TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Perundungan Makin Mengkhawatirkan, Jangan Abai Pada Aksi Bullying!

Perlunya maksimalkan BK dan Satgas anti kekerasan

Ilustrasi siswa sekolah (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)

Dunia pendidikan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini mengalami tantangan yang tidak mudah yakni masih terjadinya tindakan perundungan atau bullying terhadap soswa di lingkungan sekolah.

Sekolah merupakan tempat kedua bagi anak-anak dalam menghabiskan waktunya sehari-hari idealnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi mereka untuk belajar. Meski begitu pada prakteknya intoleransi, kekerasan seksual dan perundungan masih saja terjadi di lingkungan pendidikan.

Sangat mengkhawatirkan yang belum banyak disadari dampak bullying ini sangat membekas dan berpengaruh buruk koraban. Seperti yang terjadi di Temanggung merasa sering dibully oleh teman-teman kelasnya,seorang remaja di Temanggung berinisial R (13) membakar sekolahnya di SMP Negeri 2 Pringsurat Kabupaten Temanggung, pada Selasa (27/6/2023) dini hari.

Pembakaran yang ia lakukan merupakan puncak sakit hati karena sering dirundung oleh teman-temannya. Ironisnya R mengaku gurunya juga melakukan perundungan kepaanya, mesti kemudian dibantah oleh pihak sekolah. Sekolah dan guru yang mestinya menjadi tempat yang ramah dan nyaman untuk R, nyatanya malah menjadi tempat yang tidak nyaman dan menjadi ancaman bagi R.

Pasca pembakaran sekolah R kemudian harus berurusan dengan hukum karena berdasarkan penyelidikan kepolisian terlihat di CCTV R merupakan pelaku yang dengan sengaja melakukan pembakaran. Polisi menyebutkan ada unsur tindakan pidana di dalamnya, meski belakangan ada upaya restorative justice.

Pasca kasus perundungan siswa di Temanggung yang jadi viral Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyebutkan pencegahan dan penanganan perundungan sebenarnya telah ada di Permendikbud 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan. 

Jauh sebelum Permendikbud 82 tahun 2015, satuan pendidikan sebenarnya telah memiliki instrumen yang bernama Bimbingan Konseling (BK) yang salah satu tugasnya yakni melakukan pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan. Namun prakteknya berurusan dengan BK malah menjadi aib bagi siswa, pasalnya BK identik dengan siswa nakal dan bermasalah, selain juga pemilihan guru BK yang seringkali kurang bisa memahami para korban bullying.

Baca Juga: Siswa SMP di Temanggung Nekat Bakar Sekolah, Ngaku Sakit Hati Dibuli

Nekat melakukan tindak pidana karena tak tahan dirundung sesama siswa dan guru

Ilustrasi bullying (pexels.com/RODNAE Productions)

Tertekan karena sering dibully oleh teman-temannya sekolahnya R yang sudah sangat kesal meluapkan kemarahannya dengan membakar sekolahnya. Selasa (27/6/2023) dini hari R mendatangi sekolah dan membakar beberapa ruangan di sekolah dengan menggunakan alat yang telah ia siapkan berupa tiga botol bekas minuman bervitamin, menggunakan cairan khusus yang sudah dicampur dengan bahan tertentu yang kemudian disulutnya.

Tiga buah rangkaian dibuat, satu diletupkan di sebelah kanan sekolah, kemudian ada yang dilempar dan yang paling fatal adalah yang ditaruh di ruang prakarya, karena ruang ini tidak tetutup dan di dalamnya terisi barang-barang dari kayu dan kardus. Hasil karya tersebut habis terbakar.

Dari ruang prakarya ini kemudian api merambat ke ruang kelas lain yang bagian atapnya separuh hangus, hampir roboh. Kemudian dia jalan lagi ke green house tetapi juga tidak terbakar habis. Kemudian dia juga membakar spanduk kelulusan.

