5 Alasan Mengapa Generasi Z Lebih Cepat Burnout di Dunia Kerja

- Generasi Z merasa harus selalu produktif setiap waktu, menciptakan tekanan mental dan fisik yang berujung pada burnout.
- Terlalu sering membandingkan diri lewat media sosial meningkatkan perasaan minder dan ketidakpuasan diri, menguras kesehatan mental.
- Minimnya dukungan psikologis di lingkungan kerja membuat Gen Z sulit mengatasi tekanan emosional, mempercepat munculnya burnout.
Generasi Z dikenal sebagai kelompok yang adaptif terhadap perkembangan teknologi, cepat menyerap informasi, dan cenderung progresif dalam berpikir. Mereka tumbuh di era digital yang serba instan dan penuh kompetisi, sehingga tak jarang memiliki ambisi besar untuk sukses di usia muda. Namun, di balik semangat yang terlihat luar biasa, banyak dari mereka justru mengalami tekanan mental yang tidak sedikit.
Fenomena burnout atau kelelahan mental menjadi isu yang kian umum di kalangan anak muda, terutama saat mereka memasuki dunia kerja. Lingkungan profesional yang menuntut performa tinggi, ekspektasi sosial yang terus meningkat, hingga pola hidup yang tak seimbang menjadi beberapa pemicunya. Artikel ini akan membahas beberapa alasan utama mengapa generasi Z lebih rentan mengalami burnout dibanding generasi sebelumnya.
1. Merasa harus selalu produktif setiap waktu

Generasi Z sering kali merasa harus terus bergerak dan menghasilkan sesuatu, bahkan di luar jam kerja. Gaya hidup produktif yang dianggap ideal di media sosial menciptakan tekanan tersendiri bagi mereka untuk selalu terlihat sibuk dan berdaya saing tinggi. Ketika tidak sedang melakukan apa pun, mereka justru merasa bersalah, seolah-olah sedang menyia-nyiakan waktu.
Padahal, tubuh dan pikiran manusia memiliki kapasitas terbatas. Jika dipaksa terus aktif tanpa jeda, hasilnya bisa berbalik merugikan. Rasa lelah yang menumpuk tanpa kesempatan untuk pulih secara mental dapat memicu stres dan berujung pada burnout. Menganggap istirahat sebagai kemalasan adalah kesalahan umum yang justru memperparah kondisi.
2. Terlalu sering membandingkan diri lewat media sosial

Media sosial bukan hanya tempat berbagi cerita dan hiburan, tetapi juga arena tak terlihat untuk saling membandingkan diri. Gen Z yang terbiasa berselancar di dunia digital mudah terpapar unggahan tentang kesuksesan orang lain. Tanpa sadar, hal ini menciptakan tekanan untuk ikut merasa harus berhasil dalam waktu yang cepat.
Perasaan minder dan ketidakpuasan diri muncul ketika realitas hidup tidak seindah yang terlihat di layar. Padahal, unggahan di media sosial sering kali hanya menunjukkan sebagian kecil dari kenyataan, bukan keseluruhan perjuangan di baliknya. Jika tidak disikapi dengan bijak, konsumsi konten semacam ini bisa menurunkan rasa percaya diri dan menguras kesehatan mental.
3. Minimnya dukungan psikologis di lingkungan kerja

Tidak semua tempat kerja memahami pentingnya kesehatan mental karyawan, khususnya generasi muda yang masih dalam fase adaptasi. Banyak perusahaan belum memiliki sistem pendampingan psikologis atau komunikasi yang terbuka, sehingga keluhan emosional sering kali dianggap tidak relevan atau kurang profesional.
Ketika Gen Z menghadapi tekanan di tempat kerja, mereka kerap memilih diam karena takut dianggap lemah atau tidak mampu. Hal ini membuat beban emosional semakin berat dan sulit diatasi. Lingkungan kerja yang tidak suportif justru menjadi salah satu faktor utama yang mempercepat munculnya burnout di kalangan karyawan muda.
4. Bingung menentukan arah karier sejak awal

Tuntutan untuk cepat sukses membuat banyak Gen Z merasa harus segera menemukan passion dan tujuan hidup. Tekanan ini tidak hanya datang dari luar, tapi juga dari dalam diri mereka sendiri. Akibatnya, ketika merasa tidak sejalan dengan pekerjaan saat ini, mereka mudah merasa tersesat dan kehilangan semangat.
Rasa bingung ini wajar terjadi di awal perjalanan karier. Sayangnya, tidak semua memiliki akses pada mentor atau sistem pembelajaran yang membantu mereka menemukan arah. Ketidakpastian tersebut, bila terus dibiarkan, bisa berkembang menjadi rasa putus asa yang pada akhirnya mengganggu kesehatan mental.
5. Kurangnya waktu istirahat yang berkualitas

Gaya hidup yang tidak teratur, beban pekerjaan, dan aktivitas digital yang terus berjalan membuat waktu istirahat Gen Z menjadi sangat minim. Meski memiliki waktu tidur, kualitasnya sering kali terganggu karena overthinking atau terlalu lama bermain ponsel sebelum tidur. Kondisi ini membuat tubuh tidak benar-benar pulih meski sudah beristirahat secara fisik.
Kurangnya istirahat yang berkualitas akan memengaruhi kemampuan untuk berkonsentrasi, mengambil keputusan, hingga mengatur emosi. Ketika hal ini berlangsung terus-menerus, burnout menjadi tak terhindarkan. Memprioritaskan tidur dan detoks digital menjadi langkah penting untuk menjaga keseimbangan hidup.
Burnout bukanlah kondisi yang bisa dianggap sepele. Ini adalah sinyal serius dari tubuh dan pikiran bahwa seseorang membutuhkan istirahat dan perhatian lebih. Generasi Z perlu menyadari pentingnya menjaga kesehatan mental sejak dini, terutama dalam menghadapi dunia kerja yang semakin kompetitif. Dengan mengenali tanda-tanda burnout dan berani mengambil langkah untuk pulih, mereka bisa tetap tumbuh secara profesional tanpa kehilangan keseimbangan hidup.