TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kopi Owa, Buah Konservasi Berkelanjutan untuk Masa Depan Indonesia

Potensi keterancaman berganti menjadi solusi mapan

Tasuri, merawat pohon kopi yang ada di hutan hujan tropis Petungkriyono, Pekalongan. (IDN Times/Dhana Kencana)

Keberadaan hutan cukup penting bagi kehidupan, namun tidak disadari banyak orang. Kopi Owa mengentaskan aksi perburuan sehingga hutan dan segala isinya lestari kembali dengan cara yang ramah.

Kopi asal Indonesia cukup terkenal di Dunia. International Coffee Organization (ICO) menyebut, Indonesia menjadi produsen kopi terbesar keempat di dunia dengan nilai produksi mencapai 565 ribu ton per tahun pada 2018--2019.

Varietas kopi yang populer antara lain arabika, robusta, hingga spesialti seperti kopi Luwak (Civet coffee). Kopi luwak menjadi primadona karena citarasa yang istimewa. Makanya, harga kopi hasil fermentasi feses Luwak (Paradoxurus hermaphroditus) itu lebih mahal dibandingkan jenis lainnya. 

Sama-sama dari hewan mamalia, muncul kopi Owa (Owa coffee) di Pekalongan, Jawa Tengah. Perbedaannya, kopi yang dihasilkan tidak melalui fermentasi feses hewan primata tersebut, melainkan buah dari konservasi habitat Owa Jawa (Hylobates moloch) di hutan hujan tropis Petungkriyono.

Tingkat Keterancaman Tinggi

Dari sejarahnya, Hutan Petungkriyono menjadi salah satu prototipe hutan hujan tropis dataran rendah yang masih tersisa di Pulau Jawa. Merujuk data Perhutani per November 2020, luas hutan Petungkriyono mencapai 5.847,29 hektare (ha), yang sebagian besar wilayah merupakan hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan lindung (HL).

Administratur KPH Pekalongan Timur, Didiet Widhy Hidayat menyebut kondisi hutan tersebut sudah cukup baik dari sisi vegetasi maupun biofisik. Ia tidak menampik jika historis hutan tersebut pernah terganggu akibat aksi ilegal.

"Sudah boleh dikatakan hampir mendekati nihil (aksi perusakan hutan), artinya sampai saat ini, kami sebagai pengelola tidak lagi mendapati laporan atau menemukan hal-hal seperti pembalakan liar, eksploitasi satwa kemudian kerusakan-kerusakan alam. Malah sebaliknya, masyarakat sadar bahwa (hutan) Petungkriyono harus dipertahankan sebagai salah satu ekosistem yang penting di Pulau Jawa, representasi hutan hujan tropis dataran rendah yang masih asri," ujarnya ketika ditemui IDN Times di kantornya Jalan Jenderal Sudirman Nomor 21 Podosugih, Kota Pekalongan, 11 November 2020.

Hutan hujan tropis Petungkriyono di Pekalongan, Jawa Tengah. IDN Times/Dhana Kencana

Tingkat keterancaman hutan Petungkriyono masih cukup tinggi sampai saat ini. Sebab, statusnya berada di luar kawasan konservasi--Kawasan Suaka Alam (KSA), Kawasan Pelestarian Alam (KPA), atau Taman Buru (TB) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2011 Jo PP 108 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam--. 

"Hutan Petungkriyono berada di luar kawasan konservasi, sehingga pengawasannya tidak bisa seketat yang ada di dalam kawasan konservasi, ada ranger-nya, undang-undangnya jelas, sehingga proteksinya lebih terukur. Kalau di sini peran masyarakat dilibatkan juga dalam menjaga hutan karena keterancamannya cukup tinggi," aku Arif Setiawan, anggota Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) Primate Specialist Group (PSG) Section on Small Apes (SSA), 11 Februari 2021.

