Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

7 Fakta dibalik Layar Seorang Perintis dalam Keluarga, Harus Kuat!

ilustrasi sedang cemas (pexels.com/Liza Summer)
ilustrasi sedang cemas (pexels.com/Liza Summer)

Lahir dari keluarga ‘berada’ adalah sebuah keberuntungan yang memberikan dampak nyata pada anak. Kekayaan akan memberi banyak privilege bagi anak di masa depan, secara materi, fasilitas pendidikan, relasi, bahkan warisan bisnis. Berbeda dengan anak lain yang berasal dari kelas yang berbeda, kebanyakan dari mereka harus merintis dari 0 tanpa privilege besar dari keluarganya.

Sebagai perintis, berarti seseorang harus memulai semuanya dari awal sendiri untuk membuka jalan dalam meraih tujuan yang diharapkan, paling tidak untuk masa depan yang lebih baik. Karena dengan tidak memiliki privilege, suka tidak suka mereka harus bekerja lebih keras agar lebih cepat merasakan hasilnya. Dan banyak realita yang harus dihadapi seorang perintis di keluarga. Simak faktanya.


1. Kadangkala keluarga menuntut ‘hasil’ lebih cepat

ilustrasi lelah saat bekerja (pexels.com/Ron Lach)
ilustrasi lelah saat bekerja (pexels.com/Ron Lach)

Seharusnya keluarga adalah tempat nyaman dan menjadi pendukung nomor 1. Namun, terkadang ada keluarga toxic yang menjadi musuh dalam selimut. Mereka menuntut kita untuk bekerja lebih keras dan ingin segera ikut merasakan ‘hasilnya’ dengan egois. Perlakuan seperti ini terkadang justru datang dari orang terdekat, dan memiliki impact yang besar pada diri kita.

Sebagai perintis seringkali kita bisa juga hilang merasa arah dan sulit dalam menentukan pilihan yang ideal. Jadi, memburu-buru sesuatu tidak banyak membantu, sebaliknya membuat orang merasa terdesak. Sebab perintis mencari-cari peluang sendiri, trial n error, tidak semua perintis juga mendapat bimbingan. Jadi, daripada menuntut lebih baik mendoakan dan mendukung saja upayanya. 

2. Orang seringkali hanya berorientasi pada outputnya saja

ilustrasi sedang berpikir (pexels.com/Mikhail Nilov)
ilustrasi sedang berpikir (pexels.com/Mikhail Nilov)

Hasil atau output menunjukkan usaha dan kerja keras kita selama ini. Ibarat bukti, biasanya orang akan menanyakan ‘hasil’ dari apa yang kita kerjakan dalam bentuk nyata. Karena mengutamakan ‘hasil’ seringkali orang melupakan pentingnya proses. Seolah usaha kita selama ini tidak terlihat dan terasa sia-sia karena belum kelihatan hasilnya.

Fase ini juga disebut sebagai fase pembuktian, dimana seorang yang baru merintis ditekan dari berbagai sisi dan mempertanyakan semuanya pada kita. Sampai akhirnya, hal itu menjadi tekanan yang mengganggu. Sebab jika ingin hasil yang bagus, maka proses yang harus dilalui pun panjang, sehingga harus sabar melalui proses tersebut. 

3. Harus siap mendapat omongan yang tidak mengenakkan

ilustrasi bersedih (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
ilustrasi bersedih (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Merujuk dari poin sebelumnya, ujung-ujungnya karena output belum terlihat, kita harus siap menghadapi 1000 omongan tidak nyaman dari sekitar. Entah mereka yang terus menanyakan soal progres, atau memberi saran-saran klasik yang membangun sampai sendiri kita hafal. Padahal bisa jadi proses yang kita lalui masih belum works, karena kita pun baru memulai. 

Namun, kita tetap harus menjelaskannya, meski tidak nyaman dan sebenarnya kita tidak ingin membahasnya terus-terusan. Disaat omongan serta pemikiran orang tidak bisa kita kontrol, maka kita yang harus mengontrol diri. Inilah bagian dari hidup yang harus dilalui. Bertahanlah karena ini hanya sementara.

4. Tidak memiliki work life balance

ilustrasi sulit tidur (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi sulit tidur (pexels.com/cottonbro studio)

Banyak yang berpendapat, karena baru memulai kita tidak boleh memilih-milih pekerjaan, kita harus coba semuanya. Akibatnya, kita jadi tidak memiliki work life balance. Rata-rata orang dewasa menghabiskan waktunya untuk bekerja, dan sisa waktunya untuk quality time, dan istirahat. Kebanyakan dari kita hanya bisa menjalani 2 dari 3 atau bahkan 1 dari 3.

