5 Cara Memaafkan tapi Tetap Waspada, Ikhlas Tapi Gak Lupa Diri

- Memaafkan bukan berarti melupakan, tapi melepaskan beban emosional dan belajar dari pengalaman.
- Tetapkan batasan yang sehat setelah memaafkan, komunikasikan dengan cara dewasa, dan jangan terburu-buru percaya sepenuhnya.
- Waspada bukan berarti parno, fokus pada penyembuhan diri sendiri untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijak.
Memaafkan itu baik, bahkan dianjurkan dalam semua agama. Akan tetapi, bagaimana jika kita pernah disakiti dengan parah, sampai meninggalkan trauma? Apa kita harus memaafkan begitu saja? Jawabannya, maafkan, tapi tetap waspada.
Kadang kamu takut kalau dimaafkan, orang itu akan mengulangi kesalahannya lagi. Banyak orang mengalami hal serupa. Maka dari itu, penting untuk belajar bagaimana caranya memaafkan dengan ikhlas tanpa kehilangan kewaspadaan. Yuk, kita bahas bareng-bareng caranya.
1. Memaafkan bukan berarti melupakan

Banyak orang beranggapan bahwa memaafkan berarti melupakan dan tidak mengungkit-ungkit masa lalu lagi. Eits, tunggu dulu. Memaafkan itu tentang melepaskan beban emosional, bukan menghapus memori.
Kalau kamu pernah dibohongi atau dikhianati, wajar kalau kamu masih ingat. Yang penting, kamu gak lagi menyimpan dendam atau niat membalaskan sakit hati. Kamu belajar dari kejadian itu, bukan hidup di bawah bayang-bayangnya. Jadi, maaf boleh, tapi pelajaran hidupnya tetap disimpan untuk bekal masa depan.
2. Tetapkan batasan yang sehat

Orang yang sudah menyakitimu, bahkan setelah kamu maafkan, gak otomatis mendapat akses penuh lagi ke hidupmu. Misalnya, kamu memaafkan teman yang pernah menyebarkan rahasiamu. Oke, kamu gak marah lagi, tapi bukan berarti kamu harus percaya ke dia lagi, kan?
Tentukan batasan yang jelas. Komunikasikan dengan cara yang dewasa. Kalau dia gak bisa menghargai batasanmu, berarti memang dia belum layak masuk ke lingkar kepercayaanmu lagi. Ingat, waspada bukan berarti kamu curigaan, melainkan kamu sedang belajar melindungi dirimu sendiri.
3. Evaluasi, bukan parno

Waspada bukan berarti kamu jadi overthinking tiap ada orang baik yang datang ke hidupmu. Jangan sampai trauma masa lalu bikin kamu jadi orang yang sinis dan dingin. Contohnya, kalau kamu pernah diselingkuhi, bukan berarti semua pasanganmu ke depan pasti akan selingkuh.
Namun, kamu bisa lebih peka melihat red flag, seperti suka bohong kecil-kecilan, gak transparan, atau sering ghosting.
4. Jangan terburu-buru rekonsiliasi

Banyak orang mengira jika sudah memaafkan, artinya harus langsung akur lagi. Padahal, memaafkan gak harus berarti berdamai dalam arti berteman atau balik seperti dulu. Kamu bisa memaafkan dalam hati, tapi tetap memilih untuk menjaga jarak.
Kalau pun kamu mau rekonsiliasi, pastikan orang itu memang berubah, bukan sekadar basa-basi minta maaf. Karena maaf itu mudah diucap, tapi konsistensi itu baru bukti nyata.
5. Fokus ke penyembuhan diri

Penting agar kamu bisa memaafkan dan hidup tenang: jangan terlalu fokus ke orang yang menyakitimu. Fokuslah ke penyembuhan diri sendiri. Lakukan hal-hal yang membuatmu bahagia, entah itu menekuni hobi, menulis jurnal, traveling, olahraga, meditasi, atau ngobrol dengan orang-orang suportif.
Dengan begitu, kamu pelan-pelan bisa menghilangkan luka, tanpa perlu menghapus pengalaman. Karena justru dari pengalaman itulah kamu tumbuh jadi pribadi yang lebih kuat dan bijak. Kamu gak keras, tapi kamu tegas. Kamu gak dendam, tapi kamu belajar.
Memaafkan tapi tetap waspada adalah bentuk kebaikan hati yang tetap melibatkan akal sehat. Kamu bukan jadi orang yang kejam, tapi kamu belajar mencintai dirimu sendiri lebih dulu sebelum memberi kesempatan lagi ke orang lain.