Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Dampak Buruk Orangtua Selalu Menuntut Nilai Sempurna Anak, Sadari!

ilustrasi memberikan konsekuensi (pexels.com/Monstera Production)
ilustrasi memberikan konsekuensi (pexels.com/Monstera Production)

Keinginan orangtua untuk memberikan yang terbaik bagi anak seringkali termanifestasi dalam bentuk nilai akademik sempurna anak. Namun ketika harapan ini berubah menjadi tekanan yang tidak sehat, efeknya justru kontraproduktif. Anak mulai melihat diri mereka hanya dari sudut pandang pencapaian akademik semata.

Sayangnya, semakin keras orangtua mendorong anak untuk mencapai kesempurnaan, semakin besar kemungkinan anak mengalami stres dan kehilangan motivasi untuk belajar. Pola ini dapat merusak hubungan orangtua-anak dan menghambat perkembangan emosionalnya, sehingga waspadai lima dampak berikut ini ketika nilai sempurna selalu menjadi tuntutan.

1. Anak kehilangan kepercayaan diri dan motivasi belajar

Ilustrasi belajar bersama anak (pexels.com/Andrea Piacquadio)
Ilustrasi belajar bersama anak (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Ketika kita terus-menerus menuntut kesempurnaan nilai, anak justru kehilangan semangat untuk belajar. Mereka mulai melihat pendidikan sebagai beban yang menakutkan, bukan sebagai petualangan pengetahuan yang menyenangkan. Akibatnya, motivasi internal mereka perlahan memudar dan digantikan rasa takut akan kekecewaan.

Sayangnya, semakin kita mendorong anak meraih nilai tinggi, semakin jauh mereka dari rasa percaya diri sejati. Anak-anak mulai meragukan kemampuan mereka sendiri dan hanya bergantung pada validasi eksternal berupa angka di rapor. Pada akhirnya, mereka tak lagi bangga dengan proses belajar yang telah mereka jalani.

2. Tekanan berlebih memicu gangguan mental serius

ilustrasi sad child (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi sad child (pexels.com/cottonbro studio)

Tuntutan nilai sempurna menciptakan tekanan psikologis yang luar biasa berat bagi anak-anak kita. Stres akademik yang berkepanjangan dapat memicu berbagai masalah kesehatan mental, mulai dari kecemasan hingga depresi. Banyak anak yang akhirnya merasa terjebak dalam siklus ketakutan yang tak berujung.

"Yang terpenting dari sudut pandang psikologis adalah jika terjadi penurunan nilai remaja secara tiba-tiba ini bisa menjadi tanda bahaya bagi masalah lain yang mendasarinya, seperti depresi," kata Emily Edlynn, Ph.D., psikolog klinis dan kolumnis, dilansir Parents.

Dampak psikologis ini sering kali tak terlihat di permukaan, namun menggerogoti kebahagiaan anak dari dalam. Mereka mungkin tetap tersenyum di depan kita, tapi sebenarnya berjuang melawan beban mental yang sangat berat. Kondisi ini bisa berlangsung bertahun-tahun tanpa kita sadari.

3. Hubungan orangtua dan anak menjadi tegang

ilustrasi bertanya pada anak (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi bertanya pada anak (pexels.com/cottonbro studio)

Fokus berlebihan pada nilai sering kali merusak kedekatan emosional antara kita dan anak. Percakapan di rumah didominasi diskusi tentang tugas, ujian, dan prestasi akademik. Momen-momen kebersamaan yang seharusnya hangat berubah menjadi sesi interogasi tentang perkembangan sekolah.

Anak-anak mulai melihat orangtua sebagai hakim yang menilai, bukan sebagai pendamping yang mendukung. Mereka cenderung menyembunyikan kesulitan atau kegagalan karena takut mengecewakan kita. Komunikasi yang terbuka dan jujur pun menjadi semakin sulit terbangun dalam keluarga.

4. Anak takut mengambil risiko dan eksplorasi

ilustrasi anak perempuan (pexels.com/RDNE Stock project)
ilustrasi anak perempuan (pexels.com/RDNE Stock project)

Obsesi terhadap nilai sempurna membuat anak-anak kita terlalu berhati-hati dalam mengambil keputusan. Mereka lebih memilih zona aman daripada mencoba hal-hal baru yang mungkin menantang. Kreativitas dan jiwa petualang mereka perlahan terkikis karena takut membuat kesalahan.

"Anak-anak tidak belajar berpikir sendiri," dan "mereka tidak mau mengambil risiko dan takut membuat kesalahan," kata Dr. Emily Loeb, psikolog klinis yang menangani remaja dan mahasiswa, dilansir Psychology Today.

Ketakutan akan kegagalan membuat anak kehilangan kesempatan berharga untuk belajar dari pengalaman langsung. Mereka jadi terlalu bergantung pada instruksi detail. Padahal, kemampuan beradaptasi dan berinovasi justru sangat penting untuk masa depan mereka.

5. Kemampuan mengatasi kegagalan tidak berkembang

ilustrasi anak laki-laki (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi anak laki-laki (pexels.com/cottonbro studio)

Ketika kita selalu menuntut kesempurnaan, anak tak pernah belajar cara menghadapi kekecewaan dengan sehat. Mereka menjadi sangat rapuh ketika menghadapi tantangan atau hasil yang tak sesuai harapan. Resiliensi mental yang seharusnya terbentuk sejak dini justru tak berkembang optimal.

Kegagalan adalah guru terbaik dalam hidup, tetapi anak-anak kita kehilangan kesempatan belajar darinya. Mereka tak memahami bahwa jatuh bangun adalah bagian normal dari proses pembelajaran dan pertumbuhan. Akibatnya, mereka mudah menyerah ketika menghadapi rintangan pertama dalam hidup.

Investasi terbaik untuk masa depan anak adalah membangun fondasi emosional yang stabil. Tekanan untuk meraih nilai sempurna seringkali mengabaikan aspek kreativitas dan inovasi yang justru dibutuhkan di era modern. Berikan mereka kebebasan untuk bermimpi besar tanpa dibatasi oleh standar akademik yang kaku!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Bandot Arywono
EditorBandot Arywono
Follow Us