Dari Ladang ke Catwalk, Upaya Semarang Kurangi Kerusakan Lingkungan Lewat Fesyen Berkelanjutan

Kampung Alam Malon jadi percontohan

Berkembangnya industri fashion ternyata berdampak serius terhadap lingkungan dan menjadi penyumbang emisi karbon terbesar setelah industri migas.

Data dari Sustain Your Style yang dipublikasikan pada tahun 2020 menyebutkan emisi gas karbon yang dihasilkan dari industri fashion yakni 4 kali lipat lebih banyak dibandingkan produksi pakaian 10 tahun lalu. Menghasilkan limbah dalam jumlah besar, mencemari air, dan juga jutaan pohon ditebang tiap tahunnya untuk industri ini.

Industri fesyen berkelanjutan yang produksinya menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan kini terus digalakkan.  

Baca Juga: Kenali Anomali Cuaca, Petani Jateng Diajari Mitigasi Perubahan Iklim

1. Kampung Alam Malon di Gunung Pati jadi prototipe fesyen berkelanjutan

Dari Ladang ke Catwalk, Upaya Semarang Kurangi Kerusakan Lingkungan Lewat Fesyen BerkelanjutanInstagram.com/batik_mahkotalaweyan01

Kota Semarang menjadi satu diantara kota kreatif dengan keunggulan fashion di Indonesia berkomitmen dalam hal sustainable fashion. Pitoyo Tri Susanto, Kepala Bidang Perencanaan Ekonomi Bappeda Kota Semarang menyebutkan salah satu upayanya dengan menjadikan Kampung Alam Malon di Kecamatan Gunung Pati menjadi percontohan pengembangan fesyen yang berkelanjutan di Semarang.

"Kita mempunyai prototipe area di Kampung Alam Malon, satu kawasan sentra produk batik warna alam, di sana juga punya IPAL sendiri sehingga aspek lingkungan juga memenuhi standar," katanya pada webinar Fesyen Berkelanjutan di Masa Pandemi Sabtu (31/10), dalam rangkaian Pekan Diplomasi Iklim Uni Eropa yang difasilitasi oleh EMPU, jaringan seluruh pelaku rantai nilai fesyen berkelanjutan.

Hasil batik dari Kampung Alam Malon sendiri telah mempunyai pangsa pasar baik di tingkat lokal bahkan sampai ke tingkat internasional, karena selain indah juga ramah terhadap lingkungan.   

Meski fesyen berkelanjutan belum masuk ke dalam rencana aksi daerah adaptasi perubahan iklim namun ke depan apa yang dilakukan di kampung alam Malon bisa menjadi prototipe yang bisa diduplikasi di daerah-daerah lainnya.

Potensi lain yang mendukung fesyen berkelanjutan di Semarang yakni pengembangan indigo atau pewarna alami yang diekstrak dari tanaman, "Pemerintah kota mempunyai lahan luas yang bisa untuk pemberdayaan sekaligus untuk pemahaman dampak dari perubahan iklim kepada masyarakat," katanya.

2. Manfaatkan serat alam dari ulat sutera pemakan daung singkong

Dari Ladang ke Catwalk, Upaya Semarang Kurangi Kerusakan Lingkungan Lewat Fesyen Berkelanjutanpixabay.com/mayapujiati

Valentina Estiningsih pemerhati fashion dan Redaktur Suara Merdeka Semarang menyebutkan ada banyak bahan baku yang bisa dimanfaatkan untuk fesyen berkelanjutan, salah satunya yang telah dipratekkan di Semarang yakni serat alam dari kepompong ulat sutera yang memakan daun singkong (Samia Cynthia Ricini).

"Selain sustainable pengembangbiakannya juga mudah, ini juga bisa menjadi penghasilan tambahan untuk masyarakat pedesaan. Hal yang sangat membantu bagi pengusaha kecil, mikro, menengah ataupun pengusaha-pengusaha yang sifatnya home industi," katanya.

3. Butuh kreativitas dan keberanian pelaku bisnis

Dari Ladang ke Catwalk, Upaya Semarang Kurangi Kerusakan Lingkungan Lewat Fesyen BerkelanjutanDok.IDN Times/Istimewa

Woro Srihastuti Sulistyaningrum Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga, Kementerian PPN/Bappenas dalam paparannya menyebutkan fesyen menghadapi tantangan lingkungan, sementara industri ini terkait erat dengan ekonomi dan pendapatan masyarakat.

Sebagai salah satu sektor ekonomi kreatif, fesyen memiliki tenaga kerja terbesar kedua setelah kuliner yakni sebesar 23,53 persen dari total tenaga kerja ekonomi kreatif di Indonesia yang mencapai 17,68 juta.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kondisi pandemik COVID-19 seperti saat ini, semakin membuat industri fesyen terpuruk. Diperkirakan sebesar 80 persen tenaga kerja yang dirumahkan atau mengalami PHK. “Dunia fesyen menghadapi tantangan lingkungan dan sosial ekonomi yang mendesak. Dibutuhkan kreativitas dan keberanian dari pelaku bisnis untuk mengubah paradigma dan pendekatan agar dampak terhadap lingkungan bisa dikurangi," ungkapnya.

