Dual Track System Pendidikan Dokter, Solusi atau Jebakan Regulasi?

- Dual track system pendidikan dokter menuai pro dan kontra
- Dampak dualisme penyelenggaraan pendidikan
- Potensi tumpang tindih regulasi dan perlu penyelesaian konstitusional
Banyumas, IDN Times - Pernyataan Menko PMK Pratikno soal perlunya dual track system dalam pemenuhan kebutuhan dokter di Indonesia menuai pro dan kontra. Ia menekankan bahwa pendidikan spesialis dokter bisa berjalan melalui dua jalur, university based (Kemdiktisaintek) dan hospital based (Kemenkes).
Penerapan dual track system dalam pendidikan dokter spesialis untuk menjawab kebutuhan tenaga medis yang mendesak di Indonesia. Hal itu disampaikan saat memberikan sambutan dalam acara 2nd International Conference on Advancing Post Graduate Medical Education 2025 di Hotel Raffles Jakarta, pada Rabu (27/8/2025).
Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Nanang Sugiri, H, pendiri lembaga Hukum dan Sosial Kemasyarakatan Tribatha Banyumas. Menurutnya, gagasan dual track system tidak tepat jika ditinjau dari aspek konstitusi maupun regulasi pendidikan.
1. Dampak dualisme penyelenggaraan pendidikan

Nanang menegaskan bahwa pendidikan spesialis maupun subspesialis merupakan bagian dari pendidikan tinggi. Karena itu, penyelenggara yang sah menurut UU No 20 Tahun 2003 dan UU No 12 Tahun 2012 hanyalah perguruan tinggi.
"Semangat terobosan ini justru melanggar asas kepastian hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945,"ujarnya.
Dualisme penyelenggaraan pendidikan, bisa memunculkan kebingungan, ketegangan, hingga beban psikologis bagi mahasiswa spesialis. Perbedaan kultur, tata kelola, dan mekanisme evaluasi antara perguruan tinggi dan rumah sakit pendidikan berpotensi memperburuk kualitas pendidikan itu sendiri.
2. Potensi tumpang tindih regulasi

Indonesia saat ini memang menghadapi defisit 70 ribu dokter. Percepatan pemenuhan tenaga medis mutlak dibutuhkan. Namun, menurut Nanang, langkah Menko PMK justru berpotensi menimbulkan tumpang tindih aturan jika tidak ada harmonisasi regulasi lebih dulu.
Ia menilai, pemberlakuan dual track system tanpa sinkronisasi akan melanggar Pasal 31 ayat 3 UUD 1945. Di sisi lain, UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan pun dinilai belum solid.
"UU Kesehatan adalah regulasi setengah jadi, masih banyak menyimpan masalah kompleks,"tegasnya.
3. Perlu penyelesaian konstitusional

Upaya pemerintah membangun kesepahaman antara Kemendiktisaintek dan Kemenkes dinilai hanya penyelesaian sementara.
Menurut Nanang, akar masalahnya ada pada disharmoni regulasi yang semestinya diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi, bukan sekadar kompromi antarkementerian.
"Dualisme bukan solusi, tapi jebakan yang memecah energi, undang undang Kesehatan tak boleh membelah, pendidikan spesialis harus satu arah,"tutupnya.