Wawan--sapaan akrab Arif Setiawan--menyatakan, keberadaan hutan Petungkriyono bermanfaat tidak hanya bagi flora fauna, namun juga manusia dan lingkungan setempat. Seperti untuk penampungan air hujan sehingga serapannya mampu menjaga tata air dan kesuburan tanah dan penyumbang oksigen sebagai sistem penyangga kehidupan manusia di wilayah Pekalongan dan sekitarnya. Bahkan, atmosfer hutan tersebut masih tetap stabil dan segar secara mikro maupun makro meskipun perubahan iklim masif terjadi saat ini.

"Ini hutan hujan tropis dataran rendah yang ada di Pulau Jawa, yang tersisa ya di Pekalongan di sini, di (hutan) Petungkriyono. Jadi ini spesial di antara lanskap pegunungan yang ada di bagian tengah Pulau Jawa," ujarnya yang juga pakar primata (primatologist) dan alumni Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Satwa liar Owa Jawa di hutan hujan tropis di Pekalongan, Jawa Tengah. (IDN Times/Dhana Kencana)

Di hutan tersebut menjadi habitat Owa Jawa (Hylobates moloch), yang merupakan satwa endemik pulau Jawa. Sejak 2008--2020, International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) memasukkannya dalam daftar merah spesies terancam punah atau endangered (EN). IUCN juga melansir, bahwa Owa Jawa merupakan satu dari tujuh jenis Owa yang ada di Indonesia dan Asia Tenggara. 

Dalam laporan mereka, Owa Jawa dinilai terancam punah berdasarkan prediksi karena penyusutan populasi sebesar 50 persen atau lebih selama tiga generasi. Mulai tahun 2001--2015, 2016--2030, dan 2031--2045.

Penurunan tersebut diperkirakan akan terus terjadi seiring banyaknya ancaman terhadap Owa Jawa. Seperti hilang atau rusaknya habitat hutan dan perburuan untuk subsisten, juga sering dijadikannya untuk pasokan perdagangan hewan peliharaan.

IUCN sempat memasukkan Owa Jawa dalam status keterancaman critically endangered (CR) atau kritis pada 1996 dan 2000.

Senada, Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) mengeluarkan larangan perdagangan hewan yang masuk dalam suku (famili) Hylobatidae dan marga (genus) Hylobates tersebut, sebagaimana lampiran (appendix) I, per 28 Agustus 2020.

Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.92/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8 tahun 2018 tentang Perubahan atas Permen LHK Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6 tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi juga menyatakan apabila Owa Jawa menjadi salah satu satwa dilindungi di Indonesia.

Hutan hujan tropis menjadi habitat eksklusif bagi Owa Jawa karena memiliki keanekaragaman pohon jenis pakan yang tinggi dengan kerapatan atap atau kanopi hutan yang masih terpelihara. Kondisi tersebut turut menjamin pasokan buah sebagai sumber makanan Owa Jawa, melimpah sepanjang tahun.

Upaya pelestarian Owa Jawa di hutan Petungkriyono berawal dari survei yang dilakukan Wawan terhadap keberadaan, sebaran, populasi, dan individu satwa tersebut sejak 2006.

"Pada saat itu, yang paling banyak diburu adalah anaknya. Kalau mau menangkap, pasti menembak Owa Jawa Betina karena anaknya selalu digendong selama tiga tahun. Karena sejenis Kera jadi anaknya tidak bisa ke mana-mana sebelum disapih. Dengan begitu, lambat laun populasinya terus menurun ditambah regenerasi Owa Jawa yang lambat. Logikanya (berburu) dapat satu Owa Jawa berkurang dua ekor," katanya saat ditemui di Yogyakarta, 17 Oktober 2020.

