TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Berkarya Lagi, Seniman Muda Semarang Ekspresikan Ikon Warak Ngendog

Baru pertama dilakukan semenjak pandemik COVID-19

Semarang, IDN Times - Kepala di warak ngendog itu berasal dari naga atau kambing Jawa, sih? Atau malah sebenarnya mainan iseng dengan craftmanship (keahlian) yang buruk di awal kemunculannya yang kemudian diglorifikasi dan dibebani politik identitas ketika eksistensinya diangkat menjadi simbol Kota Semarang? 

Ya. Warak ngendog adalah binatang jadi-jadian kreasi warga Semarang yang sudah eksis menjelang awal abad ke-20. Kemunculannya selalu dibarengi dengan tradisi Dugderan saat datangnya bulan Ramadan di Semarang.

Baca Juga: Alasan PPKM Level 2, Gak Ada Arak-arakan Warak Ngendok saat Pembukaan Dugderan

1. Tafsir soal warak ngendog masih muncul

Ilustrasi batik warak ngendog Semarang. (Dok. IDN Times/bt)

Dari referensi visual yang didokumentasikan sebelum tahun 2000-an, awal fisik warak ngendog jauh dari yang saat ini ada. Terutama bagian kepala yang menyerupai naga atau kilin.

Antropolog Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, A Khairudin mengatakan, perdebatan tafsir atas warak ngendog sempat mengemuka saat dinyatakan bagian tubuh tertentu mewakili etnisitas tertentu.

"Mainan itu tiba-tiba menyinggung isu etnis yang kalau tidak hati-hati jatuh pada prasangka rasial," katanya.

2. Seniman gak mau masuk ranah politik identitas

Tidak mau terjebak pada politik identitas, pekerja seni Semarang mengekspresikan soal warak dengan cara yang berbeda. Kolegatif Warak bersama pelaku graffiti dan street art Semarang seperti Satrio Sudibyo, Yogahya, Walkink dan Hysteria Artlab membuat tafsir kekinian soal warak ngendog.

Kolegatif singkatan dari kolega dan kolektif, yang menjadi platform bersama para seniman di Semarang.

Kegiatan tersebut dimulai dari pembuatan mural warak ngendog di Kampung Roworejo, Wonolopo, Mijen, Semarang yang dimulai pada Senin (11/4/2022). Mural diperkirakan selesai dalam dua hari.

Karya seni mereka akan ditampilkan di tembok berukuran tinggi 10 meter dan lebar 8 meter selama sebulan.

3. Wadah bersama mengekspresikan karya seni

Penggagas kegiatan, Satrio Sudibyo mengatakan, aktivitas seni tersebut menjadi yang pertama dilakukan Kolegatif sejak pandemik COVID-19 melanda Semarang. Ia berharap, bisa menjadi platform para seniman Semarang untuk berkreasi dalam mengekspresikan karya seni.

“Selain isu warak juga menarik bagi kami, kegiatan ini juga bagian dari membangun semangat kemandirian sesama seniman,” katanya dalam keterangan resmi kepada IDN Times.

Baca Juga: Antropolog Undip: Eksploitasi SDA Rentan Langgar Hak Masyarakat Adat 

Berita Terkini Lainnya