 2 tahun terakhir tinggal bersama komunitas tersebut.

“Warganya sangat terbuka. Misalnya ada anggapan kita meludah, mereka akan ngikut, tetapi saya tidak mengalaminya. Itu mitos. Kami diterima dengan baik di sana,” ujarnya.

3. Ada 4 warga SAD yang sudah berkuliah

ilustrasi kuliah (unsplash.com/Terrence Thomas)

Dalam kegiatan “Inklusi Goes To Campus” diramaikan dengan diskusi serta pemutaran film berjudul Pulang Rimba karya KPP yang disutradai Rahmat Triguna. Mamato, sapaan sang sutradara menyebutkan, film yang digarap tahun lalu itu berkisah tentang Mt Pauzan (24), warga SAD yang bisa bersekolah hingga jenjang pendidikan tinggi.

Saat ini Pauzan berkuliah di Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Bogor. Ia tinggal di Desa Air Panas, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi.

Berdasarkan data Dinas Sosial setempat, hingga Juli 2022, dari sekitar 4.000 warga SAD, hanya 117 yang bersekolah, 4 di antaranya berkuliah.

“Pauzan adalah credible voice, yang mengalaminya langsung. Kami berangkat dari empati untuk membuat film ini. Anak-anak di SAD sebagian kecil saja yang bersekolah apalagi sampai berkuliah,” akunya.

Pauzan yang ini duduk di Semester V Jurusan Penyuluhan Pertanian Berkelanjutan Polbangtan Bogor bertekad menyelesaikan kuliahnya, mengejar gelar Sarjana Terapan Pertanian (S.Tr.P). Jika lulus nanti, Pauzan akan menjadi generasi pertama SAD yang menyandang gelar sarjana.

Baca Juga: Kisah Suku Anak Dalam Jambi Difilmkan: Menggapai Impian Pendidikan

Berita Terkini Lainnya