TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Cerita Nitya Ade Santi, Dari Sragen Raih Gelar Doktor Kehutanan IPB Usia 25 Tahun

Perjuangan tempuh kelas akselerasi di bangku SMP

Doktor termuda Nitya Ade Santi menyelesaikan pendidikan S3 dari program studi Ilmu Pengelolaan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Institut Pertanian Bogor (IPB) di usia 25 tahun. (IDN Times/Nitya Ade Santi/bt)

Semarang, IDN Times - Belum lama ini Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) mencetak sejarah baru telah menganugerahkan gelar Doktor termuda kepada Nitya Ade Santi. Mahasiswa program studi Ilmu Pengelolaan Hutan ini menyelesaikan pendidikan S3 di usia belia 25 tahun

Baca Juga: Sering Bahas di Medsos, Ini Gaya Hidup Millennial Hadapi Isu Perubahan Iklim

1. Nitya masuk SD di usia 5 tahun

Doktor termuda Nitya Ade Santi menyelesaikan pendidikan S3 dari program studi Ilmu Pengelolaan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Institut Pertanian Bogor (IPB) di usia 25 tahun. (IDN Times/Nitya Ade Santi/bt)

Meski terhitung singkat waktu yang ditempuh dalam mencapai pendidikan tersebut, tapi gadis asal Kabupaten Sragen, Jawa Tengah ini tidak melalui proses yang instan. Perjuangan jatuh bangun pun dialami Nitya untuk meraih cita-citanya.

Anak bungsu dari dua bersaudara pasangan Purwoto dan Sri Yatmi ini sudah sekolah di jenjang SD pada usia 5 tahun. Hal itu dilakukan karena melihat teman sebaya dan sepermainannya sudah sekolah. Nitya pun mengenyam pendidikan di SD Negeri 2 Jetis Sragen selama enam tahun.

‘’Soalnya sekolah di kampung itu siswanya sedikit. Nah, saat teman-teman sebaya saya sudah masuk sekolah, saya mau juga sekolah. Jadi, masuk sekolah umur 5 tahun dan lulus SD di usia 11 tahun,’’ tuturnya saat dihubungi IDN Times, Senin (25/7/2022).

Usai lulus SD dan saat mencari sekolah SMP, ayah Nitya mendapat informasi dari radio jika SMP 1 Sragen membuka pendaftaran kelas akselerasi. Ia pun mengikuti seleksi dan diterima sebagai siswa kelas akselerasi SMP 1 Sragen.

2. Masuk kelas akselerasi di jenjang SMP

Doktor termuda Nitya Ade Santi menyelesaikan pendidikan S3 dari program studi Ilmu Pengelolaan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Institut Pertanian Bogor (IPB) di usia 25 tahun. (IDN Times/Nitya Ade Santi/bt)

Ternyata menempuh pendidikan kelas percepatan yang harus lulus dalam dua tahun itu tidak mudah. Nitya yang tinggal di lereng Gunung Lawu harus berangkat pada waktu subuh ke sekolah. Dari Desa Secang, Kelurahan Jetis, Kecamatan Sambirejo Sragen ia harus naik bus menempuh jarak 20 kilometer ke sekolah yang berada di pusat kota.

‘’Tiap berangkat ke sekolah, setelah diantar bapak ke halte saya naik bus bersama para pedagang sayur yang mau jualan ke kota. Bahkan, kadang ada yang bawa kambing. Itu saya lakukan tiap hari,’’ ungkapnya.

Kemudian, belajar di kelas akselerasi juga membutuhkan tenaga dan pikiran ekstra. Nitya harus mengejar ketertinggalan dan beradaptasi dengan kurikulum baru di SMP. Tenaga dan waktunya tercurah di kelas akselerasi hingga tidak bisa libur.

‘’Akhirnya, setelah lulus dari SMP 1 Sragen di usia 13 tahun saya melanjutkan ke SMA 2 Sragen tapi memilih kelas reguler. Di SMA saya lebih aktif di kegiatan ekstrakurikuler dan organisasi dibanding akademiknya. Dari ekstrakurikuler Pramuka saya mulai mencintai hutan,’’ katanya perempuan kelahiran 17 Februari 1997 itu.

3. Jualan gorengan saat kuliah S1

Doktor termuda Nitya Ade Santi menyelesaikan pendidikan S3 dari program studi Ilmu Pengelolaan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Institut Pertanian Bogor (IPB) di usia 25 tahun. (IDN Times/Nitya Ade Santi/bt)

Kecintaan Nitya bermain di hutan saat menjalani kegiatan Pramuka itu mendorong ia ingin mempelajari ilmu kehutanan. Saat lulus SMA, ia mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa lewat jalur undangan di SNMPTN. Nitya memilih IPB yang memiliki Fakultas Kehutanan dan Lingkungan.

Lantas Nitya menempuh pendidikan S1 Manajemen Hutan dan lulus di usia 20 tahun. Perjuangan menjadi mahasiswa yang merantau dari Sragen ke Bogor juga harus dijalani. Demi menambah biaya hidup selama belajar di IPB, Nitya pernah melakoni sebagai penjual gorengan.

‘’Ini saya lakukan sebelum saya mendapat beasiswa dari Tanoto Foundation di semester 2. Jadi, setiap pagi saya membeli gorengan seperti lunpia dan panada dari pedagang di sekitar kampus kemudian saya jual ke teman-teman di gerbang asrama mahasiswa atau ke kelas-kelas. Biasanya mereka yang tidak sempat sarapan pasti beli,’’ ujarnya.

Baca Juga: Tips Mahasiswa Millennial dan Gen Z Unnes yang Pengin Jadi Jurnalis

Berita Terkini Lainnya