Tak butuh waktu lama, aksi R yang terekam di CCTV sekolah ini kemudian terungkap. Ia pun ditangkap aparat kepolisian Temanggung dan sempat ditetapkan sebagai tersangka. R diancam dengan Pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Peradilan Pidana Anak.

Dihadapan wartawan R kemudian dihadirkan pihak kepolisian dengan ditutup wajahnya dan dikawal aparat kepolisian yang menyandang senjata laras panjang. R mengaku nekat melakukan aksi tersebut karena menjadi korban bullying. "Karena kasus pembullyan oleh teman-teman dan ada beberapa guru di sekolah," kata R.

R mengaku selain kerap diejek oleh teman-temannya, Ia juga pernah dikeroyok. "Sering diejek dengan nama orangtua dan pernah dikeroyok juga," ucapnya. Puncak kekesalan R terjadi saat gurunya juga ikut melakukan perundungan kepadanya. "Kreasi saya tidak dihargai dan pernah disobek-sobek di depan saya," katanya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Dindikpora Temanggung, katanya R sudah sering mendapat panggilan guru bimbingan konseling (BK) untuk diberikan pengertian. Bahkan, orang tua siswa juga pernah dipanggil ke sekolah.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong penyelesaian kasus anak membakar sekolah di Temanggung dilakukan secara restorative justice" mengingat usianya juga masih di bawah 14 tahun.

"Tentu kita semua, saya kira bukan hanya KPAI mendorong untuk 'restorative justice'," katanya Ketua KPAI Ai Maryati Solihah

Menyinggung kasus "bullying", pihaknya mendorong pemerintah daerah menyusun kebijakan untuk pencegahan "bullying" dan bagi sekolah setempat fakta terkait "bullying" ini masih digali lebih dalam dan pihak pekerja sosial turun untuk memastikan bagaimana situasi sekolah tersebut.

Sementara itu Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Dindikpora) Kabupaten Temanggung menjamin siswa R (13) pelaku pembakaran SMP Negeri 2 Pringsurat tetap mendapatkan akses pendidikan atau sekolah.

"Kami tetap fasilitasi yang bersangkutan bisa melanjutkan pendidikan di sekolah tersebut maupun di sekolah lain," kata Kepala Dindikpora Kabupaten Temanggung Agus Sujarwo.

Ia menyampaikan prihatin dan empati terhadap kejadian di SMP Negeri 2 Pringsurat. Pihaknya tidak menduga ada kejadian seperti ini. Ternyata peristiwa ini bukan kebakaran biasa, tetapi disebabkan oleh seorang siswa di sekolah tersebut.

"Empati yang kami berikan kepada sekolah dan siswa adalah melakukan pendampingan kepada keduanya," katanya.

Menurut dia, hal ini dilakukan agar sekolah bisa mengevaluasi dan memperbaiki diri apa yang terjadi di sekolah. Kemudian kepada siswa, pihaknya melakukan pendampingan dengan melibatkan instansi lainnya, yakni Sentra Terpadu Kartini, Kementerian Sosial RI

Baca Juga: Perundungan Murid SD Berujung Maut, Korban Demam Tinggi Lalu Meninggal

Baca Juga: Kisah Fikri, Jadi Korban Bullying hingga Jadi Gagap saat Berbicara

Baca Juga: Perundungan Sisakan Luka Batin, Bisa Picu Perilaku Negatif

Baca Juga: Perundungan Terus Berulang, Sekolah Harus Cari Cara Cegah Kasus Serupa

Dampak bully menimbulkan trauma bahkan kematian

Penyintas korban bullying, Fikri Husaini Muzakki. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)

Seriusnya dampak bully juga dirasakan oleh Salah seorang penyintas bullying dari Kecamatan Turen, Kabupaten Malang bernama Fikri Husaini Muzakki (26). Ia menceritakan bagaimana kelamnya masa kecil saat menjadi korban bullying. Ia menjadi korban perundungan sampai menyebabkan gagap dalam berbicara.