Baca Juga: Hutan Petungkriyono, Surga Tersembunyi Bak Kisah Nyata Jurassic Park

Berburu Cuan Instan

Ahli primata dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Arif Setiawan melakukan pengamatan di hutan hujan tropis Petungkriyono, Pekalongan. (IDN Times/Dhana Kencana)

Dua tahun pertama survei, Wawan memergoki para pemburu bebas keluar masuk hutan dengan membawa jaring serta senapan setiap hari. Mereka berburu, merambah hutan sambil menebang pohon alami, yang sebenarnya bermanfaat bagi populasi Owa Jawa. Faktor ekonomi menjadi motif para pemburu tidak pernah kapok melakukan aktivitas tersebut.

"Orang-orang (pemburu) itu butuh makan. Misalnya, dengan membuka lahan, pohon-pohon ditebang kemudian diganti ditanami kopi. Menanam kopi di hutan sebenarnya juga menjadi ancaman bagi Owa Jawa dan hutan itu sendiri karena ruangan pohon-pohon alami berkurang karena tanaman kopi itu membutuhkan sinar Matahari. Selain itu, mereka juga menangkap sejumlah satwa di hutan," jelasnya.

Wawan kemudian menggagas adanya konservasi di hutan Petungkriyono setelah melihat tindakan tidak terpuji mereka dengan mata kepala sendiri. Jalan mulianya menemukan titik terang pada 2008.

Ia membujuk salah satu dari para pemburu untuk ikut serta melestarikan Owa Jawa melalui penguatan ekonomi dengan produk-produk yang dihasilkan dari hutan. Sebagai langkah awal, Wawan melibatkan mereka dalam kegiatan survei yang dilakukannya.

"Saat survei ke hutan meneliti (Owa Jawa), saya melibatkan pemburu sebagai guide (red: pemandu). Saya mencari orang-orang yang paham hutan. Pastinya mereka adalah para pemburu karena saya blank (red: tidak tahu) daerah itu. Ketemu dengan pak Tasuri hingga blusukan bareng survei Owa Jawa," ungkap anggota Perhimpunan Ahli dan Pemerhati Primata Indonesia (PERHAPPI) tersebut.

Selama meneliti mulai 2006-2008, Wawan didampingi Tasuri, warga Dusun Sokokembang, Desa Kayupuring, Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan. Tasuri dikenal sebagai kepala geng sekaligus pemburu ulung flora dan fauna di kawasan hutan Petungkriyono.

Tasuri berkisah bahwa aksi illegal logging sudah ia jalani sejak 1990. Semula, dirinya tidak mengenal aktivitas tersebut. 

Kegiatan terlarang itu justru terinspirasi dari banyaknya orang luar hutan Petungkriyono yang asyik berburu mencari berbagai jenis satwa. Merasa tidak terima lantaran banyaknya invasi orang asing, ia mulai mencoba-coba hingga akhirnya menikmati hasil perburuan burung dan penebangan kayu.

"Sebenarnya saya dan orang-orang di (kampung) sini tidak mengerti perburuan, baik itu kayu atau burung. Karena melihat ada orang luar berburu di sini, saya kemudian berpikir, mengapa saya yang tinggal di (dekat hutan) sini tidak bisa mengambil hasilnya? Kok malah orang jauh yang mengambil? Akhirnya saya ikut-ikutan, ternyata laku juga," aku Tasuri saat berbincang di rumahnya, 8 November 2020.

Tasuri, saat berada di tengah hutan hujan tropis Petungkriyono, Pekalongan. (IDN Times/Dhana Kencana)

Tasuri setiap hari menerima pesanan menebang pohon Babi (Crypteronia sp) dan mencari pohon Keruing (Dipterocarpus spp) di hutan Petungkriyono. Kayu-kayu tersebut banyak dicari karena kualitasnya yang bagus untuk kosen maupun kerangka rumah.

Bapak tiga anak itu mendapat bayaran Rp20 ribu dari penadah untuk satu potong kayu Babi berukuran 8x12 meter dengan panjang 4 meter. Pendapatannya dalam sehari bisa mencapai Rp100 ribu, bahkan pernah meraup hingga Rp2 juta selama satu bulan.