Seolah hidup hanya soal bekerja lalu istirahat, tidak ada waktu untuk quality time. Atau kerja dan bermain. Inilah mengapa orang tidak memiliki pola hidup yang tidak seimbang. Bagi orang yang baru merintis dan banyak ‘tuntutan’, seolah mereka tidak memiliki pilihan lain dan mustahil untuk memiliki work life balance.

5. Bekerja sesuai passion bukanlah opsi utama

Ilustrasi kewalahan akibat tekanan kerja (pexels.com/cottonbro studio)
Ilustrasi kewalahan akibat tekanan kerja (pexels.com/cottonbro studio)

Tidak semua orang punya keistimewaan untuk berkarir sesuai passion. Sebab tuntutan hidup lebih diutamakan dan kita juga harus bertahan. Orang yang baru merintis harus terbuka dengan semua opportunity yang ada, meski tidak sesuai passion. Mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu, bekerja sesuai passion bukan pilihan mereka.

Positifnya, kita jadi punya kesempatan untuk mencoba berbagai macam jenis pekerjaan, hingga akhirnya menemukan pekerjaan yang tepat. Anggaplah, pekerjaan yang kamu anggap berat saat ini merupakan batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaan impian di masa depan.

6. Kurangnya modal (ilmu, uang, dukungan, mentor)

ilustrasi anak sedang belajar (pexels.com/CDC)
ilustrasi anak sedang belajar (pexels.com/CDC)

Inilah yang paling mencolok antara orang yang ber-privilege dengan yang tidak, karena start mereka saat memulai tidak sama. Orang yang memiliki privilege modal contohnya, mereka akan menginvestasikan uang mereka untuk kursus tambahan, belajar bahasa, dan punya banyak pilihan rekreasi untuk healing. Start nya sama, tetapi output nya bisa beda. 

Bagi mereka yang berasal dari keluarga berada, mereka bisa saja membayar lebih untuk konsultasi karir yang membantu dalam mengambil keputusan. Modal awal sangat menunjang karir, bahkan masa depan seseorang. Paling tidak, kita harus punya modal, seperti ruang yang nyaman untuk menambah skill dan biaya akomodasi untuk mencari pengalaman-pengalaman kecil lainnya.

7. Lelah secara fisik dan mental

ilustrasi bersedih (pexels.com/Alex Green)
ilustrasi bersedih (pexels.com/Alex Green)

Di fase merintis ini adalah fase paling melelahkan secara fisik dan mental, karena belum jelas bagaimana kedepannya dan bagaimana kita melalui ini. Orang jadi tidak punya waktu untuk refreshing. Sebagai perintis banyak sekali yang kita korbankan untuk masa depan. Ada dorongan dalam diri yang mengatakan, inilah yang harus kita lakukan, dan ada rasa bersalah jika tidak maksimal.

Meski sepele, setidaknya perhatikan kesehatanmu dan jangan paksakan diri. Jika kurang istirahat minumlah suplemen tambahan dan makan makanan bergizi untuk menjaga imun tubuh. Tidak semua omongan orang harus diikuti dan ‘membuktikan’ semuanya cepat-cepat. Kamu boleh mengabaikannya jika mengganggu dan mengambil sisi positifnya.

Sekian, inilah bitter truth atau fakta dibalik layar seorang perintis yang dialami oleh banyak orang. Kebanyakan orang yang ada di posisi ini adalah anak muda, yang emosionalnya belum stabil, tetapi harus siap digempur oleh masa depan yang penuh ketidakadilan. Fase ini juga bisa disebut quarter-life crisis, dimana kita mulai mempertanyakan arti kehidupan atau bimbang terhadap masa depan.

Namun, tidak perlu khawatir, karena fase ini akan segera terlewati. Kita hanya perlu lebih fokus dan serius untuk menghadapinya, supaya masa depan lebih matang dan terarah. Jika dilalui sendiri sulit, carilah support system yang bisa mendukungmu dalam suka maupun duka. Karena bagaimanapun caranya, kita harus siap lahir batin untuk bertahan. Tetap semangat dan jangan berhenti!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Bandot Arywono
EditorBandot Arywono
Follow Us