Fikri mengaku sudah menjadi korban bully sejak ia duduk di bangku SD, para pelakunya yakni anak-anak yang tinggal di sekitar rumahnya. Perundungan hingga persekusi yang dilakukan anak-anak hingga orang dewasa dialami Fikri sejak ia masih kelas 5 SD hingga ia remaja.

Sejak saat itu hari-hari Fikri mulai berubah ia kerap dikeroyok anak-anak lainnya. Tapi Fikri tidak memiliki keberanian untuk membalas, untungnya Fikri masih bisa berlari agar tidak semakin mengalami luka serius.

Sejak kejadian itu, kepribadian Fikri menjadi berubah 180 derajat. Ia menjadi sosok yang murung dan kerap mengurung diri di dalam kamar. Ia bahkan sampai mengalami kendala saat berbicara atau gagap bicara.

"Akhirnya ketika naik kelas 6 SD sampai kelas 1 MTS aku depresi dan gak berani keluar rumah. Bahkan aku sampai mengalami penyakit gagap saat berbicara. Saking parahnya saat kelas 1 MTS aku gagap saat disuruh membaca puisi di depan kelas. Sehingga diketawain satu kelas dan dijadikan badut kelas," ungkapnya.

Fikri pernah melaporkan bullying ini kepada orang tuanya, tapi orang tuanya tidak membantu sama sekali. Orang tua Fikri menuntut Fikri bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Padahal masalah tersebut begitu pelik bagi anak usia 11 tahun.

"Katanya aku harus bisa melawan sendiri karena aku laki-laki. Mungkin itu bagi orang tua sepele, tapi bagiku itu sangat berpengaruh pada psikologis," ucapnya.

Yang lebih tragis yakni di Medan, Sumatera Utara kasus dugaan perundungan dan pemukulan berujung maut. Seorang pelajar kelas 1 Sekolah Dasar berinisial B (8), meninggal dunia diduga setelah dipukuli oleh kakak kelasnya di sekolah.

Pemukulan itu diadukan pada Kamis (22/6/2023). Saat itu B baru saja pulang dari sekolahnya. Sambil menangis dan wajahnya yang memucat, B mengadu kepada ibunya Y.

B diduga mengalami trauma. Itu dilihat langsung oleh ibunya saat B tidur. Dia sering mengigau. B juga mengalami demam tinggi selama dua hari. Nafsu makannya juga menurun. Hingga dia dilarikan ke rumah sakit. Nahas, umurnya tidak panjang. Baru sebentar dirawat, B meninggal pada Selasa (27/6/2023).

Kata Y, sebelum meninggal B sempat mengatakan ada sekitar lima orang yang memukuli dan merundunginya. Namun Y tidak ingin memperpanjang masalah. Dia mengaku pasrah dengan kondisi anaknya.

"(Pelakunya) Dekat-dekat sini juga pak, tapi orangnya nggak bisa kita sebutkan pak, nanti merumitkan masalah. Saya maafkan siapapun yang menjahati anak saya itu pak, tapi saya gak ikhlas sakit hati ini pak. Gara-gara dipukuli orang, anak saya meninggal pak. Itu anak pertama pak, anak kebahagiaanku pak," ungkap Y.

Polisi masih mendalami kasus kematian B. Teranyar, polisi memeriksa 12 orang saksi.

Kasus dugaan bullying yang menyebabkan kematian ini membuat kecewa Wali Kota Medan Muhammad Bobby Afif Nasution. "Ini harus kita kurangi kadang-kadang anak kita hanya meniru bukan ada maksud, bukan ada keinginan untuk melukai tapi ini hanya meniru oleh karena itu kegiatan yang mencontohkan kurang baik seperti tadi saya sampaikan begal geng motor, ini bukan kita tekan, tapi kita hilangkan," pungkasnya.

