5 Alasan Mengapa Orang Indonesia Obsesi dengan Pernikahan

- Pernikahan di Indonesia dipandang sebagai pencapaian hidup yang wajib dilakukan, bukan hanya urusan pribadi.
- Tekanan sosial dan budaya membuat banyak orang buru-buru menikah tanpa kesiapan mental dan finansial.
- Obsesi terhadap pernikahan dipengaruhi oleh pola pikir sejak kecil, narasi media, dan tekanan lingkungan sekitar.
Pernikahan di Indonesia bukan sekadar urusan pribadi antara dua orang yang saling mencintai, tapi juga dianggap sebagai pencapaian hidup yang wajib dilakukan. Dari kecil, banyak orang sudah dicekoki pemikiran bahwa menikah adalah tujuan utama dalam hidup. Ada yang menikah karena memang ingin, tapi gak sedikit juga yang merasa terpaksa demi memenuhi ekspektasi sosial.
Obsesinya orang Indonesia terhadap pernikahan ini bisa terlihat dari berbagai aspek kehidupan. Bahkan, status seseorang di mata masyarakat sering kali dinilai dari apakah mereka sudah menikah atau belum. Tapi, apa sih yang bikin pernikahan jadi begitu penting dan bahkan sampai diobsesiin? Berikut lima alasannya.
1. Tekanan sosial yang gak ada habisnya

Di Indonesia, umur segini harus sudah menikah, umur segitu harus punya anak, kalau belum, siap-siap aja dapat komentar pedas dari keluarga atau tetangga. Banyak orang yang akhirnya buru-buru menikah bukan karena siap, tapi karena takut dicap “gak laku” atau “terlalu pemilih.” Pandangan bahwa menikah adalah keharusan membuat banyak orang lebih mementingkan status sosial daripada kesiapan mental dan finansial.
Tekanan ini juga diperkuat oleh budaya kumpul keluarga yang sering kali dijadikan ajang interogasi. Setiap kali lebaran atau acara keluarga besar, pertanyaan yang selalu muncul adalah, "Kapan nikah?" Seolah-olah kebahagiaan seseorang hanya bisa diukur dari status pernikahan. Padahal, menikah tanpa kesiapan justru bisa berujung pada permasalahan yang lebih besar.
2. Standar kehidupan yang dibangun sejak kecil

Sejak kecil, banyak orang Indonesia sudah dibentuk dengan pola pikir bahwa menikah adalah bagian dari perjalanan hidup yang gak boleh dilewatkan. Film, lagu, dan cerita dalam buku pelajaran sering kali menggambarkan pernikahan sebagai tujuan akhir yang wajib dicapai. Bahkan, di banyak keluarga, anak perempuan dididik untuk menjadi istri yang baik sejak dini, sementara anak laki-laki diajarkan untuk menjadi kepala rumah tangga.
Pola pikir ini membuat banyak orang merasa ada yang kurang dalam hidup kalau belum menikah. Tanpa disadari, mereka lebih fokus mencari pasangan daripada mencari jati diri atau membangun karier. Padahal, ada banyak hal yang bisa dilakukan dalam hidup selain menikah, tapi karena standar ini sudah tertanam sejak kecil, jadi susah buat melepaskan diri dari pola pikir tersebut.
3. Keyakinan bahwa menikah adalah jalan menuju kebahagiaan

Banyak orang percaya bahwa menikah otomatis membuat hidup lebih bahagia. Padahal, kenyataannya gak selalu begitu. Kebahagiaan dalam pernikahan tergantung pada banyak faktor, termasuk kesiapan mental, komunikasi yang baik, dan kondisi finansial yang stabil. Tapi karena narasi yang berkembang selalu menggambarkan pernikahan sebagai solusi dari semua masalah, banyak orang yang buru-buru menikah dengan harapan hidup mereka akan lebih baik.
Realitanya, pernikahan bukan jaminan kebahagiaan. Justru kalau menikah hanya karena ingin bahagia, bisa-bisa malah kecewa karena ekspektasi gak sesuai dengan kenyataan. Banyak pernikahan yang akhirnya berakhir karena salah satu atau kedua pihak merasa tidak menemukan kebahagiaan yang mereka harapkan. Kebahagiaan itu bukan sesuatu yang bisa didapat dari orang lain, tapi harus dibangun dari dalam diri sendiri terlebih dahulu.
4. Rasa takut sendirian dan FOMO

Di era media sosial seperti sekarang, rasa takut ketinggalan (FOMO) semakin menjadi-jadi. Melihat teman-teman sudah menikah, punya anak, dan memamerkan kehidupan rumah tangga yang tampak sempurna di Instagram atau TikTok, bisa bikin seseorang merasa tertinggal. Ditambah lagi dengan omongan orang sekitar yang bikin makin kepikiran, akhirnya banyak yang memutuskan menikah hanya karena takut sendirian.
Padahal, menikah bukan solusi dari rasa kesepian. Ada banyak cara lain untuk merasa lengkap tanpa harus buru-buru mencari pasangan hidup. Tapi karena lingkungan sekitar terus-menerus memberikan tekanan, banyak orang yang akhirnya lebih memilih menikah daripada menghadapi stigma sebagai lajang di usia tertentu.
5. Pengaruh agama dan budaya yang kuat

Di Indonesia, agama dan budaya memainkan peran besar dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam urusan pernikahan. Banyak ajaran agama yang menekankan pentingnya menikah dan menggambarkan pernikahan sebagai ibadah. Selain itu, budaya patriarki yang masih kuat juga membuat pernikahan dianggap sebagai tahap hidup yang harus dilalui, terutama bagi perempuan.
Banyak yang merasa bahwa menikah adalah cara untuk memenuhi kewajiban agama dan mendapatkan status lebih baik di masyarakat. Ada juga kepercayaan bahwa menikah akan membawa keberkahan atau menghindarkan dari perbuatan yang dianggap kurang baik. Kombinasi antara ajaran agama dan budaya ini membuat pernikahan bukan hanya pilihan pribadi, tapi juga dianggap sebagai tanggung jawab moral yang harus dijalankan.
Orang Indonesia memang punya obsesi yang besar terhadap pernikahan, dan itu bukan tanpa alasan. Tapi yang perlu diingat oleh setiap orang Indonesia bahwa menikah bukan satu-satunya jalan menuju kebahagiaan atau kesuksesan dalam hidup. Setiap orang punya jalannya masing-masing, dan kebahagiaan gak selalu harus datang dari pasangan atau status pernikahan.