Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Ciri-Ciri Toxic Teamwork, Kamu Harus Segera Evaluasi

ilustrasi toxic teamwork (freepik.com/creativeart)
ilustrasi toxic teamwork (freepik.com/creativeart)
Intinya sih...
  • Teamwork seharusnya memudahkan, bukan beban
  • Komunikasi yang tidak transparan dan budaya gaslighting merusak dinamika tim
  • Pemimpin otoriter atau absen, dan pembagian tugas yang tidak adil juga menciptakan teamwork toxic

Teamwork seharusnya jadi kekuatan utama dalam mencapai tujuan bersama, tapi bagaimana jika justru jadi sumber stres? Lingkungan kerja yang toxic seringkali tidak terlihat jelas, tapi dampaknya bisa merusak produktivitas, moral, bahkan kesehatan mental. Jika terus dibiarkan, kolaborasi yang semestinya memudahkan justru berubah jadi beban.

Mengidentifikasi tanda-tanda teamwork toxic sejak dini bisa menyelamatkan karier dan kesejahteraan psikologis. Tidak semua konflik itu buruk, tapi ketika dinamika tim didominasi oleh sikap negatif, kompetisi tidak sehat, atau komunikasi yang buruk, itu pertanda bahaya. Yuk, cek apakah timmu termasuk dalam kategori toxic, dan apa yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya!

1. Komunikasi yang tidak jelas dan penuh manipulasi

ilustrasi toxic teamwork (freepik.com/freepik)
ilustrasi toxic teamwork (freepik.com/freepik)

Dalam tim yang sehat, komunikasi berjalan transparan dan saling menghargai. Namun, dalam lingkungan toxic, informasi seringkali sengaja disembunyikan, dipelintir, atau digunakan sebagai senjata untuk mengontrol anggota tim. Misalnya, atasan atau rekan kerja yang memberikan instruksi ambigu, lalu menyalahkan orang lain ketika hasilnya tidak sesuai ekspektasi.

Selain itu, budaya gaslighting juga kerap muncul, seperti melempar tanggung jawab, menyangkal kesalahan, atau membuat seseorang merasa bersalah tanpa alasan jelas. Jika setiap diskusi berujung pada rasa was-was atau kebingungan, itu pertanda komunikasi dalam tim sudah tidak sehat. Tanpa kejujuran dan keterbukaan, kolaborasi hanya akan jadi sumber frustrasi.

2. Kompetisi tidak sehat antaranggota tim

ilustrasi toxic teamwork (freepik.com/jcomp)
ilustrasi toxic teamwork (freepik.com/jcomp)

Persaingan bisa memacu kinerja, tapi saat berubah jadi cut-throat competition, itu jadi masalah besar. Dalam tim toxic, anggota lebih fokus pada saling menjatuhkan daripada bekerja sama. Misalnya, ada yang sengaja menahan informasi penting, mengambil kredit atas kerja orang lain, atau bahkan menyabotase rekan demi terlihat lebih baik di mata atasan.

Dampaknya? Kepercayaan antar anggota hancur, dan budaya saling curiga terbentuk. Alih-alih bersinergi, energi habis untuk political maneuvering yang tidak produktif. Jika tim lebih sering berdebat tentang "siapa yang paling berjasa" daripada "bagaimana mencapai target bersama", itu alarm merah bahwa dinamika tim sudah tidak sehat.

3. Leader yang otoriter atau tidak peduli

ilustrasi toxic teamwork (freepik.com/yanalya)
ilustrasi toxic teamwork (freepik.com/yanalya)

Pemimpin seharusnya jadi penggerak dan penengah, bukan sumber ketakutan atau ketidakpedulian. Tim toxic seringkali dipimpin oleh figur yang otoriter, semua keputusan harus sesuai keinginannya, masukan dianggap ancaman, dan feedback diabaikan. Di sisi lain, ada juga pemimpin yang absentee, alias tidak terlibat sama sekali, membiarkan konflik merajalela tanpa solusi.

Ketika pemimpin gagal menciptakan lingkungan inklusif, anggota tim akan merasa tidak dihargai dan kehilangan motivasi. Tidak ada ruang untuk berkembang, karena kreativitas dan inisiatif individu selalu dipatahkan. Jika pemimpinmu lebih sering jadi penghalang daripada pendukung, saatnya mempertanyakan apakah tim ini masih layak dipertahankan.

4. Beban kerja tidak seimbang dan eksploitatif

ilustrasi toxic teamwork (freepik.com/creativeart)
ilustrasi toxic teamwork (freepik.com/creativeart)

Dalam tim yang baik, tugas dibagi secara adil sesuai kapasitas dan keahlian. Tapi dalam tim toxic, seringkali ada overload pada beberapa orang, sementara yang lain hanya lepas tangan. Misalnya, ada anggota yang selalu diberi pekerjaan tambahan tanpa apresiasi, sementara rekan lainnya lolos dari tanggung jawab dengan alasan tidak jelas.

Parahnya, ketidakseimbangan ini sering dibiarkan oleh atasan, seolah menjadi norma. Lama-kelamaan, anggota yang rajin akan merasa dieksploitasi dan burnout, sementara yang malas justru dianggap "pintar menghindar". Jika sistem tim membiarkan ketidakadilan seperti ini, itu bukan teamwork, tapi eksploitasi terselubung.

5. Tidak ada ruang untuk feedback dan perbaikan

ilustrasi toxic teamwork (freepik.com/freepik)
ilustrasi toxic teamwork (freepik.com/freepik)

Ciri terakhir yang paling krusial adalah tim toxic menolak kritik membangun. Setiap masukan dianggap sebagai serangan pribadi, bukan kesempatan untuk berkembang. Misalnya, saat ada yang mencoba menyampaikan ketidaknyamanan, responnya justru defensif, "Kamu aja yang terlalu sensitif," atau "Ini sudah tradisi tim, terima saja."

Akibatnya, masalah terus berulang tanpa solusi, karena tidak ada mekanisme perbaikan. Anggota tim yang frustrasi akhirnya memilih diam atau quiet quitting, karena merasa suaranya tidak didengar. Jika budaya tim menekan aspirasi dan menormalisasi ketidaknyamanan, itu pertanda besar bahwa perubahan mendesak diperlukan.

Teamwork toxic bukan hanya bikin pekerjaan terasa berat, tapi juga menggerogoti semangat dan kesejahteraan mental. Jika beberapa ciri di atas terasa familiar, jangan diam saja, evaluasi, diskusikan dengan pihak terkait, atau cari solusi bersama.

Lingkungan kerja yang sehat dimulai dari kesadaran kolektif untuk memperbaiki dinamika tim. Jangan sampai keterikatan pada posisi atau gaji membuat terjebak dalam situasi yang merugikan diri sendiri. Hidup terlalu singkat untuk stuck di tempat yang tidak menghargai kontribusimu.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dhana Kencana
EditorDhana Kencana
Follow Us