7 Tahun Muncul Puluhan Kekerasan, Ulah Santri Senior di Jateng Disorot

- Gus Yasin menyoroti pentingnya penataan pembinaan dan pengawasan santri senior di ponpes.
- Korban kekerasan tidak berani lapor karena takut nama besar ponpes dan kiai.
- Kekerasan paling banyak terjadi dalam bentuk bullying dan tekanan mental, perlu sistem pendidikan yang aman, nyaman, dan inklusif.
Semarang, IDN Times - Sekitar tujuh tahun lamanya telah bermunculan laporan puluhan kasus tindak kekerasan di dalam pondok pesantren wilayah Jawa Tengah. Tercatat maraknya kasus kekerasan itu ditemukan mulai 2019-2025.
Ketika menghadiri halaqoh di Ponpes Girikesumo Mranggen Demak, Wakil Gubernur Jateng Taj Yasin Maimoen mengaku aksi kekerasan justru dilakukan para santri senior.
"Pemberian ta’zir atau hukuman harus bersifat mendidik," tegasnya, Jumat (12/12/2025).
1. Perlu pengawasan ke santri senior

Gus Yasin menyoroti pentingnya penataan pembinaan dan pengawasan, terutama mengenai peran santri santri senior di ponpes.
Ia berkata setiap penugasan santri senior sebagai pengurus mustinya merupakan bagian dari pendidikan. Sebab itulah, Gus Yasin menekankan, perlu pendampingan agar tidak berubah menjadi tekanan bagi santri santri junior.
2. Korban kekerasan tidak berani lapor karena takut nama besar ponpes dan kiai

Lebih lanjut lagi, Gus Yasin mengatakan puluhan kekerasan di ponpes belum sepenuhnya mencerminkan kondisi sebenarnya.
Ia menduga banyak santri tidak berani menyampaikan persoalan kasus kekerasan ke pihak yang berwenang karena takut dengan nama besar sang kiai.
“Sering kali santri berasumsi, kalau mereka bicara, harus menjaga nama pesantren dan kiai, sehingga tidak berani menyampaikan,” kata Gus Yasin.
3. Gus Yasin: Kekerasan paling banyak bullying dan tekanan mental

Pihaknya masih menemukan puluhan kasus kekerasan, terutama perundungan dan tekanan mental dalam beberapa tahun terakhir.
Ini, katanya menjadi peringatan serius agar masing-masing ponpes memperkuat sistem pengasuhan yang aman, nyaman, dan ramah anak.
“Bentuk kekerasan itu tidak selalu fisik. Yang paling tinggi justru bullying dan tekanan mental. Ini menimbulkan ketidakpercayaan anak-anak didik kita untuk tumbuh dan menjadi pemimpin," paparnya.
Menurutnya, pondok pesantren seharusnya merupakan lembaga pendidikan yang bersifat inklusif. Setiap ponpes harus menjadi ruang aman bagi seluruh santri, termasuk mereka yang menghadapi persoalan psikologis.
4. Kanwil Kemenag Jateng klaim butuh sistem dan jejaring

Kepala Bidang Pendidikam Diniyah dan Pondok Pesantren Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Jawa Tengah, Fatkhurronji mengklaim untuk menunjuk pesantren ramah anak, yang dibutuhkan sistem dan jejaring yang saling terhubung.
“Pesantren yang aman dan nyaman tidak cukup dilihat dari sisi fisik. Harus ada kenyamanan dalam proses pendidikan, dengan jejaring antara pengasuh, orang tua, santri, masyarakat," akunya.
















