Profil dr. Kariadi, Dokter Pejuang yang Gugur Demi Rakyat Semarang

- Dr. Kariadi gugur demi memastikan keamanan air minum warga Semarang di tengah situasi genting pascakemerdekaan, memicu Pertempuran Lima Hari melawan tentara Jepang.
- Dr. Kariadi menempuh pendidikan di HIS Malang dan NIAS Surabaya, berjuang melawan wabah malaria dan filariasis, serta melakukan inovasi medis saat pendudukan Jepang.
- Kematian dr. Kariadi memicu Pertempuran Lima Hari di Semarang, menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap penjajahan, dan namanya diusulkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Provinsi Jawa Tengah.
Semarang, IDN Times — Nama dr. Kariadi dikenal luas sebagai simbol keberanian dan pengabdian seorang tenaga medis terhadap kemanusiaan. Lahir di Singosari, Malang, Jawa Timur, pada 15 September 1905, dr. Kariadi gugur di Semarang pada 14 Oktober 1945, ketika berupaya memastikan keamanan air minum warga di tengah situasi genting pascakemerdekaan.
Tindakannya yang penuh risiko memicu Pertempuran Lima Hari di Semarang, salah satu perlawanan heroik rakyat melawan tentara Jepang. Atas jasa dan pengorbanannya, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengusulkan dr. Kariadi sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2020, sebagai bentuk penghormatan terhadap kiprahnya di bidang medis dan perjuangan kemerdekaan.
Awal Kehidupan dan Pendidikan
Dr. Kariadi, yang memiliki nama lengkap Kariadi Moeljadi Djojo. Ia menempuh pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Malang, lalu melanjutkan ke Nederlandsch-Indische Artsen School (NIAS) Surabaya, tempat ia lulus sebagai dokter pada tahun 1931.
dr. Kariadi menikah dengan drg. Soenarti (Sunarti), dokter gigi pribumi pertama Indonesia, lulusan STOVIT Surabaya.
Setelah lulus, dr. Kariadi sempat menjadi asisten dr. Soetomo di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ) Surabaya, sebelum ditugaskan ke berbagai daerah terpencil seperti Manokwari (Papua) dan Martapura (Kalimantan Selatan). Di sana, ia berjuang melawan wabah malaria dan filariasis yang kala itu banyak menelan korban jiwa.
Inovasi Medis dan Dedikasi di Masa Pendudukan Jepang
Selain dikenal sebagai dokter yang berdedikasi tinggi, dr. Kariadi juga tercatat sebagai peneliti malaria dan penemu ilmiah. Ia berhasil menemukan jenis nyamuk baru penyebab malaria serta menciptakan minyak kenanga sebagai pengganti minyak imersi mikroskop (cedar oil) pada tahun 1944, yang diberi nama Oleum microscopilar.
Penemuan tersebut sangat penting karena pada masa pendudukan Jepang, peralatan dan bahan medis sulit diperoleh.
Sejak 1 Juli 1942, dr. Kariadi menjabat sebagai Kepala Laboratorium Malaria di Rumah Sakit Rakyat (Purusara) Semarang, yang kini dikenal sebagai RSUP Dr. Kariadi. Ia juga menjadi Kepala Djawatan Pemberantasan Malaria di Jawa Tengah, menjadikannya salah satu figur kunci dalam dunia medis Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan.
Malam Tragis 14 Oktober 1945
Setelah proklamasi kemerdekaan, suasana di Semarang memanas. Pada malam 14 Oktober 1945, beredar kabar, tentara Jepang telah meracuni tandon air di Reservoir Siranda, sumber air utama warga kota. Demi memastikan kebenaran kabar tersebut, pimpinan RS Purusara meminta dr. Kariadi memeriksa air secara langsung.
Meski istrinya telah memperingatkan bahaya yang mengintai, dr. Kariadi dengan tekad kuat tetap berangkat menjalankan tugas. Di perjalanan menuju lokasi, tepat di Jalan Pandanaran, mobilnya dicegat oleh pasukan Jepang. Ia kemudian ditembak dan meninggal dunia sekitar pukul 23.30 WIB.
Putrinya, Prof. Dr. Sri Hartini K.S. Kariadi, dr., Sp.PD-KEMD, menjelaskan bahwa saat jenazah ayahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang pada tahun 1961, ditemukan retakan pada tengkorak yang diduga akibat pukulan benda tajam sebelum ditembak.
“Ayah saya adalah dokter yang tidak pernah takut menjalankan tugasnya. Ia percaya bahwa keselamatan rakyat jauh lebih penting dari keselamatan dirinya,” kata Prof. Sri Hartini dilansir dari arsip keluarga.
Pemicu Pertempuran Lima Hari di Semarang
Kematian dr. Kariadi membangkitkan kemarahan rakyat Semarang. Keesokan harinya, 15 Oktober 1945, Pertempuran Lima Hari di Semarang pecah antara rakyat dan tentara Jepang. Pertempuran tersebut berlangsung hingga 19 Oktober 1945, menjadi salah satu simbol perlawanan rakyat terhadap penjajahan di masa awal kemerdekaan.
Jenazah dr. Kariadi awalnya dimakamkan di halaman RS Purusara Semarang pada 17 Oktober 1945, kemudian dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang pada 5 November 1961.
Untuk mengenang jasa dan pengorbanannya, pemerintah mengabadikan namanya menjadi RSUP Dr. Kariadi, rumah sakit terbesar di Jawa Tengah yang menjadi pusat rujukan nasional.
Selain itu, kisah hidupnya telah banyak dijadikan materi edukatif dan inspirasi bagi tenaga kesehatan Indonesia, terutama dalam memperkuat nilai-nilai profesionalisme, integritas, dan pengabdian.
Pengusulan Sebagai Pahlawan Nasional
Nama dr. Kariadi telah diusulkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Provinsi Jawa Tengah sejak 2017, dan kembali diajukan pada tahun 2020. Meski demikian, usulan tersebut sempat tertunda karena kelengkapan administratif.
Pemerintah daerah dan sejumlah lembaga sejarah, termasuk Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Tengah, terus memperjuangkan pengusulan tersebut. Mereka menilai, perjuangan dr. Kariadi menegaskan bahwa pengabdian profesi medis juga merupakan bagian dari perjuangan bangsa.

















