TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pahami! 5 Risiko jika Pilkada 2020 Berjalan saat Pandemik Virus Corona

Tingkat partisipasinya rendah, orang takut terkena COVID-19

Ilustrasi Pilkada (IDN Times/Mardya Shakti)

Semarang, IDN Times - Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 saat pandemik COVID-19 hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Berbagai pihak bersuara untuk melanjutkan, tapi sebagian yang lain menginginkan agar pesta demokrasi pemilihan bupati atau wali kota ini ditunda.

1. Kasus positif COVID-19 tinggi berpeluang memunculkan klaster Pilkada

Pengamat politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Wijayanto PhD. Dok. Pribadi

Pengamat politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Wijayanto PhD, mengatakan cukup riskan atau berisiko apabila Pilkada 2020 terus dilanjutkan. Sebab, jumlah kasus harian orang terkonfirmasi positif virus corona secara tren terus meningkat, khususnya di Provinsi Jawa Tengah. Saat ini saja posisi Jateng berada di nomor tiga dengan kasus tertinggi di Indonesia dengan total pasien 20 ribuan orang.

‘’Tentu dengan kondisi seperti ini, jika Pilkada tetap diadakan peluang yang akan terjadi adalah memunculkan klaster baru penularan virus corona. Sebab, pelaksanaan pesta demokrasi ini akan melibatkan banyak orang atau mengumpulkan massa,’’ ungkapnya saat dihubungi IDN Times, Jumat (25/9/2020).

Baca Juga: Banyak Petahana Maju Pilkada 2020 di Jateng, Awas ASN Dikerahkan!

2. Sudah banyak pelanggaran protokol kesehatan saat proses pendaftaran paslon kepala daerah

IDN Times/Anggun Puspitoningrum

Bukti adanya kumpulan orang dalam proses Pilkada 2020 sudah dapat dilihat saat tahapan pendaftaran bakal pasangan calon (paslon) kepala daerah dan wakil kepala daerah di sejumlah daerah di Indonesia, termasuk di Jawa Tengah.

Padahal dalam acara pendaftaran bakal paslon, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah membatasi jumlah undangan dan melarang para pendukung hadir. Namun pada kenyataannya di lapangan, masih banyak pendukung yang nekat datang, bahkan melakukan arak-arakan yang melanggar physical distancing atau protokol kesehatan COVID-19. 

‘’Kalau proses pendaftaran yang dibatasi saja sudah dilanggar apalagi saat kampanye yang akan dimulai 26 September hingga 5 Desember ini. Padahal masa aktif kampanye berlangsung sekitar  21 hari. Selanjutnya ada hari pencoblosan, yakni 9 Desember 2020. Ini sangat mengkhawatirkan dan berpotensi tinggi untuk penyebaran COVID-19, sehingga Pilkada harus ditunda,’’ ujarnya yang juga Director Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). 

3. Memaksakan Pilkada saat pandemik akan mewujudkan sirkulasi kekuasaan antarelit

Pengambilan nomor paslon Gibran-Teguh dan Bajo. IDNTimes/Larasati Rey

Adapun, Pilkada menjadi manifestasi atau wujud dari suara rakyat sebagaimana pemilih sebagai sarana demokrasi, maka yang dipilih juga harus sesuai dengan pilihan rakyat.

‘’Jadi kalau tujuan pemilihan ini untuk rakyat, maka menjadi ironis ketika Pilkada itu sendiri membahayakan untuk kesejahteraan dan nyawa rakyat. Sehingga, jika masih memaksakan Pilkada di masa pandemik ini, kemudian yang perlu dipertanyakan pesta demokrasi ini untuk memanifestasikan kedaulatan rakyat atau sirkulasi kekuasaan antar elit,’’ terang Wijayanto.

Sebab, lanjut dia, jika benar hasrat melangsungkan Pilkada saat pandemik hanya untuk sirkulasi kekuasaan antar elit, maka pemilihan bupati atau wali kota ini tidak bisa lagi menjadi instrumen untuk mewujudkan demokrasi dan kedaulatan rakyat.

4. Tingkat partisipasi politik bakal rendah ketika melangsungkan Pilkada saat pandemik

ilustrasi proses coklit oleh petugas Bawaslu. IDN Times/Rudal Afgani

Selain berpotensi memunculkan klaster baru penyebaran COVID-19, risiko lain dari tetap dilaksanakannya Pilkada adalah tingkat partisipasi politik yang bakal rendah. Masyarakat enggan datang ke TPS untuk mencoblos, karena takut terpapar virus corona sehingga tingkat partisipasi turun. 

Wijayanto mengungkapkan, kondisi tersebut berbahaya bagi para calon kepala daerah, terutama calon tunggal alias yang bersaing dengan kotak kosong. Ada catatan khusus bagi para calon tunggal, yakni pilihan publik menjadi terbatas dan bahkan tidak ada pilihan saat pencoblosan. 

‘’Ketika partisipasi rendah, calon tunggal yang terpilih ini tidak bisa mengklaim kemenangannya di Pilkada. Sebab, tidak mendapat mandat sepenuhnya dari rakyat. Misalnya saja di Kota Semarang jumlah penduduk ada 1,7 juta jiwa. Namun, yang memilih hanya 100 ribu, maka artinya sama saja modal politik calon yang terpilih ini rendah,’’ ujar dosen mata kuliah media dan demokrasi itu. 

Baca Juga: Muhammadiyah Jateng: Mustahil Taat Protokol COVID-19 saat Pilkada 2020

Berita Terkini Lainnya