5 Fakta Mengejutkan soal Hormon Perempuan saat Musim Hujan, Sama?

- Musim hujan memengaruhi produksi serotonin dan melatonin dalam tubuh perempuan, menyebabkan perubahan suasana hati dan respons stres yang lebih intens.
- Hormon reproduksi perempuan tidak loncat hanya karena hujan, tetapi musim hujan dapat meningkatkan kadar hormon stres seperti kortisol.
- PMS terasa lebih intens saat musim hujan karena faktor lingkungan seperti kurang cahaya dan gangguan ritme tidur dapat memperparah gejala emosional PMS.
Musim hujan kerap menjadi alasan paling mudah untuk menjelaskan perubahan emosi perempuan. Saat langit mendung dan hujan turun berhari-hari, label ‘hormonal’ sering ditempelkan begitu saja—seolah tubuh perempuan takpunya logika biologis yang kompleks. Padahal, sains justru menunjukkan bahwa hubungan antara hujan, hormon, dan emosi jauh lebih subtil.
Alih-alih hormon yang melonjak drastis, musim hujan bekerja seperti lensa pembesar yang menyoroti perubahan kecil dalam tubuh. Mulai dari ritme tidur, suasana hati, hingga respons stres yang kemudian terasa lebih intens. Yuk, kita simak apa saja faktanya musim hujan bagi hormon perempuan!
1. Saat cahaya matahari berkurang, otak ikut berubah

Musim hujan identik dengan minimnya paparan sinar matahari, dan kondisi ini berdampak langsung pada kerja otak. Penelitian yang dirilis oleh The Lancet menunjukkan bahwa paparan cahaya matahari berkaitan erat dengan produksi serotonin, neurotransmiter yang berperan penting dalam menjaga suasana hati tetap stabil.
Ketika serotonin menurun akibat kurang cahaya, tubuh—terutama perempuan yang lebih sensitif secara neuroendokrin—cenderung mengalami perubahan mood. Perasaan murung, mudah tersinggung, atau kehilangan motivasi bukanlah tanda hormon reproduksi yang naik, melainkan sinyal bahwa sistem saraf sedang menyesuaikan diri.
Pada saat yang sama, produksi melatonin justru meningkat. Senada dengan jurnal Neuron terbaru, kadar melatonin yang lebih tinggi membuat tubuh lebih mengantuk dan lamban, sehingga emosi terasa lebih berat untuk dikendalikan. Ini menjelaskan mengapa hujan sering diasosiasikan dengan rasa lesu dan sendu.
Kombinasi serotonin yang turun dan melatonin yang naik inilah yang kerap disalahartikan sebagai ‘hormon perempuan sedang bermasalah’. Padahal yang berubah adalah hormon suasana hati, bukan estrogen atau progesteron.
2. Hormon reproduksi tidak loncat hanya karena hujan

Secara medis, hormon reproduksi perempuan bekerja mengikuti mekanisme yang sangat teratur. Estrogen dan progesteron dikendalikan oleh poros hipotalamus–hipofisis–ovarium dan berfluktuasi sesuai fase siklus menstruasi, bukan musim atau cuaca. Hal ini ditegaskan Global Library of Women’s Medicine dalam kanal digitalnya.
Tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa musim hujan dapat menyebabkan lonjakan drastis hormon estrogen atau progesteron. Bahkan pada negara dengan variasi musim ekstrem, perubahan hormon reproduksi tetap relatif stabil sepanjang tahun.
Namun, musim hujan bisa meningkatkan kadar kortisol, hormon stres. Lingkungan yang lembap, aktivitas terbatas, dan perubahan rutinitas berkontribusi pada respons stres ringan yang memengaruhi keseimbangan tubuh secara keseluruhan.
Di sinilah kesalahpahaman sering terjadi. Kortisol yang meningkat dapat memengaruhi cara tubuh ‘merasakan’ fluktuasi hormon, meski secara kadar hormon reproduksi tetap normal.
3. PMS terasa lebih intens saat musim hujan

Banyak perempuan merasa PMS lebih ‘menyiksa’ saat musim hujan, dan ini bukan ilusi. Studi dalam The Journal of Nervous and Mental Disease menemukan bahwa faktor lingkungan seperti kurang cahaya dan gangguan ritme tidur dapat memperparah gejala emosional PMS.
Pada fase luteal, progesteron memang sedang tinggi dan tubuh berada dalam kondisi yang lebih sensitif. Ketika fase ini bertemu dengan cuaca mendung berkepanjangan, efeknya bisa terasa berlipat secara emosional dan fisik.
Nyeri haid bisa terasa lebih mengganggu, suasana hati lebih mudah turun, dan kelelahan mental meningkat. Bukan karena hujan menciptakan PMS, tetapi karena hujan memperkuat kondisi biologis yang sudah ada.
Pemahaman ini penting agar PMS tidak terus direduksi sebagai ‘drama hormon’, melainkan diakui sebagai kondisi fisiologis nyata yang dipengaruhi oleh konteks lingkungan.
4. Libido di musim hujan, bisa naik turun

Perubahan libido saat musim hujan sering dianggap sebagai bukti hormon seksual yang meningkat. Padahal, penelitian dalam Frontiers in Public Health menunjukkan bahwa libido lebih banyak dipengaruhi faktor psikologis dan emosional dibanding lonjakan hormon semata.
Bagi sebagian perempuan, suasana hujan yang dingin dan tenang justru meningkatkan kebutuhan akan kedekatan emosional. Rasa nyaman dan aman dapat memicu peningkatan hasrat, meski tanpa perubahan signifikan pada hormon seks.
Sebaliknya, pada perempuan lain, kelelahan, mood rendah, dan kurang energi justru menurunkan libido. Respons ini sepenuhnya valid dan sangat individual.
Ini menegaskan bahwa libido bukan indikator langsung naik-turunnya hormon, melainkan refleksi hubungan kompleks antara tubuh, pikiran, dan lingkungan.
5. Sensitivitas perempuan adalah mekanisme adaptif

Tubuh perempuan sering dianggap ‘terlalu sensitif’ terhadap perubahan, padahal sensitivitas ini adalah mekanisme biologis yang adaptif. Badan Kesehatan Perempuan menekankan melalui laman resminya, bahwa fluktuasi emosi perempuan merupakan bagian dari sistem regulasi hormonal yang sehat.
Musim hujan memperlihatkan bagaimana tubuh merespons perubahan eksternal dengan cepat—bukan sebagai kelemahan, melainkan sebagai bentuk kewaspadaan biologis.
Emosi yang lebih intens di musim hujan bukan tanda kerusakan hormon, tetapi sinyal bahwa tubuh sedang menyesuaikan ritme internalnya dengan lingkungan.
Melihat sensitivitas sebagai kekuatan membantu kita berhenti menyederhanakan pengalaman biologis perempuan menjadi sekadar ‘hormonal’.
Musim hujan memang mengubah banyak hal, tetapi bukan dengan cara yang sering kita bayangkan. Hormon perempuan tidak melonjak drastis hanya karena hujan turun. Yang berubah adalah keseimbangan cahaya, suasana hati, ritme tidur, dan respons stres—semuanya saling terhubung dalam satu sistem tubuh yang kompleks.
Daripada menyebutnya mitos atau drama hormon, mungkin lebih adil menyebutnya sebagai bahasa tubuh yang sedang berbicara pelan-pelan. Dan seperti bahasa apa pun, ia layak didengar, bukan disalahkan.


















