Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Perilaku Gen X yang Sering Disangka Etos Kerja, Padahal Burnout!

ilustrasi generasi X burnout (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
ilustrasi generasi X burnout (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
Intinya sih...
  • Memaksakan diri bekerja meski tidak bisa berkonsentrasi
  • Lebih suka bekerja sendiri dan sulit membagi tugas dengan rekan kerja
  • Tidak pernah mau mengambil waktu cuti
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Generasi X (lahir di tahun 1965–1980) sering dikenal sebagai orang yang pekerja keras dan penuh dedikasi. Itu sebabnya, dalam pekerjaan, generasi ini biasanya lebih mengutamakan sikap praktis, kemandirian, dan loyalitas. Nilai-nilai ini membuat mereka termotivasi untuk bekerja keras demi perusahaan, meski kadang harus mengorbankan kesejahteraan dirinya sendiri. 

Namun, tak jarang perilaku yang disebut sebagai etos kerja itu sebenarnya adalah tanda burnout yang tersembunyi. Jika dibiarkan, pola ini bisa merugikan kesehatan fisik maupun mental. Oleh karena itu, berikut beberapa hal yang dianggap etos kerja padahal tanda burnout!

1. Tetap memaksakan diri bekerja meski tidak bisa berkonsentrasi

ilustrasi generasi X burnout (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
ilustrasi generasi X burnout (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Generasi X memang sangat menjunjung tinggi kemandirian dan kerja keras. Mereka sering merasa bahwa masalah sulit berkonsentrasi itu hanya sesuatu yang bisa mereka atasi sendiri. Saat mereka menunda pekerjaan, hal itu tidak dianggap tanda kelelahan, melainkan sekadar kurang disiplin atau akibat lingkungan sekitar. Dengan pola pikir itu, mereka cenderung menolak mengakui bahwa tubuh dan pikiran mereka sebenarnya sedang lelah.

Padahal, kesulitan fokus dan hilangnya konsentrasi justru merupakan gejala nyata dari kelelahan. Masalah itu tidak bisa hilang hanya dengan mengandalkan disiplin atau etos kerja yang tinggi. Oleh karena itu, agar bisa kembali fokus dan produktif, generasi ini perlu memberi diri mereka waktu istirahat yang terencana. Sekaligus berani mengakui bahwa kelelahan memang sedang mereka alami.

2. Lebih suka bekerja sendiri dan sulit membagi tugas dengan rekan kerja

ilustrasi generasi X burnout (pexels.com/RDNE Stock project)
ilustrasi generasi X burnout (pexels.com/RDNE Stock project)

Generasi X sering memilih untuk bekerja sendiri karena merasa pekerjaan akan selesai lebih cepat dan hasilnya lebih rapi. Mereka cenderung sulit mempercayai orang lain untuk ikut membantu, sebab takut hasilnya tidak sesuai standar pribadi mereka. Sikap ini membuat mereka jarang berbagi tugas dengan rekan kerja. Akibatnya, pekerjaan itu menumpuk dan membuat mereka harus menanggungnya seorang diri.

Kelihatannya, perilaku seperti ini terlihat seperti bentuk tanggung jawab dan dedikasi tinggi. Namun, kenyataannya hal itu membuat waktu dan energi mereka terkuras habis. Beban kerja yang seharusnya bisa dibagi justru menjadi sumber tekanan yang berlebihan. Ini merupakan contoh nyata bagaimana kebiasaan yang tampak seperti etos kerja baik, sebenarnya adalah tanda-tanda burnout.

3. Tidak pernah mau mengambil waktu cuti

ilustrasi generasi X burnout (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
ilustrasi generasi X burnout (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Banyak dari mereka tidak mau mengambil cuti karena takut dianggap tidak serius dengan pekerjaannya. Mereka sering memilih tetap bekerja walaupun tubuh sudah lelah dan pikirannya mulai jenuh. Bagi generasi X, istirahat dipandang sebagai bentuk kemalasan. Padahal, anggapan ini keliru dan justru bisa merugikan diri sendiri dalam jangka panjang, lho.

Bagi seorang pekerja, cuti sangat penting untuk memulihkan energi dan mengembalikan semangat kerja. Jika hak cuti terus diabaikan, stres akan menumpuk dan kesehatan tubuh semakin mudah terganggu. Akhirnya, kinerja pun tidak akan maksimal karena kondisi fisik dan mental sudah menurun. Jadi, bukannya menunjukkan etos kerja yang tinggi, kebiasaan ini justru menjadi tanda burnout yang sangat berbahaya.

4. Mengorbankan kehidupan pribadi demi pekerjaan

ilustrasi generasi X burnout (pexels.com/Alax Matias)
ilustrasi generasi X burnout (pexels.com/Alax Matias)

Bagi pekerja generasi  X, menempatkan pekerjaan adalah hal paling penting dalam hidup mereka. Makanya, waktu untuk keluarga, teman, dan aktivitas pribadinya sering terabaikan. Mereka mungkin tidak sadar bahwa kebiasaan ini perlahan merenggangkan hubungan sosialnya. Sehingga, semakin mereka menua, rasa kesepian dan tekanan batin pun semakin bertambah.

Sekilas, sikap tersebut tampak seperti bentuk dedikasi yang tinggi terhadap karier, ya. Namun, kenyataannya justru menunjukkan bahwa keseimbangan hidup mereka sudah terganggu. Kalau terus berlanjut, pola ini bisa menimbulkan kelelahan berkepanjangan atau burnout. Bahkan, dampaknya dapat merusak kesehatan mental maupun emosional mereka.

5. Bekerja terlalu keras sampai kehilangan rutinitas normal

ilustrasi generasi X burnout (pexels.com/Matilda Wormwood)
ilustrasi generasi X burnout (pexels.com/Matilda Wormwood)

Generasi ini menganggap bekerja terus-menerus tanpa berhenti sebagai bukti disiplin dan semangat kerja yang tinggi. Mereka bangga bisa menghabiskan hampir semua waktunya untuk pekerjaan. Namun, ketika kebiasaan sehari-hari seperti makan teratur, olahraga, tidur yang cukup, atau bersosialisasi mulai hilang, itu sebenarnya tanda bahaya. Tanda-tanda tersebut menunjukkan bahwa mereka sedang mengalami kelelahan berlebih.

Burnout membuat tubuh mereka terasa lelah dan pikiran sulit diajak bekerja sama. Energi yang terkuras habis karena pekerjaan membuat kualitas hidup mereka ikut menurun. Dampaknya bisa semakin serius pada kesehatan dan kesejahteraan jika terus dibiarkan. Jadi, bekerja terlalu keras bukan sebuah prestasi, ya, melainkan pertanda jelas bahwa kamu sedang mengalami burnout.

Burnout bukanlah hal sepele yang bisa dianggap bagian dari kerja keras. Etos kerja memang penting, tetapi harus dibarengi dengan kesadaran menjaga kesehatan dan keseimbangan hidup, ya. 

Generasi X perlu memahami bahwa produktivitas tidak datang dari kelelahan, melainkan dari kondisi tubuh dan pikiran yang sehat. Jadi, jangan sampai semangat bekerja justru berubah menjadi jebakan burnout yang merugikan, ya. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Bandot Arywono
EditorBandot Arywono
Follow Us

Latest Life Jawa Tengah

See More

5 Tips Berhenti Berpikir Berlebihan Setelah Kirim Lamaran Kerja

29 Sep 2025, 09:00 WIBLife