Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Tanda saat Hubungan Ibu dan Anak Perempuan Berubah menjadi Toxic

potret ibu dan anak perempuannya (pexels.com/Elina Fairytale)
Intinya sih...
  • Masa pengasuhan anak dari kecil hingga dewasa memerlukan kesabaran, fleksibilitas, dan kemampuan untuk mengubah haluan saat diperlukan.
  • Ketegangan antara ibu dan anak perempuan bisa muncul saat menunjukkan ketidaksetujuan terhadap pilihan sang putri, berpotensi meninggalkan bekas hingga dewasa.
  • Gaya pengasuhan otoriter dapat menciptakan hubungan toxic antara ibu dan anak perempuan yang bersifat mengontrol, tidak toleran terhadap diskusi, dan memicu konflik.

Menjadi ibu yang baik merupakan pekerjaan sulit, terlebih seiring bertambahnya usia anak, mulai dari masa kanak-kanak, remaja, hingga dewasa, gaya pengasuhan kamu pasti akan berbeda. Dalam jangka panjang, menjadi ibu yang baik tidak hanya membutuhkan kesabaran, tetapi juga fleksibilitas dan kemampuan untuk mengubah haluan saat kamu membutuhkannya. Di sisi lain, situasi ini bagi sebagian ibu merupakan tantangan tersendiri dan memerlukan upaya sadar saat mempraktikannya.

Jika sang ibu dan anak perempuannya sama-sama memiliki kepribadian yang suka akan ketenangan dan kedamaian, hubungan di keduanya mungkin akan lebih mudah baik-baik saja. Namun, bagaimana jika baik ibu dan anak perempuan ini sama-sama mudah marah dan sering kali terjerumus dalam perdebatan? Dalam situasi ini ibu bisa mencontohkan untuk mengelola ketegangan secara kontinu dan mengatur emosi dirinya sendiri lebih dahulu, dengan begitu putri kamu pun bisa mengikuti. Lalu, tanda seperti apa yang perlu kamu waspadai saat hubungan ibu dan putrinya menjadi begitu toxic?

1. Kontrol dan hukuman saat terjadi ketegangan

potret anak perempuan bersama sang ibu (pexels.com/Elina Fairytale)

Situasi ini dapat mulai terjadi di masa remaja, ketika seorang ibu  menunjukkan ketidaksetujuan terhadap sang putri, kemudian memintanya untuk lebih baik diam. Misalnya, kamu marah terhadap keputusan sang anak yang ingin mengikuti kelas menari, dengan reaksi ketidaksetujuan meminta anak tersebut lebih baik mendekam saja di dalam kamar tidurnya. Cara parenting saat menghadapi ketegangan ini dapat terus berlanjut atau membekas di dalam diri anak, bahkan hingga ia sudah dewasa, meski dalam bentuk lain.

Seperti yang diketahui para ahli, momen-momen yang dapat diprediksi dalam perkembangan anak serta ibu dan anak dapat berpotensi lebih besar untuk menimbulkan ketegangan. Secara umum, di saat-saat seperti inilah anak perempuan sering kali menegaskan kemandiriannya, mulai mencoba berbagai gagasan tentang dirinya, dan menentang harapan serta visi kamu terhadapnya. Intinya, saat kamu semakin menentang keputusannya, anak perempuan justru merasa semakin ini menunjukkan keindependenanya.

2. Tidak adanya sikap saling memberi dan menerima

potret ibu dan anak perempuannya sedang berdebat (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Ibu kamu mungkin menolak untuk mendengarkan alasan kamu membuat suatu keputusan atau pilihan yang bertentangan dengannya. Seorang ibu mungkin mencoba menghalangi, merendahkan, atau diberitahu pilihan tersebut bodoh. Sebagai seorang ibu, ada kalanya seseorang merasa dia pasti lebih superior dan jauh lebih berpengalaman daripada anak. Jadi, saat ingin meremehkan mimpi sang anak yang dipertentangkan olehnya, itu terasa benar, karena baginya itu demi kebaikan sang putri.

