Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kisah Resto Wasabi Membersamai Disabilitas Demi Sebuah Kemandirian

Kayla bersama Metha dan seorang temannya saat berpose dia jari di depan kasir Resto Wasabi Semarang. (IDN Times/Fariz Fardianto)
Intinya sih...
  • Restoran Wasabi Semarang mempekerjakan delapan karyawan disabilitas dan tujuh karyawan normal
  • Karyawan disabilitas bekerja part time minimal tiga hari seminggu dengan jam kerja yang disesuaikan
  • Pemilik restoran, Enday Nugroho, berharap bisa menginspirasi pengusaha lain untuk tidak mengecilkan peran disabilitas intelektual

Semarang, IDN Times - Jarum jam menunjukkan pukul 16.30 sore saat Kayla menghela napas dalam-dalam. IDN Times yang mengunjungi restoran wasabi Semarang Jumat (5)7/2024) melihat suasanya sedang ramai. 

Walau terhimpit ruko-ruko, tapi restoran wasabi yang satu ini gampang dikenali karena letaknya di tepi Jalan Mgr Soegijapranata atau persis depan Pasar Bulu Semarang. 

Banyak pelanggan berseliweran datang dan pergi di restoran tersebut. Ada yang pesan sushi untuk makan tempat. Juga ada yang minta dibungkus. Sesuai namanya, resto Wasabi memang menjual aneka masakan khas Jepang. Seperti beragam jenis olahan sushi, wasabi, mi ramen, salmon stone dan variasi menu lainnya. 


"Aku capek banget," kata Kayla saat duduk sejenak di kursi depan kasir. 

Senang dengan keakraban teman-temannya

Seorang pelanggan terlihat berpose sambil memegang sumpit di meja makan resto Wasabi Semarang. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Meski kelihatan lelah, namun bagi perempuan berusia 26 tahun itu bekerja di restoran wasabi sangat menyenangkan. Interaksi antara teman dan bertemu dengan pelanggan membuatnya terasa gembira. 

Sore itu Kayla mengaku sudah bolak-balik mengantar pesanan ke meja pelanggan. "Hari ini sudah bolak-balik nganterin pesanan. Senang sih, asyik kak," akunya. 

Kayla yang tinggal di kawasan Manyaran Semarang Barat merupakan salah satu pelayan restoran wasabi. Kayla senang bekerja sebagai pelayan resto karena suasana yang terjalin sangat akrab. 

Meski Kayla seorang disabilitas intelektual tapi rata-rata temannya tak canggung berbicara dengan dirinya. 

Karyawan disabilitas bekerja paruh waktu

Empat karyawan disabilitas dan seorang karyawan normal saat berfoto bersama seorang pelanggan Resto Wasabi Semarang. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Selain Kayla, menurut Enday Nugroho sebagai pemilik restoran wasabi Semarang, restorannya mempekerjakan delapan karyawan disabilitas serta tujuh karyawan normal. Karyawan normal bekerja full time. Sementara karyawan disabilitas bekerja part time alias paruh waktu. 

Khusus karyawan disabilitas, Enday merekrut yang berusia minimal 20 tahun. "Yang diterima kerja di sini umurnya minimal 20 tahun. Sudah tidak tantrum. Tidak lagi diberi pendampingan," kata Enday. 

Karyawan disabilitas wajib masuk tiga hari seminggu. Saban Senin, Kamis dan Jumat. Jam kerjanya mulai 13.30 WIB siang-17.30 WIB sore. Di sela sibuknya bekerja, karyawan disabilitas juga diberi waktu istirahat. Serta salat lima waktu. 

"Mereka masuk seminggu tiga kali. Karena kita musti jaga fisik mereka. Jam kerjanya juga disesuaikan sama aturan part time. Dari jam setengah dua siang. Terus pulangnya jam enam sore. Ada waktu istirahat dan solat. Kita tidak memperlakukan mereka kayak yang lain. Karena moodnya bisa saja naik turun," ungkapnya. 

Secara klasifikasi, karyawan disabilitas di restorannya terdiri dari seorang penderita down syndrome, satu disabilitas non verbal dan sisanya disabilitas intelektual. Yang dimaksud disabilitas intelektual adalah orang yang mengalami gangguan tumbuh kembang otak, gangguan motorik dan gangguan berbicara. 

