5 Cara Mengelola Anger Issue Tanpa Toxic Positivity, Pahami Polanya!

- Mengelola marah dengan cara yang sehat dan realistis penting untuk menghindari anger issue
- Catat atau rekam kejadian saat marah untuk mengenali pola reaksi dan trigger yang memicu kemarahan
- Gunakan teknik pernapasan dan komunikasi yang jujur, serta cari bantuan profesional jika diperlukan dalam mengelola emosi
Kamu semua pasti pernah marah. Tapi ketika emosi itu muncul terlalu sering, terlalu intens, atau bikin kamu menyesal setelahnya—itu bisa jadi tanda kalau sedang berurusan dengan anger issue. Masalahnya, gak semua orang paham cara menanganinya. Banyak yang cuma bilang, “Sabar aja,” atau “Positive thinking dong,” padahal respons kayak gitu justru bisa membuat kamu merasa makin gak valid. Toxic positivity bukan solusi, malah bisa bikin emosi kamu makin terpendam dan meledak di waktu yang salah.
Mengelola marah itu bukan berarti harus jadi orang yang selalu tenang dan kalem 24/7. Itu utopia. Yang realistis adalah belajar memahami apa yang memicu marahmu, gimana pola reaksimu, dan pelan-pelan membentuk respons yang lebih sehat. Bukan buat nyenengin orang lain, tapi buat dirimu sendiri—supaya kamu punya kontrol, bukan dikontrol emosi.
Nah, berikut ini lima cara realistis dan aplikatif buat kamu yang lagi berproses menata kemarahan tanpa harus pura-pura "baik-baik saja".
1. Kenali trigger dan pola emosi lewat jurnal atau voice notes

Setiap kali kamu marah, coba catat atau rekam apa yang sebenarnya terjadi. Siapa yang terlibat? Apa yang kamu rasakan? Reaksi fisik apa yang muncul? Cara ini bisa bantu kamu menemukan pola—apakah kamu cenderung marah saat merasa diremehkan, tidak dihargai, atau saat situasi tidak sesuai ekspektasi? Kamu bisa pakai jurnal, voice notes, atau aplikasi mood tracker yang simpel tapi efektif.
Makin sering kamu jujur mencatat, semakin jelas kamu melihat trigger yang selama ini tersembunyi. Ini bukan buat menyalahkan diri sendiri, tapi buat observasi tanpa drama. Dari situ, kamu bisa belajar mengenali momen awal sebelum marah meledak. Jadi, kamu punya jeda untuk memutuskan: “Oke, ini lagi muncul nih, aku mau respon gimana ya sekarang?”
2. Jangan takut merasa marah, tapi kasih ruang aman buat mengolahnya

Marah itu emosi yang valid. Emosi ini muncul bukan buat dihukum, tapi buat diolah. Sayangnya, banyak dari kamu diajarkan buat menekan kemarahan—apalagi kalau kamu tumbuh di lingkungan yang anti-konflik. Padahal, kalau terus dipendam, kemarahan bisa numpuk dan berubah jadi ledakan atau bahkan burnout.
Yang kamu butuh bukan “jangan marah dong”, tapi tempat aman buat mengurai marah itu. Bisa lewat ngobrol sama teman yang kamu percaya, nulis unfiltered di jurnal, atau bahkan pukul bantal sambil teriak di kamar. Healthy release itu penting, karena tubuh kamu juga butuh outlet buat melepas emosi. Setelah itu baru kamu bisa berpikir lebih jernih: kenapa tadi aku segitu kesalnya, dan apa yang sebenarnya aku butuh?
3. Mulai tarik nafas, tapi bukan buat "menahan" emosi

Teknik pernapasan sering disalahartikan sebagai cara buat menahan emosi. Padahal, tujuan utamanya adalah mengakses kembali logika yang sempat ditinggalkan ketika kamu sedang terbakar marah. Saat marah, otak kamu didominasi reaksi insting. Dengan menarik napas dalam beberapa kali (coba teknik 4-7-8: tarik 4 detik, tahan 7, buang 8), kamu kasih sinyal ke otak: "Kamu aman, sekarang bisa pikirin ini pelan-pelan."
Kamu bukan robot yang bisa langsung zen cuma gara-gara meditasi dua menit. Tapi dengan latihan konsisten, tubuh kamu jadi lebih terlatih buat ‘ngetap in’ ke mode tenang sebelum kamu melakukan hal-hal yang nanti bikin kamu nyesel. Ini bukan teknik pengalih, ini cara menyalakan lampu di tengah ruang gelap.
4. Komunikasikan marah tanpa nyerang, tapi tetap tegas

Kamu sering bingung bedain antara tegas dan marah. Banyak yang takut dianggap “emosian” kalau mulai nyuarain batasan atau ketidaknyamanan. Padahal, komunikasi yang sehat itu justru butuh kejujuran soal emosi—tanpa nyalahin, tanpa mengancam, tapi tetap jelas dan tidak basa-basi.
Coba mulai pakai format: “Aku merasa... karena... dan aku butuh...”. Contohnya: “Aku merasa kecewa karena kamu datang telat lagi tanpa kabar. Aku butuh kejelasan biar aku gak nungguin terus.” Simple tapi powerful. Ini cara kasih tahu perasaanmu tanpa ngubah kamu jadi orang yang meledak-ledak atau malah pendam terus dan akhirnya ghosting.
5. Konsultasi bukan tanda lemah, tapi strategi bertumbuh

Kalau kamu merasa marah mulai mengganggu hubungan, pekerjaan, atau bahkan kesehatan mental, jangan ragu buat cari bantuan profesional. Terapi itu bukan buat orang “gila”, tapi buat orang yang pengin belajar mengatur hidupnya dengan lebih sehat dan sadar. Konselor atau psikolog bisa bantu kamu mengurai akar masalah, mengenali pola lama, dan membangun sistem coping yang lebih sustainable.
Kadang kamu terlalu keras sama diri sendiri, merasa harus bisa semua sendiri. Padahal, tumbuh itu bukan tentang jadi kuat tanpa bantuan, tapi tahu kapan harus istirahat dan minta dukungan. Kamu gak harus nunggu “rusak” dulu baru ke psikolog. Anggap aja ini bagian dari self-upgrade. Kamu belajar, kamu bertumbuh, dan kamu tetap manusia yang boleh punya emosi.
Marah itu bukan musuh, tapi sinyal. Yang penting bukan menolaknya, tapi belajar membaca dan meresponsnya dengan cara yang bikin kamu tetap waras, tetap terkoneksi dengan diri sendiri, dan tetap bisa hidup berdampingan dengan orang lain tanpa harus ngorbanin batasmu. Kamu gak butuh jadi “perfectly calm person”, tapi cukup jadi versi kamu yang lebih sadar dan gak asal meledak. Proses ini gak instan, tapi tiap langkah kecil tetap berarti. Yuk, mulai dari hari ini—kenali, terima, dan kelola marahmu dengan cara yang lebih sehat dan realistis.