TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

PLTMH Sokokembang Pekalongan, Energi Terbarukan untuk Kebaikan Bumi

Pembangkit listrik yang ramah lingkungan dan rendah karbon

Sukirno (kiri) mengambil sampah plastik yang masuk area Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Sokokembang di Dusun Sokokembang, Desa Kayupuring, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Bantuan PLTMH dari Pemprov Jateng ini berhasil memberdayakan perekonomian warga Dusun Sokokembang karena mereka baru menikmati listrik dengan layak sejak 2018 atau saat PLTMH beroperasi pertama kali. Selain untuk kebutuhan harian, listrik dimanfaatkan warga untuk mendukung usaha, dari level rumah tangga sampai menengah (UMKM). (IDN Times/Dhana Kencana)

Pekalongan, IDN Times - Perjalanan hidup Sukirno bak judul buku Habis Gelap Terbitlah Terang--kumpulan surat Raden Ajeng (RA) Kartini yang disusun untuk Jacques Henry (JH) Abendanon.

Bagaimana tidak, sejak lahir pada 1977, pria 43 tahun itu baru bisa menikmati energi listrik yang memadai untuk tempat tinggalnya pada tiga tahun terakhir. Tepatnya sejak Pembangkit Listrik Mikrohidro (PLTMH) Sokokembang beroperasi akhir 2018. 

Keberadaan PLTMH dalam memasok listrik permukiman Dusun Sokokembang, Desa Kayupuring, Kecamatan Petungkriyono di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah merupakan sebuah penantian panjang.

Listrik menjadi sesuatu yang mewah bagi Sukirno dan warga dusun tersebut, karena sejak puluhan bahkan ratusan tahun kampung itu ada, hampir mereka tidak pernah menikmatinya dengan layak.

Letak geografis dusun tersebut berada di sekitar hutan hujan tropis Petungkriyono--satu bentang dengan Pegunungan Dieng--dan jauh dari jaringan PT Perusahaan Listrik Nasional (Persero). Kondisi tersebut kerap menjadi faktor terhambatnya listrik masuk perkampungan mereka.

Berbagai cara mereka upayakan untuk mendapatkan penerangan, terutama saat malam hari. Mulai dari menggunakan lampu damar berbahan bakar minyak tanah sekitar 1980an sampai memakai listrik dari tenaga surya bantuan pemerintah.

Sayangnya, faktor cuaca dan topografi khas pegunungan membuat panel-panel surya tersebut tidak optimal mengumpulkan energi dari Matahari. Kondisi diperparah dengan kemampuan aki untuk menyimpan daya semakin singkat, tidak bertahan lama.

Dengan sabar dan tak kenal putus asa, Sukirno dan warga dusun tersebut mencoba lagi. Yaitu dengan merakit alat kincir air tradisional sebagai pembangkit listrik pada 1990an. Adapun sumber energi alat kincir tersebut berasal dari air aliran anak sungai Welo yang membentang kawasan hutan Petungkriyono.

Potensi tenaga air untuk energi listrik melimpah

Hutan hujan tropis Petungkriyono di Pekalongan, Jawa Tengah. IDN Times/Dhana Kencana

Inisiatif pembuatan kincir air itu bermula dari hasil pemikiran seorang ahli Primata yang juga lulusan Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Arif Setiawan.

Ia melihat, tutupan vegetasi hutan Petungkriyono mampu menjadi sistem penyangga kehidupan dengan segala fungsi yang ada. Antara lain mengatur tata kelola air, mencegah bencana hidrometeorologi--seperti banjir dan longsor--, melindungi kualitas air tanah, dan mencegah perubahan iklim.

Peranan-peranan tersebut rupanya mampu menjaga keseimbangan debit air anak sungai Welo--yang masuk dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Sengkarang--sehingga potensial dimanfaatkan sebagai sumber energi pembangkit listrik.

Wawan--sapaan akrab Arif Setiawan--juga mengamati apabila pemanfaatan tenaga air menjadi energi listrik masih minim direalisasikan di tengah besarnya kapasitas yang ada di Indonesia. Menurutnya, air dapat menjadi energi terbarukan untuk pembangkit listrik tanpa meninggalkan emisi gas rumah kaca.

Mengacu catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per Juli 2014, pemanfaatan energi listrik dari air masih 10 persen atau setara 7.572 Megawatt (MW). Padahal, secara keseluruhan potensinya di Indonesia mencapai 75 ribu MW.

Adapun untuk Pulau Jawa, penggunaannya baru 5,6 persen dari potensi tenaga air yang tersedia sebesar 4.200 MW.

"Banyak yang tidak sadar dari sekian banyak kebermanfaatan hutan hujan tropis diantaranya sebagai pemasok energi terbarukan (renewable energy) yang bersih bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Energi yang dimaksud tersebut merupakan energi dari sumber daya hutan yang tidak akan pernah habis dan bisa terisi lagi secara alamiah karena siklus hidrologi," kata Wawan saat ditemui IDN Times di Yogyakarta.

