Geliat Perangkat Desa Kluwut Brebes Deteksi Stunting dari POPS
- Desa Kluwut Brebes mengalami stunting pada balita dan baduta
- Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) membuat PMT dari bahan lokal untuk anak-anak
- Aplikasi POPS mempermudah pendataan anak stunting dan Rumah Anak SIGAP membantu pemenuhan gizi anak
Brebes, IDN Times - Sebuah mitos rupanya menghambat laju tumbuh kembang anak pesisir Kabupaten Brebes. Terutama kejadian yang muncul di Desa Kluwut Kecamatan Bulakamba. Desa yang letaknya di pinggir tempat pelelangan ikan (TPI) itu ditemukan banyak balita stunting.
Balita balita yang mengalami stunting bukannya diberi asupan makan ikan yang banyak ditemukan di TPI Kluwut.
Mereka ironisnya justru diberi asupan bubur sayur kuah kuning.
"Seringnya bubur encer dan kuah kuning kayak opor," ujar Sri Yuliana, Koordinator Rumah Anak SIGAP Desa Kluwut, Rabu (29/10/2025).
Banyak mitos sebabkan balita Desa Kluwut mengalami stunting
Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Desa Kluwut menyatakan berdasarkan data dari aplikasi Pusat Operasi Penurunan Stunting (POPS), per September 2025 tercatat, dari 830 balita dan baduta yang menjadi sasaran penimbangan Posyandu, 183 diantaranya teridentifikasi stunting. Jumlah ini tergolong tinggi mengingat total populasi balita dan baduta Desa Kluwut mencapai 1.055 anak.
Tingginya stunting karena banyak mitos yang sulit dilawan. Terutama banyak menolak pemberian makanan tambahan (PMT). Menurutnya warga desanya masih menganggap PMT serupa makanan dari rumah sakit.
"Masyarakat, terutama di wilayah pesisir, sering menolak. Mereka bilang, PMT itu masakan rumah sakit, ada obatnya. Padahal, kami masak sendiri pakai bahan lokal, pakai ikan yang melimpah," ujarnya.
"Percayanya sama air tajin. Kalau anak gemuk pakai tajin aja gitu anggapannya," lanjutnya.
Tim PKK olah bahan ikan jadi asupan PMT yang bergizi
Namun, penolakan itu justru memacu kreativitas. Ana sapaan akrabnya beserta kader PKK berinovasi membuat PMT yang lezat dari bahan lokal. Mereka membuat pepes hati ayam, perkedel ikan, bola-bola ayam, pepes telur asin, bahkan es cendol dari ikan yang diolah sedemikian rupa biar tidak terasa amis.
"Kami manfaatkan hasil kami sendiri. Kami edukasi bahwa ini bukan obat, tapi makanan sehat untuk anak-anak mereka, dan ini hasil dari potensi lokal," katanya.
Upaya pendekatannya pun personal. Jika ada keluarga yang menolak, tim tidak patah arang. Mereka tetap memberikan PMT, dan terus mengedukasi. Sebab penolakan kerap datang dari nenek dan kakek, bukan orang tua. "Kalau ditolak, ya tidak apa-apa. Kami ulangi lagi, kami tetep buat," akunya.
Ia pun bercerita ada ibu-ibu yang sembunyi-sembunyi menerima PMT. Sebab suaminya tak mengizinkan.
"Anak dan ibunya kan mau (PMT), akhirnya sembunyi-sembunyi dimakannya setelah suaminya berangkat kerja," bebernya.
Muniroh pakai aplikasi POPS untuk permudah pendataan anak stunting
Menurut Muniroh, Ketua Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Desa Kluwut, karena tingginya stunting, aplikasi POPS jadi inovasi untuk mempermudah dalam pendataan dan penanganan agar tepat sasaran. POPS dibentuk 2022 saat Tanoto Foundation mulai pendampingan di desanya melalui program Rumah Anak SIGAP.
Program ini membuat pemerintah desa lebih mudah memahami pentingnya pengelolaan data yang akurat. Selain itu juga menguatkan peran masyarakat dalam menurunkan angka stunting.
"Dulu data stunting kami berantakan, tersebar di berbagai lembaga. Sekarang semua terintegrasi lewat POPS,” kata Muniroh.
Muniroh berkata POPS berfungsi sebagai bank data terpadu yang menghimpun informasi dari aplikasi EPPGBM (Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat) untuk Posyandu, catatan dari bidan, serta hasil pendampingan Tim Pendamping Keluarga (TPK) dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3KB).
"Di POPS ini, data balita normal dan bermasalah ada semua. Mulai dari calon pengantin (catin), ibu hamil, ibu nifas, hingga anak balita, terutama yang stunting, semuanya terpantau di sini," imbuhnya.
Sejumlah anak mulai terbebas dari stunting
Adapun Rumah Anak SIGAP ini menjadi tempat transformasi pola pikir dan praktik pengasuhan. Tim PKK Desa Kluwut juga merasakan manfaat Rumah Anak SIGAP menjadi bekal orang tua untuk pemenuhan gizi anak. Di Rumah Anak SIGAP terbagi menjadi empat kelas. Yakni Bintang Kecil (0-6 bulan), Bintang Ceria (7-12 bulan), Bintang Pijar (13-24 bulan), dan Bintang Terang (25-36 bulan).
Di kelas-kelas ini, para balita tidak hanya mendapat PMT, tetapi stimulasi perkembangan motorik dan kognitif. Orang tua juga diedukasi pemberian ASI eksklusif dan pentingnya pola asuh yang baik.
"Banyak pelatihan dari Tanoto Foundation yang memperluas wawasan kami. Dulu taunya cuma PMT dan gizi dasar. Sekarang kami paham tentang stimulasi, perkembangan anak, dan cara komunikasi yang baik dengan orang tua," kata Ana.
Kini setidaknya sudah ada 10 anak yang berhasil terbebas stunting berkat pendampingan di Rumah Anak SIGAP. Alhasil, aplikasi POPS dan Rumah Anak SIGAP menjadi praktik baik bagi penanganan stunting berbasis desa. Bahkan beberapa waktu lalu rombongan dari Sulawesi datang langsung ke Rumah Anak SIGAP Kluwut untuk melakukan studi tiru.
“Desa lain mulai belajar ke sini. POPS jadi model untuk integrasi data, sementara Rumah Anak SIGAP jadi model perubahan perilaku. Kemarin dari Sulawesi datang untuk studi tiru,” tandasnya.


















