TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Telur, Senjata Tempur Ampuh Lawan Stunting di Indonesia

Telur menjadi sumber protein hewani yang murah meriah

Ilustrasi telur ayam. (Unsplash/Loius Hansel)

Semarang, IDN Times - Setiap orangtua selalu ingin memastikan buah hatinya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal itulah yang juga diupayakan oleh Yunita Bella, ibunda Afif Purna Ramadhan. 

Setiap bulan, ia tak pernah absen membawa Afif ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Pandanaran di Kota Semarang untuk penimbangan berat badan dan tinggi badan.

Secara kasat mata, perawakan Afif seperti bocah pada umumnya. Namun, jika dilihat saksama, tubuhnya tampak lebih kecil dari anak seumurannya. Dan benar, pihak Puskesmas menyatakan bahwa anak laki-laki berusia 2,3 tahun itu mengalami gangguan tumbuh kembang atau stunting sejak menginjak usia satu tahun.

Yunita sempat heran jika anak pertamanya stunting karena selama pengasuhan terlihat sehat. Ia mengaku jika anaknya susah makan dan sudah sudah tidak minum Air Susu Ibu (ASI).

"Awalnya saya tidak tahu (kalau stunting). Kok bisa, ya? Setelah rutin ditimbang dan diperiksa, ternyata tumbuh kembangnya di bawah normal. Sekarang, berat badan 2 kilogram dan tinggi badan 44 sentimeter. Saya sering kasih sayuran, cuma dia sukanya sup. Memang (Afif) susah makannya dan sudah tidak (minum) ASI," katanya kepada IDN Times saat bertemu di rumahnya di kawasan Randusari, Kota Semarang, Senin (29/8/2022).

Petugas Puskesmas (kanan) mengukur lingkar kepala balita warga saat penimbangan di Semarang, Jawa Tengah. Pemantauan lingkar kepala menjadi indikator tumbuh kembang seorang balita, apakah mengalami stunting atau tidak (IDN TImes/Dhana Kencana)

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam laman resminya menyebutkan, jika stunting mengakibatkan anak rentan sakit. Meningkatnya risiko kesakitan secara tidak langsung menyebabkan gangguan fisik dan fungsional anak.

Atas kondisi tersebut, Afif yang lahir pada Sabtu (16/5/2020), mendapatkan penanganan ekstra untuk meningkatkan tumbuh kembangnya. Petugas Puskesmas bersama Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) setempat setiap hari rutin memantau kecukupan gizi dan memberikan makanan tambahan gizi seimbang untuk Afif.

Menu Pemberian Makanan Tambahan (PMT) tersebut mengandung gizi dan nutrisi yang melimpah. Sebab, salah satu pemicu anak menjadi stunting adalah kurangnya asupan gizi, baik dari sisi kualitas atau kuantitas, pada 1.000 hari pertama atau sejak janin hingga berumur dua tahun.

"Mungkin karena anak saya lahir prematur, jadi asupan gizinya kurang. Jadinya, setiap hari dikasih makanan tambahan (PMT). Menunya ada susu, buah, kacang-kacangan, sayur, dan telur yang sering (diberikan)," ujar Yunita.

Baca Juga: Si Bening Dashat Jurus Penting Tangani Anak Stunting di Semarang 

Telur sumber protein hewani

Petugas Posyandu (kiri) menemani anak mengonsumsi makanan tambahan di Bandung, Jawa Barat. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) diberikan anak yang mengalami gangguan tumbuh kembang karena kekurangan gizi dan nutrisi (IDN Times/Dhana Kencana)

Telur ayam menjadi menu wajib PMT karena salah satu sumber terbaik protein hewani yang mengandung banyak asam amino.

Dalam workshop daring bertemakan “Menganalisis Tren Stunting dan Persoalan Sistemik Gizi Buruk” yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Kamis (4/8/2022), Ketua Umum Ikatan dokter Anak Indonesia (IDAI), dokter Piprim Basarah Yanuarso menguraikan dari beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa anak menjadi stunting dikarenakan kekurangan asam amino akibat rendahnya asupan protein hewani. Salah satunya dari telur ayam.

Menurutnya, protein hewani berperan penting untuk mencegah terjadinya stunting karena asam amino tidak bisa didapatkan dari protein nabati sebagaimana yang terkandung di dalam sayuran dan kacang-kacangan.

Asam amino tersebut berfungsi untuk mengaktifkan gen mTORC1 sebagai sakelar pertumbuhan anak. Jika mTORC1 aktif, tubuh membentuk sintesis lemak, sintesis protein, dan autofagi (cara tubuh untuk membersihkan sel-sel yang rusak untuk regenerasi dan menjaga fungsi tubuh tetap berjalan dengan baik). Sebaliknya, jika asam amino dalam tubuh anak kurang (defisiensi), mTORC1 tidak bekerja sebagaimana mestinya.

"Penelitian di Dumai, Riau, menunjukkan bahwa anak-anak yang stunting asupan protein hewaninya rendah walaupun total kalori yang dimakan sama seperti anak yang tidak stunting, sekitar 1500 kalori per hari. Tapi, konsumsi protein hewani anak stunting hanya 46 gram per hari sedangkan yang tidak stunting mencapai 52 gram per hari. Asupan protein hewani mereka (anak stunting) kurang walaupun total kalorinya cukup atau sama," ujar dokter spesialis anak konsultan di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta Pusat itu.

Peternak memantau kesehatan ayam di sebuah peternakan tradisional di Boyolali, Jawa Tengah. Pemantauan kesehatan ayam bertujuan untuk meningkatkan kualitas telur dan daging untuk mendukung kecukupan gizi (IDN Times/Dhana Kencana)

Sayangnya, konsumsi telur ayam di kalangan masyarakat masih rendah karena banyaknya misinformasi yang beredar. Dokter Piprim mencontohkan, seperti pemahaman apabila mengonsumsi telur dapat mengakibatkan kolesterol naik dan bisulan pada anak. 

"Telur selalu difitnah. Kalau kebanyakan bisa kolesterol dan bisulan. Tidak ada hubungannya, justru malah sebaliknya. Bukti ilmiah sudah ada bahwa asam amino murah meriah dan mudah didapat dari telur, bukan sayuran, tahu, dan tempe. Telur justru menyehatkan. Kuncinya untuk tata laksana stunting adalah protein hewani," ucap dokter Piprim.

Masih minimnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan protein ikut menyumbang rendahnya konsumsi telur ayam. Hal itu terlihat dari telur, yang belum menjadi prioritas sebagai konsumsi bulanan dalam keluarga. 

Selain itu, tingkat ekonomi dan kemiskinan menjadi indikator ketidakmampuan masyarakat sehingga berdampak terhadap kemampuan daya beli karena kesulitan membeli telur untuk anak-anak.

Baca Juga: Kasus Stunting Semarang Utara Naik, Efek Balita Dititipkan Pengasuh

Berita Terkini Lainnya