TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

PLTS Stasiun Batang, Mencetak Sejarah dengan Kemandirian Energi

Energi bersih untuk #MenjagaIndonesia lebih baik lagi

ilustrasi kereta api (IDN Times/Dhana Kencana)

Batang, IDN Times - Berbicara soal Batang di Jawa Tengah, pasti selalu dikaitkan dengan isu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), yang digembor-gemborkan dalam proyek nasional Indonesia. Namun jika melihat secara seksama, ada hal kecil yang ternyata punya sejarah di kabupaten yang mempunyai luas 78.864,16 hektare.

Dibalik kontroversi soal energi PLTU Batang, sebuah stasiun kereta api (KA) sudah menerapkan energi bersih dan ramah lingkungan. Seperti apa dan bagaimana stasiun tersebut mencatat sejarah sejak dulu sampai sekarang? Berikut ulasannya.

1. Terdapat dua stasiun di Batang

Dok. IDN Times/bt

Stasiun Batang (BTG) adalah stasiun KA kelas III yang berada di Kecamatan Batang, Kabupaten Batang. Stasiun yang masuk dalam Daerah Operasi (Daop) 4 Semarang tersebut ada dua. Yakni stasiun dengan bangunan lama dengan ketinggian +4 meter dan stasiun baru dengan ketinggian +5 meter.

Stasiun baru Batang saat ini mempunyai empat jalur KA dengan jalur 2 adalah sepur lurus ke arah Semarang dan jalur 3 merupakan sepur lurus ke arah Cirebon. Sebelumnya stasiun tersebut hanya dilewati kereta api. Namun per 15 Maret 2019, PT Kereta Api Indonesia (KAI) memfungsikan kembali sebagai stasiun pemberhentian KA penumpang.

Setiap hari kini terdapat KA Kaligung yang berhenti di stasiun tersebut. Untuk pagi hari tujuan Tegal tiba pukul 06.07 WIB dan berangkat 06.09 WIB. Sedangkan tujuan Semarang tiba 06.11 WIB dan berangkat 06.13 WIB.

Sementara sore hari tiba di Stasiun Batang pukul 17.44 WIB dan berangkat pukul 17.46 WIB untuk tujuan ke Tegal. Tujuan ke Semarang tiba pukul 17.55 WIB dan berangkat 17.57 WIB.

Baca Juga: Kisah Pengusaha Informal di Demak dalam Menjaga Ketahanan Pangan Warga

2. Sempat terkenal dengan nama Stasiun Senggol

Pasar Senggol, Batang, Jawa Tengah. mbatang.com

Bangunan lama Stasiun Batang merupakan jalur tunggal lintas utara Jawa. Stasiun itu dibangun Semarang–Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS). Awalnya hanya sebuah perhentian trem uap kecil yang kemudian statusnya dinaikkan untuk stasiun KA. Naiknya status itu seiring dengan dibukanya trayek KA Weleri–Pekalongan, pada 1 Desember 1898.

Bersamaan dengan tingginya pengguna jasa, perhentian di Stasiun Batang diperluas sebagai bagian dari upgrading jalur trem SCS menjadi jalur kereta api pada 1914. Stasiun dahulu kala hanya memiliki tiga jalur kereta api dengan jalur 1 sebagai sepur lurus ditambah satu jalur badug (alat untuk mencegah sarana perkeretaapian keluar dari ujung rel) yang bercabang pada sisi barat jalur 3.

Warga setempat menjuluki Stasiun Batang dengan nama Stasiun Senggol lantaran letaknya yang berdekatan atau berhadapan persis di depan Pasar Senggol, yang saat ini sudah dirobohkan Direktorat Jenderal Perkeretaapian karena terdampak pembangunan jalur ganda. Pasca pengoperasian jalur ganda Pekalongan-Ujungnegoro sejak awal Juli 2013, Stasiun lama Batang dinonaktifkan secara resmi oleh PT KAI karena tak cukupnya ruang untuk menambah jalur baru di stasiun tersebut. Turut diperparah dengan kondisi bangunan stasiun yang sudah tak terawat sejak pembangunan jalur ganda.

3. Bangunan arsitektur Stasiun Batang mirip dengan Stasiun Patukan

IDN Times/Dhana Kencana

Perannya digantikan Stasiun baru Batang yang letaknya 1,6 kilometer di sebelah timur stasiun lama. Atau lebih tepatnya ke arah timur jalan akses Pantai Sigandu, Batang.

Awal-awal bernama Stasiun Batang Baru. Lama kelamaan kata 'Baru' dihilangkan, sehingga kini hanya Stasiun Batang saja. Yang menarik, bangunan arsitektur Stasiun Batang mirip dengan Stasiun Patukan (PTN) di Sleman Yogyakarta.

Tak cuma bangunan saja, sistem persinyalan elektrik di stasiun lama ikut dibongkar. Adapun pada stasiun yang baru menggunakan sistem persinyalan elektrik produksi PT Len Industri.

Kini stasiun yang baru telah berinovasi dan berhasil mencetak sejarah sebagai stasiun pertama di Indonesia yang menerapkan energi bersih. Ya, stasiun tersebut menjadi satu-satunya di Tanah air yang sudah menerapkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Berkat prestasi itu Museum Rekor Indonesia (MURI) memberikan penghargaan kategori Stasiun Pertama yang Menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya, pada 27 Desember 2019.

4. PLTS Stasiun Batang efisiensikan biaya sampai 50 persen

IDN Times/Dhana Kencana

PLTS tersebut menggunakan sistem On Grid untuk menopang kebutuhan listrik di Stasiun Batang. Sistem On Grid buatan Jerman adalah teknologi yang mengombinasikan sumber listrik yang dihasilkan PLN dengan sumber listrik dari panel surya (solar cell). Keduanya mampu menyuplai secara bergantian kebutuhan listrik, yang disesuaikan dengan kondisi cuaca pada saat itu secara otomatis.

Terdapat 16 panel surya berukuran 2 meter x 1 meter dengan kapasitas 375 watt peak per panelnya. Jika ditotal PLTS di stasiun tersebut secara keseluruhan bisa menghasilkan daya sebanyak 6000 watt.

Praktis dengan penerapan PLTS, Stasiun Batang mampu mengefisiensikan biaya operasional listrik sampai 50 persen. Salah satunya dari segi perawatan dimana PLTS relatif mudah dan cepat sehingga menghemat tenaga perawatan yang bisa dialokasikan ke perawatan lainnya.

"Dari jam 6 pagi sampai 4 sore hari efektif digunakan, bisa menghemat 50 persen. Pemanfaatannya untuk operasional seperti AC di ruangan, loket, juga lampu dan sound system" kata Kepala Stasiun Batang, Agus Santosa kepada IDN Times.

Baca Juga: Cara Lain UMKM di Semarang Support Tenaga Kesehatan Virus Corona

Berita Terkini Lainnya