Di Kota Bandung perundungan pemukulan dua siswa siswa SMP bahkan viral, videonya dengan cepat tersebar ke media sosial. Pelaksana harian (Plh) Wali Kota Bandung, Ema Sumarna langsung mengumpulkan seluruh kepala sekolah baik SMP dan SD di SMP di Bandung meminta setiap guru dan kepala sekolah harus intensif mengawasi dan memberi pengertian baik oleh para pendidik ke anak didiknya saat berlangsung maupun jam istirahat.

"Saya meminta peran guru BK (bimbingan konseling) tidak selalu bergerak ketika ada perkara (setelah perundungan), tapi jadi bagian di setiap hari melihat anaknya ada masalah atau tidak," kata Ema.

Para pendidik pun harus menjalani evaluasi berkala setiap hari untuk mengetahui kendala dan kondisi saat KBM berlangsung. Dengan begitu, setiap masalah bisa dicari solusi terbaiknya.

Selain itu, Ema mengingatkan para orang tua untuk terus bersama-sama dengan para guru menjadi teladan dan mengingatkan anaknya untuk tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan.

"Mendorong orang tua dan juga para tokoh agama untuk terus mengingatkan bagaimana terus mendidik anak untuk menjadi generasi yang lebih baik. Juga diingatkan untuk sikap perilaku supaya tidak menimbulkan kerugian bagi diri sendiri maupun orang lain," katanya.

Tak hanya trauma, bullying juga mengakibatkan para korban cenderung meniru dan melampiaskan rasa trauma mereka kepada orang yang lebih lemah seperti yang terjadi di Banten, yakni empat anak usia belasan tahun membunuh ODGJ.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Banten (KPAI Banten), Hendri Gunawan, menyebut anak-anak korban perundungan cenderung memiiki luka batin mendalam yang bisa menjadi pemicu perilaku negatif bagi korbannya.

Hal tersebut seperti contoh kasus yang terjadi di wilayah Bayah, Kabupaten Lebak, beberapa waktu lalu. Empat anak berusia belasan membunuh Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) secara sangat sadis.

Berdasarkan keterangan selama pendampingan, KPAI Banten menemukan fakta bahwa dua anak pelaku pembunuhan yang berusia di atas 14 tahun merupakan korban perundungan.

Hendri mengatakan, perundungan yang terjadi pada dua pelaku mengakibatkan trauma dan memicu perilaku negatif di dalam diri mereka.

"Dari pendampingan hingga konseling yang kita lakukan dua anak itu putus sekolah itu ternyata adalah dua korban bullying yang akhirnya kita lihat jadi salah satu pemicu yang cukup dominan, sehingga mereka melakukan pembunuhan kepada ODGJ," kata Hendri kepada IDN Times, Sabtu (8/7/2023).

Baca Juga: Kasus Perundungan di Jogja Meningkat, Ini Upaya DP3AP2KB Jogja

Baca Juga: Mayoritas Pelajar SMA Jateng Pernah Alami Bullying, Ada yang Dikucilkan

Baca Juga: Diduga Merundung Siswa, Disdikbud NTB Copot Kepala SMAN 1 Praya Tengah

Kasus bullying meningkat, korban tak berani lapor khawatir dapat respon tak baik

Pexels.com/Pixabay

Fakta masih banyaknya angka perundungan diungkapkan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Yogyakarta yang mencatat masih ada kekerasan psikis atau perundungan terhadap anak. Pada tahun 2023 juga mengalami peningkatan jika dibanding dua tahun sebelumnya.

Berdasar data DP3AP2KB Kota Yogyakarta, kasus kekerasan psikis terhadap anak pada tahun 2023 hingga bulan Mei tercatat ada 21 kasus, 12 di antaranya menimpa perempuan dan 9 laki-laki. Sementara itu pada tahun 2022 menimpa 19 anak, 6 laki-laki dan 13 perempuan. Tahun 2021 tercatat 14 anak menjadi korban, 13 perempuan, dan 1 laki-laki.

