Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Exit Tol Ungaran Semarang, Berkah Ekonomi atau Bencana Tata Ruang?

Ilustrasi foto udara sejumlah kendaraan melintas di Tol Trans Jawa. (ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra)
Ilustrasi foto udara sejumlah kendaraan melintas di Tol Trans Jawa. (ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra)
Intinya sih...
  • Urban sprawl di sekitar Exit Tol Ungaran mengancam tata ruang dengan pemekaran kota secara horizontal tanpa perencanaan terpadu.
  • Kehadiran exit tol membawa pertumbuhan ekonomi lokal namun juga menimbulkan konsekuensi seperti alih fungsi lahan pertanian dan beban fiskal untuk infrastruktur.
  • Urban sprawl menciptakan kesenjangan akses, memunculkan paradoks sosial antara pemilik kendaraan pribadi dan mereka yang tidak, serta menciptakan ketimpangan sosial dalam distribusi manfaat pertumbuhan ekonomi.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Fenomena urban sprawl di sekitar exit tol menuntut refleksi mendalam tentang arah pembangunan wilayah penyangga Semarang.

Semarang, IDN Times — Setiap kali melintas di Pintu Keluar (Exit) Tol Ungaran, Kabupaten Semarang, pemandangan yang tersaji begitu kontras. Hamparan sawah yang dulu menghijau kini berganti dengan deretan perumahan, ruko, dan bangunan komersial yang terus menjalar. Papan-papan iklan properti bertebaran, menawarkan hunian dengan jargon "akses langsung ke tol" sebagai daya tarik utama.

Fenomena itu bukan sekadar potret pembangunan biasa. Kondisi tersebut merupakan wajah urban sprawl--pemekaran kota yang meluas secara horizontal tanpa perencanaan terpadu--yang sedang menggerogoti kawasan pinggiran Semarang. Exit Tol Ungaran, yang semula dirancang untuk memperlancar konektivitas, kini menjelma menjadi episentrum perubahan lanskap yang patut kita cermati secara kritis.

Ketika Tol Menjadi Magnet Pertumbuhan

Ilustrasi petani memanen padi saat musim panen raya. (ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo)
Ilustrasi petani memanen padi saat musim panen raya. (ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo)

Tidak dapat dimungkiri, kehadiran exit tol membawa angin segar bagi perekonomian lokal. Akses cepat menuju Semarang dan kota-kota lain di Jawa Tengah mempercepat aliran barang dan jasa. Investasi komersial berdatangan, industri kecil dan menengah tumbuh, dan pendapatan daerah meningkat.

Bagi keluarga muda yang bermimpi memiliki rumah sendiri, kawasan sekitar Exit Tol Ungaran menawarkan harapan. Harga tanah yang masih relatif terjangkau dibandingkan Kota Semarang menjadikan area tersebut sebagai alternatif hunian yang menarik. Pengembang properti pun berlomba-lomba membangun perumahan massal untuk memenuhi permintaan pasar.

Namun, di balik gemerlapnya pertumbuhan ekonomi, tersimpan persoalan yang tidak kalah serius. Studi-studi lokal mengungkapkan bahwa urban sprawl di sekitar exit tol membawa konsekuensi multidimensi yang perlu menjadi perhatian bersama.

Dampak paling kasatmata dari fenomena itu adalah percepatan alih fungsi lahan. Lahan pertanian produktif yang selama puluhan tahun menghidupi petani lokal kini berubah menjadi kompleks perumahan dan area komersial. Konversi tersebut terjadi begitu cepat, nyaris tanpa jeda.

Situasi itu mempercepat perubahan lahan pertanian menjadi area terbangun, yang disebut sebagai salah satu ciri urban sprawl.

Pertanyaan kritisnya: apakah kita semua siap kehilangan lumbung pangan demi menyediakan ruang bagi ekspansi perkotaan? Ketahanan pangan bukan sekadar soal ketersediaan beras di pasar, melainkan juga tentang keberlanjutan ekosistem pertanian yang menopangnya.

Infrastruktur Tersebar, Anggaran Terkuras

Ilustrasi foto udara kawasan perumahan yang dibangun di antara lahan pertanian. (ANTARA FOTO/Basri Marzuki)
Ilustrasi foto udara kawasan perumahan yang dibangun di antara lahan pertanian. (ANTARA FOTO/Basri Marzuki)

Persoalan lain yang sering luput dari perhatian publik adalah beban fiskal yang ditimbulkan oleh pola pembangunan tersebar. Akses cepat ke jalan tol memang meningkatkan daya tarik kawasan, tetapi sekaligus menuntut penyediaan infrastruktur pendukung yang lebih luas.

Jalan kolektor harus dibangun, jaringan listrik harus diperluas, dan sistem penyediaan air bersih harus menjangkau wilayah yang terus meluas. Karena pembangunan terjadi secara menyebar--bukan terpusat--biaya per kapita untuk memperluas layanan publik menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan pembangunan padat di pusat kota.

Siapa yang menanggung beban tersebut? Tentu saja anggaran pemerintah daerah, yang pada akhirnya bersumber dari pajak masyarakat. Ironinya, mereka yang menikmati keuntungan dari kenaikan harga tanah dan keuntungan properti tidak selalu berkontribusi sepadan dengan beban infrastruktur yang ditimbulkan.

Dari perspektif lingkungan, urban sprawl menyisakan jejak yang mengkhawatirkan. Berkurangnya lahan hijau secara drastis menurunkan daya resap air hujan. Akibatnya, risiko banjir di daerah hilir meningkat signifikan.