Sembari menebang pohon, Tasuri menyempatkan berburu satwa. Burung Cucak hijau menjadi incaran utama karena mudah ditangkap dibandingkan satwa-satwa lainnya. Ia cukup bermodalkan jaring yang digunakan untuk perangkap burung itu.

Hasil penjualan burung bernama latin Chloropsis sonnerati tersebut sangat menjanjikan baginya. Harga per ekornya, saat itu mampu tembus Rp1,5 hingga Rp2 juta. Tasuri mendapatkan 1--2 ekor burung Cucak hijau untuk sekali masuk ke hutan.

"Memotong pohon saat itu pakai gergaji (manual) tarikan satu-satu kanan dan kiri. Satu pohon dijadikan dua potong untuk dua orang. Sembari menebang, pasang (jaring) perangkap burung. Kalau pas beruntung, Cucak hijau bisa masuk. Teman (pemburu) lain juga ada yang menangkap Owa Jawa. Menjanjikan sekali (menjual satwa) saat itu karena untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau tidak begitu mau bagaimana lagi? Namanya juga (ekonomi) pas-pasan dan (berburu) sampai jadi pekerjaan utama," bebernya kepada IDN Times.

Seringnya keluar masuk hutan, pengetahuan yang dimiliki Tasuri diperlukan Wawan dalam pendampingan menyurvei Owa Jawa. Tasuri hafal dan mengetahui jenis-jenis pohon serta tanaman hutan yang bernilai ekonomi tinggi.

Komunikasi mereka kian intensif hingga akrab dan saling percaya. Sampai pada akhirnya, Wawan berhasil meyakinkan Tasuri insaf berburu pohon dan burung.

Tasuri, yang lahir dan tinggal di sekitar hutan diajak untuk ikut serta dalam upaya pelestarian alam, menggunakan kopi. Momen tersebut menjadi titik balik dimulainya konservasi di hutan Petungkriyono. 

"Dengan komunikasi intens, ada trust antara kita (saya dan Tasuri). Pendekatannya ya pelan-pelan, sampai akhirnya saya tanya dari hati ke hati, memang apa masih mau berburu terus sampai tua nanti? Apa bisa menjamin ekonomi untuk kehidupan keluarga juga anak-anak pada masa mendatang, sampai jangka panjang?" ujar Wawan terpisah.

Tasuri (kiri) mengolah tanah untuk bibit pohon kopi di Pekalongan. (IDN Times/Dhana Kencana)

Kopi bagi Tasuri bukan barang langka. Ia sudah rutin memanennya setiap tahun pada bulan Agustus. Hanya saja, keuntungan yang didapat dirasa kecil, lebih besar dari kegiatan berburu pohon dan burung.

"Kopi sudah ada dari kecil, tapi pengelolaan dan cara pemasarannya belum bisa bagus. Akhirnya dijual asal-asalan di pasar sini saja. Ditambah waktu panennya setahun sekali, lama banget. Adanya kegiatan berburu, terpaksa dijalani karena temannya banyak. Dulu bawa burung bebas mau lewat mana, tidak ada yang melarang," terang Tasuri yang hanya mengenyam pendidikan sampai Sekolah Dasar (SD) saja.

Wawan mengajak Tasuri menggeluti kopi dengan memberikan edukasi dan pengetahuan baru dari sejumlah barista dan pakar kopi. Mereka sengaja didatangkan agar hasil panen kopi oleh Tasuri tergarap dengan bagus.

Selama puluhan tahun, Tasuri mengaku proses pascapanen dan pengolahan yang dilakukannya masih sembarangan tanpa inovasi juga kreasi produk.

Ragam wawasan mulai pascapanen, roasting, penjemuran, pengemasan hingga pembudidayaan dipelajari semata-mata untuk memperkaya nilai tambah kopi hutan Petungkriyono. Setelah mendapat pengetahuan serta keterampilan, Tasuri mengakui prospek kopi tersebut begitu cemerlang karena mampu menghasilkan green bean yang standar.