Buktikan penderita down syndrome bisa kerja di restoran

Metha bersama Kayla saat sibuk membersihkan piring gelas sendok dan garpu kotor di atas meja. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Dan Metha adalah satu-satunya karyawan restoran wasabi yang menderita down syndrome. Umurnya sudah 20 tahun. Jika dilihat seksama Metha tampak kalem. Enday dan pelanggan restoran wasabi senang melihat Metha. Saban kerja tak pernah tantrum. 

Sikap Metha yang kalem tampak saat IDN Times duduk di sebelahnya. Kedua tangan Metha cekatan. Jari jemarinya luwes mengelap sendok garpu dan sumpit sampai kering. 

Enday bercerita bahwa dirinya sudah beberapa tahun membuka usaha restoran. Satu restoran di Jalan Mgr Soegijapranata. Satunya lagi di Tembalang. Lalu karena terinspirasi melihat kesuksesan anaknya yang menderita attention-deficit disorder, Enday pun memberanikan diri merekrut para disabilitas mulai 2019 silam. 

Kendati sempat berhenti beroperasi karena terhalang pandemik, ia kemudian sukses bangkit kembali dengan membuka restorannya. Bahkan sejak awal Juni 2024 kemarin ia kembali mempekerjakan para disabilitas. 

"Gajinya disamakan dengan tenaga part time umumnya. Karena yang disabilitas ini kan butuh ruang untuk bekerja. Cuma kita berikan kemudahan kalau mereka ada kegiatan lain diluar resto. Soalnya saya lihat sendiri anak-anak disabilitas yang kerja di sini juga pintar menari, ngelukis dan nyulam," terangnya. 

Tidak menghakimi tapi mendampingi

Pemilik Resto Wasabi Semarang, Enday Nugroho tatkala berbincang dengan wartawan di salah satu sudut restorannya. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Bagi Enday, dengan menampung para disabilitas intelektual sebagai tenaga kerja setidaknya bisa mengajarkan kemandirian sekaligus membentuk ketekunan. 

Tentu semua ini tak mudah bagi Enday. Karena sebelum karyawan disabilitas bekerja, dirinya harus telaten mengajarkan bagaimana caranya menyapa para pembeli, caranya mencuci sendok garpu dan sumpit. Sampai mengajari caranya memikul tanggung jawabnya sendiri.

"Contohnya saya tetap ada di outlet untuk berikan penjelasan ke tamu kalau mereka juga akan diservis ke teman-teman disabilitas," urainya. 

Untuk melatih mereka perlu diberitahu berulang kali. Jangka waktu melatih karyawan disabilitas memakan waktu sebulan. 

"Mereka kan kerjanya jadi pelayan, mencuci alat makan, kadang nyapu, ngepel dan memberi servis ke tamu. Nah, sebelum dihadapkan pada tamu, maka harus diajarkan cara servisnya dan sebagainya. Minimal mereka tahu tanggung jawabnya. Misal kalau ada meja kotor ya dibersihkan," sambungnya.

Ia mengaku akan senantiasa terus menerus membersamai para disabilitas sampai mereka benar-benar mandiri, tidak lagi minder dan kuat menghadapi kehidupan. 

Karena misi itulah, Enday tak pernah bosan memberi pemahaman kepada orang tua yang punya anak disabilitas agar mengizinkan anak mereka bekerja di restorannya. 

"Karena kita selalu yakinkan kepada ibu-ibunya kalau selama bekerja di sini juga tetap beri pendampingan. Para orang tua saya beri pemahaman berulang-ulang bahwa kami tidak menghakimi tapi juga mendampingi. Ya karena saya kebetulan kenal sama orang tuanya, maka mereka juga antusias menyambut ajakan kami. Setiap anak disabilitas ini pas berangkat dan pulang pasti dijemput orang tuanya," ujar Enday. 

Ia berharap apa yang dilakukannya selama ini mampu menginspirasi para pengusaha restoran lainnya supaya tidak mengecilkan peran disabilitas intelektual. Sebab seorang disabilitas intelektual berhak untuk sukses. Berhak berkarya. Berhak mandiri dan menemukan talentanya layaknya orang-orang pada umumnya. 

"Jadi yang saya lakuin ini moga-moga bisa menginspirasi para pengusaha dan orang lain. Semoga ini bisa mengajari mereka agar membersamai anak-anak disabilitas," tukasnya. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Fariz Fardianto
Dhana Kencana
Fariz Fardianto
EditorFariz Fardianto
Follow Us