Saur Hutabarat Bicara Kecerdasan Manusia di Era AI Lewat Evolusi Jari

- Saur Hutabarat membahas kecerdasan manusia di era AI melalui evolusi jari
- Manusia semakin mengandalkan layar, algoritma, dan mesin untuk berpikir lebih cepat
- Kemajuan teknologi menyingkap kenyataan bahwa manusia tetap harus menjadi nakhoda di tengah gelombang informasi
Semarang, IDN Times - Dunia yang serba instan dan digital, membuat manusia semakin mahir mengandalkan layar, algoritma, dan mesin untuk berpikir lebih cepat. Namun, kemajuan itu justru menyingkap satu kenyataan penting, yakni manusia tetap harus menjadi nakhoda di tengah gelombang informasi yang tak pernah surut.
1. Tentang hubungan antara jari, pikiran, dan teknologi

Gagasan itulah yang menjadi inti dari buku Evolusi Jari, sebuah karya kolaboratif antara jurnalis senior, Saur Hutabarat dan seorang prompt dan context engineer, Ikhwan Syaefulloh. Dua sosok yang mengakrabi bidang masing-masing serta dari generasi berbeda itu berjumpa dan melahirkan cara pandang baru tentang hubungan antara jari, pikiran, dan teknologi.
“Alat boleh berubah dari pena sampai AI, tapi yang menjaga kedalaman pikir tetap manusia. Menulis itu urusan jari, tapi memutuskan apa yang layak ditulis adalah kerja nalar,’’ ujar Saur saat memaparkan isi buku terbarunya, Selasa (25/11/2025).
Melalui pendekatan yang lugas, buku ini mengingatkan bahwa teknologi bukan ancaman, melainkan ujian bagi kecerdasan manusia. Jurnalis yang berkarya selama empat dekade itu menyoroti pentingnya keberanian keluar dari zona nyaman, sebuah “kesintingan” kecil yang justru melahirkan kreativitas. Pemikirannya terasa relevan di tengah budaya cepat, pamer, dan segala hiruk-pikuk digital masa kini.
2. Memuat refleksi sosial, moral, hingga spiritual

Tidak hanya soal teknologi, buku Evolusi Jari juga memuat refleksi sosial, moral, hingga spiritual. Salah satu bagian paling menyentuh adalah kisah sederhana tentang kain kafan, sebuah peringatan bahwa kerendahan hati jauh lebih tahan lama daripada reputasi yang kita poles untuk dunia maya.
Ikhwan, yang mengolah puluhan opini Saur dengan bantuan kecerdasan buatan menyampaikan, bahwa buku ini juga merupakan eksperimen kolaborasi manusia–mesin yang bertumpu pada kualitas gagasan.
“AI hanya membantu merapikan konteks. Inti pikirannya tetap milik Saur. Justru di situ letak menariknya: teknologi dipakai untuk menegaskan suara manusia, bukan menggantikannya,” jelasnya.
3. Evolusi Jari relevan bagi siapa pun

Dengan gaya bahasa pendek, padat, namun artistik, Evolusi Jari menjadi bacaan yang mudah diikuti meski memuat isu-isu berat, seperti politik, hukum, pluralitas, hingga etika publik. Buku ini relevan untuk pekerja digital, kreator konten, mahasiswa, akademisi, hingga siapa pun yang ingin tetap utuh sebagai manusia di tengah gempuran teknologi.
Bagi yang penasaran ingin membacanya, Evolusi Jari akan tersedia di toko buku seluruh Indonesia mulai awal Desember 2025. Bagi pembaca yang ingin memahami bagaimana menjaga kejernihan berpikir di tengah hiruk-pikuk teknologi, buku ini mungkin bisa jadi satu di antara sedikit karya yang perlu masuk dalam daftar baca tahun depan.
Saat arus informasi begitu deras dan sering membuat manusia sibuk bereaksi ketimbang berpikir, Evolusi Jari hadir sebagai ruang jeda yang menuntun pembaca kembali pada pertanyaan paling mendasar: apa peran manusia ketika alat semakin pintar? Buku ini bukan sekadar kumpulan opini, melainkan ajakan untuk kembali mengasah nalar, merawat intuisi, dan meneguhkan nilai-nilai yang membuat kita tetap menjadi manusia, meski hidup berdampingan dengan mesin yang bergerak kian cepat.


