Dalam membuat kincir air tradisional, Sukirno dan warga kampung kala itu hanya bermodalkan dinamo bekas yang difungsikan sebagai generator dan papan untuk jentera. Kincir tersebut diletakkan di pinggir aliran anak sungai Welo yang membentang sepanjang 27 kilometer (km) di hutan tersebut.

Upaya itu membuahkan hasil. Dengan segala keterbatasan, satu alat kincir air sukses menyuplai listrik satu sampai dua rumah saja. Maklum, kapasitas maksimal daya listrik yang dihasilkan kincir tersebut hanya 100 watt.

Ketidakstabilan daya listrik kerap merusakkan barang-barang elektronik milik Sukirno dan warga dusun tersebut ketika dinyalakan atau digunakan. Pasalnya, daya dari kincir air tersebut langsung tersambung dengan kabel menuju rumah masing-masing tanpa disertai stabilizer, yang menjaga voltase listrik normal dan stabil.

"Bikin (kincir air) karena tidak ada pilihan. Yang penting saat itu listrik bisa masuk (mengaliri rumah). Karena daya tidak stabil, kalau menyalakan televisi harus bergantian atau mematikan lampu rumah dulu. Kalau debit air pas banyak, tidak ada stabilizer, bohlam pada pecah, elektronik rusak. Kalau debitnya sedikit, lampu meredup," aku Caus, panggilan akrab Sukirno.

Buah dari kepedulian lingkungan

Dusun Sokokembang yang berada di sekitar hutan hujan tropis Petungkriyono, Pekalongan, Jawa Tengah. IDN Times/Dhana Kencana

Seiring berjalannya waktu, warga Dusun Sokokembang mulai meninggalkan alat kincir air tradisional untuk pembangkit listrik sejak keberadaan PLTMH Sokokembang, bantuan dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

"Banyak desa menuju kedaulatan energi dan air. Kepeloporan desa dilakukan dengan cara mengembangkan potensi lokal, untuk memproduksi kebutuhan energi dan air," tutur Kepala Dinas Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko melansir laman jatengprov.go.id, Minggu (26/6/2022).

Caus menyebut, PLTMH tersebut dibangun berdasarkan permintaan dan usulan warga--kepada pemerintah daerah--yang sebelumnya sudah berhasil membuktikan mengenai pemanfaatan potensi tenaga air dari hutan Petungkriyono menjadi energi listrik.

PLTMH berkapasitas 20 Kilowatt (KW) tersebut mengaliri listrik sebanyak 45 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di Dusun Sokokembang. Setiap KK atau rumah masing-masing mendapatkan kuota 450 watt.

"Semua rumah mendapat daya listrik yang sama, 450 watt. Itu sudah cukup buat kami karena stabil, tidak pernah padam apalagi terpengaruh cuaca," ucap Caus yang juga operator PLTMH itu sembari tersenyum.

Penggunaan air sebagai sumber listrik tidak hanya dilabeli sebagai penerapan teknologi tepat guna melainkan bentuk dari diversifikasi jasa lingkungan (ecosystem services) hutan Petungkriyono.

Hutan hujan tropis yang tersisa di Pulau Jawa itu memberikan manfaat fisik dan nonfisik. Fisik berupa kayu dan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang memiliki nilai jual atau pasar. Sedangkan nonfisik berhubungan dengan fungsi ekologis, seperti keanekaragaman hayati, DAS, serta keterjagaan iklim baik makro maupun mikro.

Kehadiran PLTMH menjadi buah nyata kebermanfaatan nonfisik dari hutan seluas 5.847,29 hektare (ha) milik Perum Perhutani tersebut. Pembangunan pembangkit listrik tersebut tidak hanya mengatasi masalah pasokan listrik di Dusun Sokokembang tetapi sekaligus mendorong kesadaran warga dalam upaya konservasi sehingga siklus hidrologi hutan tersebut terus terjaga.

Hubungan manusia dengan hutan--sebagai penghasil tenaga air untuk energi ramah lingkungan--tidak dapat dipisahkan karena saling berhubungan erat.

"Pemanfaatan sumber air dari hutan untuk listrik PLTMH tidak merusak alam malah sebaliknya. Masyarakat sadar akan potensinya memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan listrik yang menjadi dampak terjaganya hutan Petungkriyono. Kalau tidak terjaga, tidak akan bisa," kata Administratur (ADM) Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Perhutani Pekalongan Timur, Didiet Widhy Hidayat.

Sukirno (43) mengecek debit air yang masuk ke PLTMH Kayupuring di kawasan hutan hujan tropis Petungkriyono. IDN Times/Dhana Kencana

PLTMH berhasil menjadi medium dalam upaya menekan deforestasi (penggundulan) dan degradasi (penurunan fungsi) di hutan Petungkriyono, yang berada di luar kawasan konservasi--baik kawasan suaka alam maupun kawasan pelestarian alam--.