"Dulu begitu panen, langsung dibawa ke tengkulak. Dicampur, buah merah dan hijau karena butuh uang cepat. Karena pohonnya yang tinggi di atas lima meter juga, yang penting (buahnya) tua, merah dan hijau diambil (panen) semua kemudian dijual di pasar bisa dapat uang Rp20 sampai Rp22 ribu per kilogram karena butuh (uang)," ucapnya.

Kopi hasil panen Tasuri kini sudah jauh lebih baik secara harga serta kualitas. Seperti adanya penyortiran ketika panen dimana buah hijau masih tetap dijual ke pasar tradisional setempat, sedangkan kopi petik merah diolah dan dipilah tersendiri.

Kopi buah petik merah tersebut dijual dengan nama Kopi Owa. Harga biji mentah atau green bean kopi jenis robusta tersebut adalah Rp60 ribu per kilogram untuk grade (kelas) satu. Sementara untuk yang siap saji atau roast bean mencapai Rp120 ribu per kilogram. Selama satu bulan, Tasuri mampu menjual hingga 30 kilo, baik green bean maupun roast bean.

Kopi Organik

Hutan hujan tropis Petungkriyono di Pekalongan. (IDN Times/Dhana Kencana)

Pohon kopi robusta di hutan Petungkriyono telah menyaru dengan hutan karena berusia lebih dari 10 tahun. Mereka tumbuh secara organik. Oleh karena itu, kapasitas panen Tasuri selalu berbeda-beda dan tidak ada patokan.

"Memang pohon (kopi) itu dibiarkan begitu saja, tanpa ada pemangkasan atau pemupukan. Semua serba organik apa adanya. Panen sedikit atau banyak, ya disyukuri karena kita tidak mematok hasil yang berlimpah. Tukul gak tukul, uwoh gak uwoh karepe dewe (red: tumbuh atau tidak tumbuh, berbuah atau tidak ya terserah pohonnya)," tutur Tasuri.

Kualitas, juga rasa kopi Owa lebih unggul nan spesial dibandingkan komoditas kopi hasil perkebunan karena tumbuh di bawah naungan atau tegakan hutan (shade grown coffee). Semula, pohon-pohon kopi ditanam secara sengaja oleh para pemburu. Berjalannya waktu mereka tumbuh liar di hutan. 

Ditambah dengan keberadaan satwa lain, seperti Owa Jawa sebagai agen penyebar biji -karena makan buah termasuk kopi- sehingga pohon-pohon kopi di hutan Petungkriyono dapat terus regenerasi dan lestari.

"Kopi tersebut punya rasa dan karakter yang khas. Yang jelas minim bahan-bahan kimia atau pestisida. Saking organiknya, pohon-pohon kopi tidak ada perawatan sama sekali dan hanya panen setahun sekali. Dengan shade grown coffee, kopi Owa akan sustainable karena baik buat alam dan masyarakat di sekitar hutan," urai Wawan yang merupakan sarjana Kehutanan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Shade grown coffee di hutan Petungkriyono bertipe rustic dengan jenis pohon naungan yang beragam. Jumlahnya mencapai 25 jenis pohon tegakan sehingga naungan di hutan tersebut lebih dari tiga lapisan. Adapun persentase tutupan naungannya mencapai 70 hingga 100 persen.

Pohon naungan berfungsi sebagai mulsa alami untuk mencegah tumbuhnya gulma dan menahan serta mengurangi erosi tanah di hutan Petungkriyono. Pohon-pohon tersebut turut menstabilkan suhu dan kelembaban akibat perubahan iklim sehingga secara tidak langsung meningkatkan keanekaragaman hayati bagi ekologi hutan, sekaligus populasi dan habitat Owa Jawa dapat terjaga dengan baik.

Konsep shade grown coffee tersebut memberikan banyak manfaat terhadap tanaman kopi, yang tidak banyak diketahui banyak orang, termasuk oleh Tasuri.

