TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Toleransi Lemah Saat Politik Identitas Kalahkan Kapasitas Calon Pemimpin

Praktik politik identitas tumbuh subur dalam Pemilu

Reuni 212 (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Semarang, IDN Times - Toleransi menjadi sikap yang sangat penting untuk diterapkan di negara majemuk seperti Indonesia. Namun, setelah muncul dan maraknya praktik politik identitas, toleransi makin sulit untuk diraih dan berganti dengan intoleransi yang terus berkembang. 

Baca Juga: Toleransi, Jemaat GKJ Manahan Bagikan Makanan untuk Warga Muhammdiyah

1. Politik identitas makin bahaya jelang pemilu

ilustrasi orang berorasi (unsplash.com/Miguel Henriques)

Pakar komunikasi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Triyono Lukmantoro mengatakan, politik identitas muncul ketika kelompok mayoritas merasa tidak mendapatkan bagian politik yang layak. Lalu, mereka menggunakan kemarahan dan ekspresi ketidakpuasan karena merasa ditinggal dalam merebut kekuasaan.

‘’Mereka melampiaskan marah, ambisi, kejengkelan setidak-tidaknya pada kelompok minoritas. Lalu, mereka mencoba mencari orang yang bisa menyuarakan kepentingan politik mereka ini. Sikap itu bisa dalam bentuk agama, bisa dalam bentuk etnisitas. Kalau di Indonesia, yakni pada agama,’’ ungkapnya kepada IDN Times, Sabtu (19/11/2022).

2. Retorika identitas dimunculkan dalam narasi keagamaan

Umat muslim mengikuti aksi reuni 212 di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (2/12/2018) (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Perkembangan politik identitas ini semakin membahayakan pada saat pemilihan umum dan pemilihan calon pemimpin apa pun, seperti calon presiden, calon gubernur, calon bupati, calon wali kota, dan lainnya.

‘’Jadi, masyarakat yang terpengaruh politik identitas ini dalam memilih calon pemimpin, tidak lagi melihat kapasitas melainkan beralih ke identitas. Dan retorika-retorika identitas ini sudah dimunculkan dengan narasi keagamaan, entah juga dengan narasi kepribumian,’’ tutur dosen sosiologi komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) itu.

Praktik seperti itu membuat masyarakat menjadi tidak toleran, karena dalam berinteraksi tidak melihat lagi sisi kewargaan seperti bekerja sama, bergotong royong, saling berinteraksi, membuka diri. Namun, yang dicari adalah perbedaan.

‘’Yang dicari, kamu tuh siapa sih, pilihan kita beda kok, Tuhan kita beda, ayat suci kita beda, sehingga tidak layak bagi kita bekerjasama karena perbedaan itu. Kemudian, bagi mereka tidak mungkin yang beda disamakan kecuali yang bersangkutan ingin terkonversi atau dikonversi atau gabung dengan mayoritas itu,’’ jelas pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Undip Semarang itu.

3. Politik identitas cara paling mudah dan murah

Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)

Politik identitas ini berawal pada tahun 1980-an di Eropa dan memiliki arti positif. Sebab, pada waktu itu ada pengakuan bagi kelompok minoritas, yakni perempuan dan kelompok etnis yang tersingkirkan karena ada kehancuran atau balkanisasi di Eropa.

Kendati demikian, dewasa ini politik identitas kerap digunakan untuk tujuan berbeda. Triyono menuturkan, pada tahun 2016 saat Donald Trump mencalonkan diri sebagai Presiden Amerika Serikat ia menggunakan politik identitas dengan memanfaatkan warga kulit putih di sana. Kemudian, pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 saat Anies Baswedan menjadi salah satu calon juga sama, ia menggunakan politik identitas menggunakan agama dan berkampanye di tempat ibadah.

‘’Politik identitas ini digunakan karena itu cara yang paling murah dan paling mudah. Apalagi, ketika tingkat kereligiusan, tingkat kesalehan diukur sebagai aspirasi untuk memilih seorang pemimpin,’’ tuturnya.

Baca Juga: Didukung Ganjar Maju Pilgub 2024, Gibran: Urusan Kui Gampang

Berita Terkini Lainnya