Di sisi lain, mulai dari konsep saat kedua pihak ibu dan anak perempuan alami perbedaan pendapat, di sinilah bibit-bibit toxic muncul dalam hubungan. Kamu sebagai anak mungkin merasa ibu kamu sering kali meremehkan dirimu, berpikir jika dirimu tidak cukup pintar dan mandiri, jika melakukan sesuatu tanpa arahan sang ibu. Padahal, menurut ahli yang penting bukanlah apakah pasangan tidak setuju atau berdebat, karena dalam setiap hubungan bahkan ibu dan anak perdebatan akan selalu ada, ini tergantung pada sikap bijak saat terlibat dalam perdebatan tersebut.

3. Tindakan dan pilihan anak dibingkai serupa kelemahan dirinya

potret ibu dan anak perempuannya sedang berdebat (pexels.com/RDNE Stock project)

Ketegangan yang terjadi antara ibu dan anak bisa meningkat saat sang ibu mengambil posisi bahwa keputusan atau tindakan didasarkan pada kelemahan sang putri. Sikap seperti ini membuat sang putri menangkapnya sebagai pesan meremehkan, tetapi juga seakan mengambil kemampuannya untuk melatih jadi pribadi bertanggung jawab. Orang tua yang memiliki gaya parenting otoriter, melihat anak sebagai perpanjangan dari tangan mereka, bisa terus meningkat jika kebiasaan meremehkan ini terus berlanjut.

Terlebih saat pola ini ada dalam hubungan ibu dan anak perempuan yang sudah dewasa. Faktanya seiring bertambahnya usia area ketegangan ini bisa terus meningkat, karena anak perempuan bisa mengambil lebih banyak keputusan yang bertentangan dengan ibu mereka. Bisa jadi, anak pun jadi lebih jarang meminta pendapatmu sebagai ibu, mengenai keputusan yang dia ambil terkait entah itu karir, pasangan, maupun pendidikan. Anak menghindari reaksi merendahkan yang mungkin sang ibu akan tunjukan, saat keputusannya bertentangan dengan ibu mereka.

4. Ketidaksetujuan diberi label sebagai "tidak hormat"

potret ibu dan anak perempuan sedang berdebat (pexels.com/cottonbro studio)

Terdapat norma budaya yang sudah lebih dahulu melabeli, jika "ketidaksetujuan" anak merupakan sebuah pelanggaran, ungkapan tidak hormat, hingga tak menghargai sang ibu. Situasi ini jadi serupa seperti pengalihan kesalahan, di mana dalam hal ini ibu kamu menjadi korban. Di sisi lain, terbentuknya hubungan toxic antara ibu dan anak ini juga sangat dipengaruhi oleh gaya pengasuhan ibu yang bersifat otoriter, di mana semuanya tentang mengontrol, menguasai, hingga tidak menoleransi diskusi.

Meskipun seorang anak perempuan yang dibesarkan dengan gaya ini cenderung penurut, namun saat beranjak dewasa bisa jadi ia kehilangan kemampuan pengendalian diri. Hubungan toxic ini bisa berlanjut memanas, saat sang ibu mengatakan bahwa ia akan mengucilkan anak peremuannya tersebut. Maksud ibu mungkin serangan agar sang putri mau menuruti perkataannya, namun bisa jadi ini malah membuat hubungan anak dan ibu semakin renggang dan asing.

Terlepas dari masalah hubungan ibu dan anak perempuan sudah dewasa yang menjauh, pakar memandang jika kata "toxic" ini sendiri sudah terlalu sering digunakan hingga disamakan dengan "narsistik". Fenomena ini disebut bisa jadi sebab kata "beracun" itu sendiri kehilangan makna sebenarnya. Jadi, penting untuk mengidentifikasi terlebih dahulu perbedaan antara "ketegangan" yang terjadi dalam sebuah hubungan dan apa yang sebenarnya maksudnya "toxic" hingga bersifat kasar.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nadhifa Salsabila Kurnia
EditorNadhifa Salsabila Kurnia
Follow Us