Kepala DP3AP2KB Kota Yogyakarta, Edy Muhammad, mengungkapkan ada sejumlah hal yang dapat memicu perundungan. Mulai dari kondisi keluarga yang tidak harmonis, faktor pertemanan yang tidak baik, hingga paparan tindakan kekerasan.

"Pertama munculnya permasalahan ini dari keluarga yang kurang harmonis. Kemudian kekerasan seperti di gim, dengan pentungan, tembakan dan sebagainya bisa merusak jiwa anak. Ketiga kadang pertemanan kurang selektif, sebenarnya anak yang baik, tapi teman kurang, terus diajak kelompok yang akhirnya berbuat kekerasan," ujar Edy.

Edy mengatakan untuk penanganan terhadap kasus perundungan sebenarnya sudah ada satgas khusus yang menangani. Setiap kalurahan di Kota Yogyakarta ada dua. Termasuk di lembaga pendidikan dari jenjang TK hingga SMP yang berada di bawah pemerintah Dinas Pendidikan Kota Jogja juga sudah ada satgas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).

"Satgas itulah yang nantinya menangani jika ada kasus perundungan. "Mekanismenya kalau di sekolah selain dari guru BK, bisa melaporkan ke kami," ujar Edy.

Selain itu pelaporan juga bisa melalui Jogja Smart Service (JSS) melalui hotline service SIKAP yaitu Sistem Aplikasi Aduan Kekerasan Anak & Perempuan. Nantinya satgas yang berada di lokasi pelapor akan bergerak dan melakukan pendampingan.

"Kita lakukan pendampingan pskis anak. Termasuk jika ada masalah hukum ada konselor hukumnya," kata Edy.

Fakta terkait masih maraknya perundungan diungkapkan Yayasan Setara Semarang. Koordinator Program Disiplin dan Fasilitator Pencegahan Bullying Yayasan Setara Semarang, Bintang Al Huda mengatakan, ketika survei dilakukan pihaknya menemukan hampir 99 persen siswa SMA mengakui pernah mengalami perundungan.

Kemudian ada juga mengaku pernah melihat aksi perundungan yang dilakukan teman-teman sepermainannya. Prosentase siswa yang melihat aksi perundungan tersebut mencapai 54 persen.

"Jadi, untuk jenjang SMA ada 54 persen siswa pernah melihat tindakan bullying, lalu ada juga 99 persen pernah mengalami bullying, 35 persen siswa lainnya ngakunya tidak pernah mengalami atau ada yang ngaku tidak pernah melihat," tutur Bintang kepada IDN Times, Sabtu (8/7/2023).

Rata-rata siswa yang terkena perundungan tidak berani melaporkan kepada pihak sekolah karena khawatir tidak mendapat respon yang baik. Tindakan perundungan biasanya dialami siswa SMA secara verbal dan sosial.

Untuk yang perundungan secara sosial ini, kata Bintang siswa ada yang dikucilkan dari lingkungan bermainnya. "Biasanya paling banyak dilakukan secara verbal dan sosial, imbasnya ada siswa yang mengalami pengucilan," tambahnya.

Di tahun ini, Yayasan Setara menemukan kasus seorang siswa SMK yang mengalami perundungan sedemikian parahnya sehingga terpaksa keluar dari sekolah.

"Di Semarang untuk tahun ini ada dua kasus di salah satu SD dan satu SMK. Yang kasus anak SMK ini sebenarnya bertentangan dengan aturan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 yang disebutkan sekolah tidak boleh mengeluarkan anak didiknya. Tetapi faktanya, ada siswa yang dibully oleh temannya sampai gurunya juga ikutan memperburuk keadaan. Akhirnya si anak tersebut dikucilkan saat di sekolah dan dia gak betah, kemudian memilih keluar dari sekolah. Kalau bicara apakah kasus bullying di Jawa Tengah seberapa parahnya, ya pastinya di Jateng sudah parah," tuturnya.

