Kurikulum Merdeka atau Penjurusan? Sama Saja Bagi Siswa SMA Semarang

- Siswa SMA favorit di Kota Semarang setuju dengan pengembalian sistem peminatan jurusan IPA, IPS, atau Bahasa.
- Sistem Kurikulum Merdeka saat ini dinilai belum memberikan kebebasan kepada siswa dalam memilih mata pelajaran pilihan.
- Chaca menilai perubahan kurikulum dan sistem pendidikan sering berganti sangat berdampak bagi siswa, terutama dalam kondisi pandemi COVID-19.
Semarang, IDN Times - Rencana Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Muti untuk mengembalikan sistem peminatan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di jenjang SMA mendapat respons dari masyarakat. Namun, tidak selalu penolakan, karena siswa SMA favorit di Kota Semarang justru setuju dengan adanya sistem baru tersebut.
1. Belajar lebih terarah dengan sistem penjurusan

Seperti siswi SMA 3 Semarang, Peqsya Jibril Riyadi yang mengaku setuju dengan sistem peminatan jurusan IPA, IPS, atau Bahasa.
‘’Kalau aku sih lebih belajar dengan sistem penjurusan ya, karena belajarnya akan lebih terarah dan bermanfaat untuk menentukan program studi saat melanjutkan kuliah,’’ ungkapnya kepada IDN Times, Jumat (18/4/2025).
Menurut siswi kelas XI ini, memang tidak ada yang salah dengan Kurikulum Merdeka yang saat ini diterapkan kepada siswa SMA. Namun, dengan pengembalian sistem penjurusan, para siswa bisa belajar dasar-dasar tentang materi kuliah yang diminati sejak dini di bangku SMA.
‘’Jadi, nanti kalau kuliah jurusannya sudah linear dengan jurusan SMA, belajarnya nggak bingung lagi. Bisa lebih fokus belajar untuk persiapan jurusan kuliah yang mau kita ambil. Kemudian, juga bisa untuk memperkuat skill dasar atau basic materi yang akan dipelajari nanti di perguruan tinggi,’’ terang gadis yang akrab disapa Chaca itu.
2. Siswa juga diarahkan memilih jurusan di Kurikulum Merdeka

Untuk sekarang ini di sekolah masih memberlakukan sistem Kurikulum Merdeka. Meskipun, tidak menerapkan penjurusan, tapi saat kenaikan kelas XI ke XII siswa diarahkan untuk memilih Mata Pelajaran Pilihan yang merupakan bagian fasilitasi dalam merencanakan dan mengambil keputusan studi lanjutan serta karier lainnya setelah lulus berdasarkan minat, bakat dan kemampuan dirinya.
Adapun, Mata Pelajaran Pilihan tersebut dibagi dalam empat kelompok di antaranya Kelompok MIPA, IPS, Bahasa dan Budaya, dan Prakarya.
Chaca mengungkapkan, sistem Kurikulum Merdeka itu belum memberikan kebebasan kepada siswa. Sebab, pemilihan kelompok juga diatur oleh sekolah dengan adanya syarat atau aturan nilai minimal. Selain itu, kuota siswa di tiap kelompok mata pelajaran pilihan juga dibatasi.
‘’Jadi, kalau dalam pemeringkatan nilai kita tidak memenuhi, kita harus pindah memilih kelompok lain sesuai nilai yang kita miliki,’’ ujarnya yang ingin memilih kelompok MIPA.
3. Wacana sistem penjurusan tak jamin jadi solusi

Kendati demikian, wacana sistem penjurusan yang akan diterapkan kembali itu juga tidak menjamin bisa menjadi solusi dalam memberikan kenyamanan siswa SMA dalam belajar.
Menurut Chaca, pilihan siswa untuk memilih jurusan yang diminati juga akan terbatas. Seperti halnya dengan implementasi sistem mata pelajaran pilihan di Kurikulum Merdeka.
‘’Bisa jadi (terbatas), kalau ada batasan kuota murid dan ada peringkat nilainya. Menurut aku itu bakal jadi batasan yang memengaruhi jurusan yang dipilih anak-anak nanti, karena kami tetap nggak bisa memilih sesuai minat kami,’’ jelasnya.
Chaca menambahkan, perubahan kurikulum dan sistem pendidikan yang sering berganti ini sangat berdampak bagi siswa. Sebab, ia mengalami sejumlah perubahan dan peralihan sepanjang mengenyam pendidikan sejak SMP hingga SMA.
4. Generasi Z terkendala adaptasi dengan perubahan kurikulum

‘’Sangat berdampak, kita sebagai Gen Z yang dapat perubahan dari K13 ke Kurikulum Merdeka, dan menjadi generasi yg terdampak COVID-19. Sistem pergantian ini sangat berat ketika harus menerima sistem pendidikan baru dengan ilmu yang kurang memadai atau fasilitas pembelajaran (pembelajaran jarak jauh) dan pergantian yang terlalu cepat,’’ terangnya.
Dalam kondisi tersebut, imbuh dia, para siswa dituntut harus bisa menyesuaikan dengan metode belajar mengajar yang tergolong sangat berbeda dari kurikulum sebelumnya. Padahal, waktu penyesuaian atau beradaptasi sangat penting bagi siswa supaya kurikulum ini bisa menjadi kurikulum yang lebih fleksibel.
‘’Maka itu, pengennya terapin sistem pendidikan yang pasti aja sih. Semoga nggak ganti-ganti lagi, karena untuk proses penyesuaian tuh butuh banyak waktu dan uang. Jadi, lebih baik jangan diganti, tapi dibenahi apa yang kurang dari kurikulum kita sekarang, tanpa harus ada penggantian secara keseluruhan. Contohnya kayak UN dihapus, terus dimunculin lagi,’’ tandasnya.