DPRD Jateng Usul Tangani Anak Putus Sekolah Dengan Intervensi Terpadu

Semarang, IDN Times - Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah, Setya Ari Nugraha menyoroti pentingnya pendekatan alternatif dalam menangani persoalan anak putus sekolah di berbagai daerah khususnya di Banyumas Raya dan sekitarnya.
Ia menyebut bahwa isu pendidikan dasar tidak hanya soal akses fisik ke sekolah, tetapi juga menyangkut ekosistem sosial, ekonomi, dan psikologis anak serta keluarga.
“Kita tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan konvensional berupa imbauan kembali bersekolah. Banyak anak putus sekolah karena faktor ekonomi, tekanan sosial, bahkan kehilangan motivasi. Solusinya harus holistik dan manusiawi,” ujar Ari saat dimintai keterangan, Rabu,(05/11/2025).
1. Intervensi terpadu didorong antara pemda, sekolah dan dunia usaha

Pernyataan ini menjadi bagian dari rangkaian kerja legislatif yang sebelumnya telah mencatat bahwa hingga pertengahan 2025, sekitar 15.000 anak di Jawa Tengah telah berhasil difasilitasi kembali ke bangku sekolah melalui program penanganan anak tidak sekolah (ATS) yang turut didukung DPRD.
Ari menegaskan bahwa pencapaian tersebut adalah tanda baik, namun bukan akhir dari pekerjaan: masih banyak anak yang belum terlayani karena hambatan yang lebih kompleks.
Menurutnya, DPRD Jawa Tengah sedang mendorong model intervensi terpadu antara pemerintah daerah, sekolah, dunia usaha, dan lembaga sosial masyarakat. Salah satunya melalui program pendidikan fleksibel berbasis komunitas dan kelas vokasional terbuka yang bisa diakses anak-anak di luar sistem formal.
“Kita perlu hadirkan sekolah yang lebih dekat dengan realitas hidup anak-anak. Misalnya, mereka yang membantu orang tua bekerja tetap bisa belajar melalui sistem modul, daring, atau pusat belajar masyarakat,” jelas Ari.
2. Terdapat 48 ribu anak mengalami putus sekolah

Berdasarkan data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah tahun 2024, tercatat lebih dari 48.000 anak usia sekolah dasar dan menengah di provinsi ini mengalami putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan formal. Kabupaten Banyumas, Cilacap, dan Brebes menjadi wilayah dengan angka tinggi, dipengaruhi oleh faktor ekonomi keluarga, perkawinan dini, serta migrasi orang tua.
Pemerintah daerah dalam langkah kerjanya telah memperluas implementasi program Sekolah Kesetaraan Paket A, B, dan C berbasis digital, serta memperkuat kolaborasi dengan Balai Latihan Kerja (BLK) dan BUMDes sebagai sarana pelatihan keterampilan produktif bagi anak muda, sebagai upaya anak-anak yang terpaksa berhenti sekolah tetap punya masa depan.
Pendekatannya bukan sekadar mengembalikan mereka ke bangku sekolah, tapi menyiapkan jalur alternatif agar mereka tetap belajar dan berkembang.
3. Pendekatan alternatif bisa kembalikan semangat anak-anak

Setya menilai, persoalan anak putus sekolah harus ditangani melalui pendekatan kolaboratif lintas sektor.
Menurutnya, kolaborasi dengan dunia usaha dan industri lokal menjadi kunci karena sektor tersebut bisa membuka ruang magang atau pelatihan kerja bagi remaja non-formal tanpa meninggalkan hak belajarnya.
Ia juga menyoroti pentingnya peran pemerintah desa dan pendamping sosial pendidikan yang bisa melakukan pendataan berbasis rumah tangga serta memberikan dukungan psikososial bagi anak-anak yang kehilangan semangat belajar.
“Saya kira desa perlu punya database anak usia sekolah yang belum terlayani. DPRD akan mendukung regulasi agar setiap anak punya hak belajar, entah di sekolah formal, pendidikan kesetaraan, atau jalur keterampilan yang setara,” tegasnya.
Pendekatan alternatif penanganan anak putus sekolah diharapkan tidak hanya menyelesaikan angka statistik, tetapi juga mengembalikan kepercayaan diri dan semangat hidup anak-anak.
Ari menegaskan, pembangunan pendidikan harus menempatkan anak sebagai subjek, bukan sekadar objek kebijakan.
“Anak-anak ini bukan angka. Mereka masa depan bangsa. Kalau satu anak bisa kembali belajar, itu sudah sebuah kemenangan kecil yang sangat berarti,” tutupnya.
