Baca Juga: Psikolog RSJ Lampung: Menarik Diri Ciri Utama Anak Korban Bullying

Baca Juga: Anak Dirundung, Orangtua Harus Tahu Celah Berkomunikasi

Baca Juga: Orang Tua Jangan Abai saat Anaknya Jadi Korban Bullying

Pentingnya orangtua mengetahui ciri-ciri anak menjadi korban perundungan

Ilustrasi bullying (pexels.com/RODNAE Productions)

Meminimalisir dampak terburuk dari bullying penting bagi orangtua mengetahui ciri-ciri anaknya telah menjadi korban bully. Dikatakan Psikolog RSJ Provinsi Lampung, Retno Riani, menarik diri adalah indikator atau ciri-ciri utama seorang anak menjadi korban bullying. Itu biasanya diiringi perubahan sikap tidak biasa dalam kurun waktu berkepanjangan.

"Korban bully umumnya pasti menarik diri, anak biasanya terlihat riang tapi tiba-tiba tidak mau bersosialisasi. Termasuk tidak mau berkomunikasi, menangis, sedih, hingga mengalami rasa cemas," ujarnya.

Dari sederet ciri-ciri tersebut, Retno melanjutkan, pelaku bullying itu umumnya datang dari lingkungan sekolah dan pergaulan sang anak. Namun tak jarang, beberapa kasus bullying juga dilakukan di lingkaran keluarga.

Meski demikian, ciri korban bullying itu berbeda dengan sikap introvert. Itu dikarenakan hal tersebut merupakan kepribadian seseorang dibentuk secara alamiah dan bukan disebabkan perundungan oleh orang lain.

"Introvert salah satu kepribadian yang cenderung tidak mau membuka diri. Ini berbeda pada kasus bullying. Sebab korban biasanya mau berkomunikasi tapi tiba-tiba diam, biasanya ceria seketika berubah murung berkepanjangan," terangnya.

Akibat perbuatan bullying tersebut, Retno mengingat, perundungan terhadap anak bisa mendatangkan dampak tertentu mulai dari perilaku ringan hingga berat. Terparah, beberapa kasus bullying bisa menyebabkan korban memiliki keinginan mengakhiri hidupnya.

Pasalnya, korban bullying cenderung merasa harga dirinya telah direndahkan dan dilecehkan, mendapat trauma hebat, sampai mengalami kecemasan hingga sulit beristirahat. Itu semua tentu juga berdampak dalam kehidupan dan pendidikan sang korban.

"Secara psikologis, korban secara fisik biasanya tidak punya kemampuan melawan perbuatan bully pelaku, dengan cara-cara tertentu di mana korban bisa keluar dari situasi tersebut," ujar dia.

Dalam hal penanganan korban bullying, Retno mengingatkan, peran orang tua sebagai tempat utama pelindung anak teramat penting. Ini dapat dimulai dengan membangun komunikasi terhadap anak.

"Kadang suka dilupakan orang tua, padahal komunikasi sesuatu yang harus dibentuk. Misalnya, membiasakan diri meluangkan waktu tertentu untuk mengajak anak mengobrol, seperti di hari libur Sabtu Minggu atau ketika anak pulang sekolah," ucapnya.

Selain itu, penting bagi orang tua juga membangun hubungan sehat dan harmonis dengan sang anak. "Jelas ini tidak mudah, sebab orang tua harus jadi role model atau panutan bagi anaknya," tambah Retno.

Retno menyarankan, peran tenaga pendidik mulai dari kepala sekolah hingga guru wajib menyelipkan di antara kegiatan belajar mengajar nilai-nilai integrasi hingga moralitas kepada setiap peserta didiknya.

Hal senada juga dikatakan oleh Ni Ketut Jeni Adhi SPsi MPsi Psikolog Tema Insani Konsultan Psikologi di Tabanan, Bali, anak-anak yang mengalami perundungan jika tidak tertangani dampaknya sangat serius dan bisa terbawa hingga ia dewasa. Untuk itu, ada langkah-langkah yang harus dilakukan orangtua ketika anaknya mengalami perundungan di sekolah.