Beberapa penelitian menyoroti bahwa hilangnya ruang terbuka hijau di pinggiran Ungaran berkontribusi pada degradasi kualitas udara dan hilangnya habitat alami. Burung-burung yang dulu berkicau di pematang sawah kini kehilangan tempat tinggal. Pohon-pohon peneduh digantikan oleh tembok beton dan atap seng.

Sebuah pertanyaan besar muncul: apakah pertumbuhan ekonomi yang kita kejar sepadan dengan kerusakan lingkungan yang kita tanggung? Banjir yang melanda permukiman di hilir bukan hanya soal curah hujan yang tinggi, melainkan juga akibat dari pilihan pembangunan yang kita ambil di hulu.

Kesenjangan Akses: Paradoks Pembangunan

Ilustrasi foto udara kompleks perumahan KPR subsidi. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
Ilustrasi foto udara kompleks perumahan KPR subsidi. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Urban sprawl ikut menciptakan paradoks sosial yang ironis. Di satu sisi, perumahan baru membuka peluang kepemilikan hunian bagi keluarga muda. Di sisi lain, mereka yang tidak memiliki kendaraan pribadi justru terjebak dalam kesulitan akses.

Penduduk yang tidak memiliki mobil pribadi menghadapi kesulitan akses ke layanan kesehatan atau pendidikan karena fasilitas masih terkonsentrasi di pusat. Situasi tersebut menjadi realitas yang terungkap dalam berbagai studi tentang kawasan tersebut.

Pembangunan perumahan yang berorientasi pada pemilik kendaraan pribadi menciptakan ketergantungan yang tidak sehat. Mereka yang mampu membeli mobil dapat menikmati kemudahan akses, sementara mereka yang tidak mampu terpinggirkan dari layanan dasar. Apakah itu wajah pembangunan yang berkeadilan?

Memang benar bahwa kehadiran exit tol mempercepat pertumbuhan ekonomi lokal. Investasi mengalir, lapangan kerja tercipta, dan roda perekonomian berputar lebih cepat. Namun, kita perlu jujur mengakui bahwa manfaat pertumbuhan ini tidak terdistribusi secara merata.

Mereka yang memiliki tanah di lokasi strategis menikmati kenaikan harga yang fantastis. Pengembang properti meraup keuntungan dari proyek-proyek perumahan. Namun, petani yang kehilangan lahan, buruh tani yang kehilangan pekerjaan, dan warga yang tergusur dari kampung halaman kerap menjadi pihak yang tertinggal dalam narasi pembangunan.

Pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif pada akhirnya akan menciptakan ketimpangan sosial yang berbahaya. Kita tidak ingin melihat kawasan Exit Tol Ungaran berkembang menjadi wilayah yang maju secara ekonomi tetapi timpang secara sosial.

Menuju Pembangunan yang Berkelanjutan

Ilustrasi foto udara petani memanen padi menggunakan mesin combine harvester. (ANTARA FOTO/Dedhez Anggara)
Ilustrasi foto udara petani memanen padi menggunakan mesin combine harvester. (ANTARA FOTO/Dedhez Anggara)

Menghadapi kompleksitas persoalan itu membutuhkan pendekatan kebijakan yang komprehensif dan terpadu. Beberapa langkah strategis perlu dipertimbangkan.

Pertama, penerapan kebijakan tata ruang yang mengatur kepadatan bangunan secara ketat. Pembangunan vertikal perlu didorong untuk mengurangi tekanan pada lahan horizontal. Kawasan-kawasan tertentu harus ditetapkan sebagai zona lindung yang tidak boleh dikonversi.

Kedua, perlindungan terhadap lahan hijau dan pertanian produktif. Mekanisme insentif dan disinsentif perlu diterapkan untuk mencegah alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Petani yang mempertahankan lahannya perlu mendapat dukungan ekonomi yang memadai.

Ketiga, penyediaan sistem transportasi publik yang andal. Ketergantungan pada kendaraan pribadi harus dikurangi dengan menyediakan alternatif transportasi yang terjangkau, nyaman, dan terintegrasi. Hal itu bukan sekadar soal kemudahan mobilitas, melainkan juga soal keadilan akses.

Keempat, redistribusi manfaat pembangunan. Mereka yang menikmati kenaikan nilai tanah dan keuntungan dari pertumbuhan kawasan perlu berkontribusi lebih besar untuk membiayai infrastruktur dan layanan publik. Mekanisme pajak progresif dan kontribusi pembangunan perlu diterapkan secara konsisten.

Exit Tol Ungaran adalah cermin dari dilema pembangunan yang dihadapi banyak wilayah penyangga kota besar di Indonesia. Ia menawarkan peluang pertumbuhan ekonomi dan perumahan, tetapi sekaligus menimbulkan tantangan serius dalam hal tata ruang, infrastruktur, dan lingkungan.

Pilihan ada di tangan kita: membiarkan urban sprawl terus meluas tanpa kendali, atau mengambil langkah tegas untuk mengarahkan pembangunan ke jalur yang lebih berkelanjutan. Keputusan yang kita ambil hari ini akan menentukan wajah kawasan tersebut puluhan tahun ke depan.

Pertumbuhan ekonomi memang penting, tetapi tidak boleh mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial. Itulah keseimbangan yang harus diperjuangkan bersama.

Santi Inderawati, ST., MM., Mahasiswa Program Studi (S2) Magister Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Sultan Agung Semarang, yang juga praktisi pengembang perumahan di Jawa Tengah dan aktif di organisasi DPD Himperra Jateng sebagai Wakil Sekretaris Bidang Perbankan dan CSR.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dhana Kencana
EditorDhana Kencana
Follow Us

Latest News Jawa Tengah

See More

Sholat Hajat, Tata Cara dan Doa Agar Permintaan Dikabulkan Allah SWT

07 Des 2025, 23:00 WIBNews