Di antaranya guguran dari daun pohon dapat menjadi humus untuk tanah serta memberikan nutrisi bagi pohon kopi. Maka dari itu, masa produktif atau umur pohon kopi hutan shade grown coffee bisa mencapai lebih dari 30 tahun.

"Kalau soal rasa kopi Owa, dari pengalaman saya menurut orang-orang yang tahu soal kopi benar-benar berbeda rasanya. Karena alami, sama sekali tidak menyentuh pestisida," sebut Tasuri.

Tasuri mengeringkan kopi Owa jenis robusta di Pekalongan. (IDN Times/Dhana Kencana)

Produk kopi Owa turut membangkitkan perekonomian setempat. Sejumlah warung di sekitar hutan Petungkriyono turut menjual produk tersebut.

"Kadang ada yang beli kemasan. Seminggu bisa dua kali. Ada juga yang beli untuk diseduh di tempat, malah setiap hari. Dari pembeli bilang rasa kopi Owa berbeda, ditambah suasana hutan yang sejuk," ujar Karti, ibu empat anak yang berjualan makanan tradisional siap saji di kawasan Petungkriyono, 25 Oktober 2020.

Beberapa konsumen kopi Owa saat ditemui IDN Times mengakui keunggulan kopi Owa. Di antaranya adalah Muhammad Saiful Anam (35) warga Kutosari, Doro, Pekalongan. Pemilik Wangi Kafe itu menyebut jika kopi Owa khas hutan Petungkriyono memiliki rasa khas, khususnya kenikmatan jenis robustanya lebih khas dari kopi-kopi biasanya.

Senada, Husein (65) yang sudah berlangganan selama lima tahun terakhir tidak pernah berpikir untuk mengganti kopi Owa yang rutin ia konsumsi dengan kopi lain karena orisinalitas rasa yang dihasilkan berbeda.

Pangsa pasar kopi Owa berkembang merambah sejumlah kota di Indonesia baik melalui penjualan konvensional maupun online. Wawan pun ikut menjualkan kopi Owa kepada penikmat kopi di luar negeri, seperti ke Singapura dan Amerika Serikat.

Wildlife Reserves Singapore (WRS) yang mengoperasikan sejumlah entitas taman margasatwa di Singapura, seperti Jurong Bird Park, Night Safari, River Safari, dan Singapore Zoo menjadi salah satu konsumen kopi Owa. 

WRS mengenalkan kopi Owa pertama kali kepada masyarakat luas di Singapura pada 2017, saat mengikuti ajang Singapore Coffee Festival. Selama tiga hari pelaksanaan acara tersebut, produk kopi Owa diterima dengan baik sehingga sukses menjual lebih dari 220 kemasan.

Kini, oleh mereka, kopi Owa disajikan pada acara dan program seperti Jungle Breakfast with Wildlife, untuk edukasi para tamu atau pengunjung mengenai kopi yang ramah terhadap satwa liar dari hutan Petungkriyono, Pekalongan, Indonesia. Mereka yang sudah mencoba menyatakan jika citarasa kopi Owa sangat berbeda dan rasanya khas dibandingkan kopi-kopi lain.

"Kami ingin menggunakan platform (kopi Owa) tersebut untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas lagi -seperti millennial dan dewasa muda yang bekerja- dan berbagi bahwa dengan memilih kopi tersebut dapat membuat perubahan (penyelamatan) untuk satwa liar dan (ekonomi) bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Kami secara aktif mendukung produk konsumsi yang berkelanjutan. Kami juga berkomitmen untuk menggunakan serta menyajikan sumber produk yang berkelanjutan tersebut," jelas Asisten Wakil Presiden bidang Konservasi dan Penelitian WRS, Roopali Raghavan di Singapura kepada IDN Times, 7 Januari 2021.

Baca Juga: Sang Penyerbuk Ekonomi dan Ekologi di Hutan Hujan Tropis Pekalongan

Berita Terkini Lainnya