TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Vaksin Nusantara Langgar Deklarasi Helsinki, RS Kariadi Semarang Aman?

"Vaksin itu diuji klinis, bukan diuji nasionalismenya."

Ilustrasi Vaksin COVID-19 (vidc.org)

Semarang, IDN Times - Penelitian vaksin Nusantara terus menuai polemik oleh berbagai kalangan sejak pertama dikenalkan akhir tahun 2020. Sejumlah ilmuwan menilai calon vaksin yang digagas mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto itu telah melanggar prosedur dan aturan baku yang berlaku dalam riset di bidang medis.

1. Vaksin Nusantara sejak awal sudah melanggar prosedur

(Simulasi uji klinis vaksin sinovac COVID-19 di RSUP Unpad, Kota Bandung) IDN Times/Azzis Zulkhairil

Guru Besar Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Diponegoro (FIK Undip) Semarang, Prof dokter Zainal Muttaqin MD PhD mengatakan, saat ini dunia masih dalam kondisi berbahaya melawan wabah COVID-19. Berbagai pihak berupaya menangani virus corona ini salah satunya dengan gencar memberikan vaksinasi kepada masyarakat untuk mengurangi risiko penularan.

‘’Dalam proses pembuatan vaksin itu tentu siapapun boleh melakukan, asalkan aturan baku yang berlaku harus dipenuhi sejak dari riset yang dilakukan. Seperti penelitian dari calon vaksin Nusantara yang dimotori Terawan, dari awal sudah tidak sesuai prosedur yang berlaku. Tidak ada data atau berita tentang studi praklinis, tapi ujug-ujug (tahu-tahu, red) sudah ada hasil uji klinis fase I,’’ ungkapnya saat dihubungi IDN Times, Selasa (20/4/2021).

Zainal mengaku data hasil uji klinis fase I dari penelitian vaksin Nusantara tidak dalam bentuk jurnal atau publikasi ilmiah, melainkan disampaikan pada konferensi pers di RSUP Dr Kariadi Semarang akhir Februari 2021 lalu dengan durasi hanya beberapa menit saja.

‘’Harusnya kan muncul jurnal semacam review dari ilmuwan yang mengerti tentang vaksin. Lalu, bagaimana uji praklinisnya sudah dilakukan pada apa? Hewan lalat atau ikan? Itu pun tidak ada,’’ ujar dokter spesialis bedah saraf itu.

Baca Juga: Menkes Minta Para Peneliti Vaksin Nusantara Kariadi Semarang Bungkam

2. Menyalahi standar etika dalam Deklarasi Helsinki

Dokter Bedah Syaraf RSUP Dr Kariadi Semarang, Prof dokter Zainal Muttaqin SpBS PhD. (dok. pribadi)

Sebelum pada manusia, lanjut dia, bakal vaksin perlu dicoba keamanan dan efektivitasnya kepada hewan. Hal itu sudah menjadi bagian dari proses dan prosedur baku yang harus diikuti.

Kemudian, pada uji klinis fase I, lalu fase II dan fase III baru bisa dicoba kepada manusia, dan itu pun aturannya ketat. Adapun, regulasi tersebut telah diatur dalam konsensus level dunia yang menjadi standar etika dalam Deklarasi Helsinki tentang: Ethical Principles for Medical Research involving Human Subjects.

Pada Deklarasi Helsinki, juga menyebut tentang keterlibatan dari komite etik lokal.

"Jadi, kalau dikerjakan di RSUP Dr Kariadi, maka yang harus dilibatkan adalah komite etik rumah sakit tersebut. Namun, nyatanya komite etik RSUP Dr Kariadi justru tidak pernah terlibat meskipun uji klinis dilakukan di rumah sakit tersebut. Kenapa tidak pernah dilibatkan? Sebab, Terawan justru menggandeng komite etik dari RSPAD Gatot Soebroto Jakarta. Kesemrawutan itu ditengarai karena saat menjadi menteri dan sebelum turun, dia mengajak komite etik Balitbangkes Kemenkes. Namun, karena tidak mau mendukung maka komite etik Balitbangkes malah dibekukan," tuturnya.

3. Standar Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) tidak terpenuhi

Infografis Vaksin Nusantara. (IDN Times/Sukma Shakti)

Contoh lainnya adalah saat BPOM dengan tim peneliti yang dihadiri Komnas Penilai Obat dan tim dari ITAGI melakukan evaluasi terhadap data uji klinis fase I yang dipresentasikan oleh tim peneliti pada 16 Maret 2021 lalu. BPOM menolak hasil dari uji klinis fase I karena standar Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) tidak terpenuhi dengan rincian permasalahan pada profil subjek penelitian tidak jelas atau belum pernah terpapar antigen COVID-19. Selain itu, hasil vaksin juga tidak teruji sterilitasnya, serta tidak dilakukan uji penjaminan mutu dan keamanan produk.

"Hasil penilaian BPOM diumumkan secara transparan ke pihak tim peneliti vaksin Nusantara dan juga ke publik. Indikator-indikator yang dipakai oleh BPOM jelas berdasarkan dasar keilmuan bukan mengada-ada supaya riset vaksin Nusantara ini gagal," kata lelaki berusia 63 tahun tersebut.

Dari hasil penilaian itu, BPOM meminta pada peneliti untuk menyerahkan laporan tentang studi terhadap toksisitas atau bahaya dan imunogenisitas atau manfaat untuk setiap dosis vaksin, tapi sampai saat ini tidak pernah dipenuhi.

4. Dibuat peneliti asing, Vaksin Nusantara diklaim sebagai karya anak bangsa

Ilustrasi vaksinasi COVID-19 (ANTARA FOTO/Jojon)

Zainal menjelaskan, alasan BPOM meminta peneliti memenuhi kekurangan dari hasil uji klinis fase I itu bertujuan agar vaksin tersebut dapat berlanjut ke uji klinis fase II. Sebab, tidak mungkin BPOM mengeluarkan izin uji klinis fase II, tapi masih ada kekurangan pada uji klinis fase I.

Kemurnian dari produk dan verifikasi wajib dilakukan terhadap vaksin Nusantara. Seperti pengambilan darah pasien untuk menghasilkan sel dendritik harus dibuktikan dengan betul. Sayangnya, laboratorium di Semarang tidak bisa membuktikan verifikasi tersebut dan tidak memenuhi syarat.

Keganjilan lain dari calon vaksin yang semula bernama vaksin Joglosemar--karena menggandeng Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Universitas Sebelas Maret Solo, dan Universitas Diponegoro Semarang--adalah diklaimnya sebagai produk lokal dan karya anak bangsa. Padahal, semua material bahan seperti antigen didatangkan dari Amerika Serikat.

Menurut Zainal, klaim tersebut jelas mengandung unsur politik. Terawan dituding mencari dukungan dari para politikus di DPR, pejabat, dan mantan pejabat publik sampai tokoh masyarakat untuk melanjutkan uji klinis fase II di RSPAD Jakarta, meski tidak mengantongi izin dari BPOM.

Baca Juga: Dirut RS Kariadi Semarang Setop Penelitian Vaksin Nusantara Terawan

https://www.youtube.com/embed/3R2NVJgoXZs
Berita Terkini Lainnya