Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Sidang PPDS Undip Semarang: Bongkar Joki Tugas, Junior Bayar Rp88 Juta

Sidang kasus dugaan pemerasan dan kekerasan mental dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) di Pengadilan Negeri (PN) Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)
Sidang kasus dugaan pemerasan dan kekerasan mental dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) di Pengadilan Negeri (PN) Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)
Intinya sih...
  • Praktik pemerasan dan kekerasan mental di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Undip terungkap dalam sidang.
  • Dokter residen junior diminta membayar hingga Rp88 juta untuk menjoki tugas senior mereka, dengan dana berasal dari iuran para dokter junior.
  • Terungkap adanya "pasal dan tata krama anestesi" yang diwariskan dari senior ke junior, bersifat mutlak dan tidak bisa dibantah.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Semarang, IDN Times - Sidang kasus dugaan pemerasan dan kekerasan mental dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) menguak praktik yang mencengangkan. Dalam sidang itu terungkap, para dokter residen junior diminta membayar hingga Rp88 juta untuk menjoki tugas-tugas senior mereka.

1. Aliran uang dari iuran junior

Sidang kasus dugaan pemerasan dan kekerasan mental dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) di Pengadilan Negeri (PN) Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)
Sidang kasus dugaan pemerasan dan kekerasan mental dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) di Pengadilan Negeri (PN) Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)

Fakta itu terungkap dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Senin (26/5/2025), dengan terdakwa dr Zara Yupita Azra, residen angkatan 76 PPDS Anestesi FK Undip. Ia dituding melakukan pemaksaan terhadap para junior, termasuk dr Aulia Risma Lestari, residen angkatan 77 yang meninggal dunia pada Agustus 2024 karena diduga bunuh diri.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Kota Semarang, Shandy Handika, menjelaskan, dana untuk membayar joki berasal dari iuran para dokter junior.

"Ada dua tugas senior yang dijoki dengan biaya Rp11 juta dan Rp77 juta. Uang itu dikumpulkan oleh korban dan rekan-rekan angkatan 77," ungkapnya.

Tercatat, total iuran yang dikumpulkan oleh almarhumah Aulia Risma sebagai bendahara angkatan mencapai Rp864 juta pada tahun 2022. Selain untuk membayar joki tugas, uang itu juga digunakan untuk konsumsi harian para senior selama praktik, meski tidak tercantum dalam kebutuhan akademik resmi.

2. Tata krama khusus di anastesi

ilustrasi Fakultas Kedokteran Undip (youtube.com/FK-UNDIP)
ilustrasi Fakultas Kedokteran Undip (youtube.com/FK-UNDIP)

Lebih dari sekadar pemaksaan biaya, sidang juga mengungkap adanya “pasal dan tata krama anestesi” yang diwariskan dari senior ke junior. Doktrin yang disampaikan Zara lewat Zoom itu dianggap bersifat mutlak dan tidak bisa dibantah.

Beberapa poin doktrin tersebut antara lain:

  • Pasal 1: Senior selalu benar
  • Pasal 2: Bila senior salah, kembali ke pasal 1
  • Junior hanya boleh berkata "ya" dan "siap"
  • Yang enak hanya untuk senior
  • Jika dikasih enak, tanya kenapa
  • Jangan pernah mengeluh, semua sudah pernah merasakannya
  • Jika mengeluh, siapa suruh masuk anestesi.

3. Tekanan akademik menjadi ancaman

Sidang kasus dugaan pemerasan dan kekerasan mental dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) di Pengadilan Negeri (PN) Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)
Sidang kasus dugaan pemerasan dan kekerasan mental dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) di Pengadilan Negeri (PN) Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)

Tak hanya itu, tata krama lain pun diterapkan, seperti larangan berbicara lintas semester kecuali diminta, hingga pembatasan komunikasi antarangkatan yang ketat.

"Pasal-pasal ini bersifat dogmatis, mencerminkan sistem kekuasaan absolut antara senior dan junior," tegas Jaksa Shandy dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Muhammad Djohan Arifin.

Jaksa menilai praktik tersebut merupakan bentuk intimidasi terselubung. Penolakan terhadap sistem senioritas disebut dapat berdampak langsung pada kelulusan atau nasib akademik para residen.

"Doktrin dan tekanan semacam ini menimbulkan beban psikologis luar biasa. Junior tidak berani menolak karena takut dikucilkan atau tidak diluluskan," lanjut Shandy.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dhana Kencana
EditorDhana Kencana
Follow Us