"Aktivitas di hulu sungai, seperti perusakan hutan, penebangan pohon, juga pembukaan lahan akan memengaruhi kontinuitas debit air. Kualitas air sungai (siltation) juga berdampak pada produksi listrik PLTMH. Hubungan timbal balik deforestasi hutan dengan energi listrik yang dibutuhkan warga, menumbuhkan partisipasi aktif dan kesadaran mereka secara kolektif dalam melestarikan hutan," ujar Wawan yang juga pendiri Yayasan Swaraowa.

Pendekatan partisipatif tersebut berjalan efektif sehingga masyarakat Dusun Sokokembang bersama-sama aktif merawat PLTMH. Mereka berkomitmen membayar iuran bulanan sebesar Rp20 ribu per KK, untuk biaya perawatan dan pengelolaan PLTMH yang dilakukan mandiri oleh Caus dan Sahli--operator kedua PLTMH--, berdasarkan kesepakatan bersama.

Perawatan rutin dilakukan satu minggu sekali. Mulai dari pengecekan fisik aliran sungai yang masuk ke intake (pintu air), pemeriksaan ulang mesin generator, panel distribusi jaringan, hingga kebersihan area PLTMH.

"Saya selalu ngomong sama masyarakat, (PLTMH) ini bukan milik saya, ini milik bersama dan menjadi tanggung jawab semuanya untuk saling merawat. Setiap hari saya selalu bilang sama mereka untuk tidak membuang sampah ke sungai. Kalau sampah organik kayak daun bisa terurai dan hancur. Kalau sampah plastik yang susah punah berbahaya. Bisa merusakkan generator dan kalau masuk ke kincir jebol PLTMH," tutur Caus.

Baca Juga: Suksesi KKKS Kurangi Emisi untuk Penuhi Target SKK Migas 2030

Energi terbarukan mengubah kehidupan manusia

Safrudin (kiri) mengecek jahitan usaha konfeksinya di Dusun Sokokembang, Desa Kayupuring, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Ia memutuskan berwirausaha konfeksi jahitan di rumah dan sukses membuka lapangan pekerjaan bagi warga setempat yang menganggur sebagai penjahit setelah bantuan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Sokokembang dari Pemprov Jateng melistriki permukimannya 2018. Biaya listrik bulanan PLTMH sangat terjangkau dan ramah lingkungan karena memanfaatkan debit air di Hutan Petungkriyono. (IDN Times/Dhana Kencana)

Pembangunan PLTMH di sekitar hutan Petungkriyono menjadi salah satu bentuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat (Community Based Forest Management). Hal tersebut menjadi langkah konstruktif terhadap masyarakat agar peduli terhadap lingkungan.

Secara tidak langsung, PLTMH memberikan dampak positif berupa peningkatan kualitas kehidupan, baik dari sisi ekonomi, pendidikan, kesehatan, maupun lingkungan.

"Air jadi bagian penting dari PLTMH. Mau tidak mau, debit air harus terjaga biar bisa terus memasok listrik. Makanya menjaga hutan menjadi pilihan mutlak masyarakat agar dapat menikmati listrik dengan nyaman. Dengan begitu, kehidupan mereka selaras dengan alam dan saling mendukung. Mereka bisa buka usaha sendiri, menjahit, menjual es puter, mengemas kopi, dan produk lainnya, 80 persen terbantu berkat PLTMH," kata Caus.

Ketersediaan pasokan listrik dari PLTMH sukses mendorong kegiatan ekonomi produktif masyarakat Dusun Sokokembang. Salah satunya adalah Safrudin, pengusaha konfeksi yang telah ia tekuni sejak 2009.

Unit usaha milik suami dari Tri Lestari itu berkembang karena tidak lagi mengontrak dan ikut di tempat orang lain. Seluruh aktivitas menjahit telah dipindahkan ke rumah.

Situasi tersebut menaikkan operasional sehingga daya produksi mereka meningkat. Lebih-lebih sukses membuka lapangan pekerjaan bagi warga dusun yang berminat bekerja sebagai penjahit.

"Dulu awal merintis karena belum ada listrik, saya menjahit di luar rumah, jaraknya 17 kilometer. Setiap hari dari pagi sampai sore, kalau lembur ya harus menginap. Tidak maksimal. Alhamdulillah, ada PLTMH membantu sekali. Dulu mesin jahit operasi hanya 6 unit (1 unit: 250 watt), sekarang bisa 10 unit. Pegawai dulu 4 orang, sekarang 15 orang. Pokoknya produksi jadi maksimal," ujar pria berusia 33 tahun itu kepada IDN Times.

Safrudin tidak lagi pusing dengan biaya pembayaran listrik tiap bulannya. Sebelum ada PLTMH, ia harus merogoh kocek Rp200 ribu per bulan. Kini, sebulan sekali hanya Rp100 ribu.

Baca Juga: Desa Krandegan, Matang Menyongsong Masa Depan Digital Indonesia

Berita Terkini Lainnya