Komunikasi adalah kunci penting orangtua untuk mengetahui, apakah anaknya mengalami perundungan di sekolah. Menurut Jeni, orangtua harus selalu membiasakan anak untuk menceritakan kegiatannya sehari-hari.

"Tanyalah aktivitas anak. Luangkan waktu mendengarkan ceritanya. Apa saja yang dilakukan dan dengan siapa saja," ujar Jeni, Minggu (9/7/2023).

Anak yang terbiasa bercerita akan lebih mudah diketahui jika mengalami sesuatu, seperti perundungan di sekolah misalnya.

"Meski anak tidak mau cerita, orangtua yang terbiasa mengobrol dengan anaknya akan paham situasinya dan tahu celah untuk bertanya permasalahannya," jelas Jeni.

Anak yang berubah perilakunya dan ketika ditanya, jawabannya adalah dengan kata klise "Tidak apa-apa," maka pada saat itulah mereka harus mendapatkan perhatian lebih.

"Bisa jadi dengan kata 'tidak apa-apa' ini sebenarnya ada apa-apanya. Jadi orangtua harus jeli," lanjutnya.

Jeni mengatakan, pada dasarnya tindakan perundungan selalu dilakukan oleh anak yang merasa superior terhadap anak lainnya. Dalam beberapa kasus, rata-rata korban yang mengalami perundungan adalah anak yang pendiam, susah bergaul, dan memiliki karakter lemah.

Oleh karenanya orangtua harus menyiapkan karakter anak dengan selalu mengajarkan, bahwa kehidupan tidak selalu aman seperti mereka di dalam rumah.

"Harus selalu diberi pemahaman jika lingkungan di luar rumah itu tidak selalu bahagia dan menyenangkan," sebut Jeni.

Biasanya perundungan terjadi karena korban merespon. Sehingga apabila dirundung dengan kata ejekan, anak harus berani untuk tidak menanggapi ejekan tersebut.

"Anak harus berani tidak menanggapi, atau senyumin saja dan segera tinggalkan pelaku," jelas Jeni.

Namun jika perundungan terus terjadi, ajari anak untuk berani melapor kepada guru, guru BK, atau kelapa sekolah. Apabila tidak ditangani secara berkelanjutan oleh pihak sekolah, orangtua bisa bertindak sendiri.

"Caranya adalah mencari pelaku perundungan. Bukan menghardiknya, tetapi tanyakan baik-baik alasan anak dirundung oleh mereka," terangnya.

Psikolog Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang mengatakan jika korban bullying bisa menjadi pelaku di kemudian hari. Sehingga peran aktif orang tua diperlukan kepada anaknya yang jadi korban bullying.

Hal yang perlu dilakukan orang tua pertama kali adalah memberikan rasa aman kepada anak. Misalnya saat anak melapor karena merasa ketakutan maka orang tua harus bisa memberikan rasa aman, ditanyakan bully yang diterima anak seperti apa, berapa kali menjadi korban bully, dan sebagainya.

Orang tua harus mencari informasi lebih dalam apakah memang benar anaknya jadi korban bully. Fuji mengatakan bisa jadi itu hanya bercanda kalau cuma sekali atau dua kali. Kemudian orang tua harus memberi pengertian pada anak.

"Tapi kalau sudah lebih dari 2 kali maka anak ini jadi korban perlakuan tidak menyenangkan, kita harus mengekplorasi pikiran anak tentang perlakuan itu, apa yang dia pikirkan tentang dirinya, apa yang dia pikirkan tentang teman-teman, dan apa yang dia pikirkan tentang gurunya," jelasnya.

Kemudian orang tua harus mengkonfirmasi pada sekolah untuk didiskusikan dan mencari jalan tengah. Kalau tidak menemukan jalan tengah, sebagai orang tua harus memprioritaskan psikologis anak.

Baca Juga: Sekolah Ramah Anak Jadi Benteng Perundungan Siswa di Semarang

Berita Terkini Lainnya