4. Pandemik COVID-19 momentum tepat untuk busana berkelanjutan yang lebih ramah lingkungan

Dari Ladang ke Catwalk, Upaya Semarang Kurangi Kerusakan Lingkungan Lewat Fesyen BerkelanjutanWebsite

Tenik Hartono, Pemerhati Fesyen dan Penulis Budaya menyebutkan di masa pandemi COVID-19 pemenuhan kebutuhan pakaian untuk masyarakat menjadi back to basic lebih ke fungsional daripada membeli sebuah koleksi. "Dalam kondisi seperti ini sustainable fashion menjadi valid," katanya.

Fesyen yang berkelanjutan sebutnya tidak hanya ramah lingkungan dengan meminimalkan bahan kimia dan jejak karbon tapi juga etika bahan baku yang didapat tanpa kekerasan, bebas konflik, tidak diujicobakan pada binatang kesejahteraan pekerja di dalam industrinya.

5. Belajar dari masyarakat Lombok yang mengolah limbah menjadi kerajinan bernilai ekonomis tinggi

Dari Ladang ke Catwalk, Upaya Semarang Kurangi Kerusakan Lingkungan Lewat Fesyen Berkelanjutaninstagram.com/dw.tenungamplong

Upaya memanfaatkan limbah atau material sisa yang diolah menjadi produk fesyen telah berhasil dilakukan oleh para penenun di Pringga Selatan, Lombok Timur dan Sukarrara, Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Mereka memanfatkan benang sisa-sisa tenunan yang disambung menjadi sehelai yang kemudian dibuat menjadi Rerempeq (campur-campur).

Para penenun memanfatkan benang sisa-sisa saat penenun membuat kain, benang sisa yang hanya sejengkal disambung menjadi sehelai benang yang kemudian dibuat menjadi Rerempeq (campur-campur).

Zicko Haiziah Gazali dari Nine Penenun/Gema Alam yang melakukan pendampingan terhadap para penenun mengatakan awalnya Rerempeq ini dianggap tidak memiliki nilai ekonomis, "Dengan story telling dan membuka pasar lebih luas melalui jejaring salah satunya EMPU, saat ini Rerempeq memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Keunikannya terletak pada limbah benang karena itu warna yang dihasilkan tidak akan sama satu sama lain," katanya.

Di tengah pandemik, Rerempeq terbukti menjadi salah satu sumber penghasilan keluarga di sana. Meski ekonomi tengah sulit peminat Rerempeq tidak surut, pembelinya bahkan kebanyakan berasal dari luar negeri.

6. Kearifan lokal untuk fesyen berkelanjutan

Dari Ladang ke Catwalk, Upaya Semarang Kurangi Kerusakan Lingkungan Lewat Fesyen BerkelanjutanSebanyak 12 UMKM mitra binaan Pertamina di Wilayah Sumatra Bagian Selatan (Sumbagsel) berpartisipasi di ajang pameran virtual expo terbesar khusus UKM di Indonesia, SMEXPO 2020, yang digelar 9-11 September 2020. (IDN Times/Istimewa)

Chandrakirana Priyosusilo dari Sekar Kawung mengungkapkan belajar dari pengalaman masa lalu Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk fesyen berkelanjutan diantaranya yakni memanfaatkan landscape yang ada menghasilkan pangan dan sandang.

Salah satu upaya untuk itu yakni kembali memanfaatkan serat alam dari keanaka ragaman hayati dan fauna di Indonesia. Kekayaan alam Indonesia yang bisa dimanfaatkan sebagai serat alami diantaranya pohon Randu Alas, Widuri dan juga Gewang. Sementara untuk serat dari fauna banyak diantaranya berasal dari fauna yang berhabitat asli di hutan hujan tropis.

Bahkan menurutnya serat alam yang dimiliki Indonesia saat ini tengah hits di panggung sustainable fashion dunia.

Mendukung fashion yang berkelanjutan menurutnya dengan pola pikir slow fashion atau fesyen yang bermartabat dan berdaya hidup, kearifan lokal seperti masyarakat sumba Timur bisa menjadi inspirasi, yakni pakaian yang mereka buat sendiri dan mereka kenakan sendiri.

"Bagaimana produksi pangan dan sandang itu bisa dihasilkan dari landscape yang sama secara sustainable seperti yang dilakukan oleh budaya-budaya lokal Indonesia di zaman dulu, satu lahan bisa menghasilkan fashion, pangan, papan bahkan obat-obatan," katanya. Diperlukan harmonisasi dari berbagai pihak yakni pemerintah maupun stake holder terkait untuk bisa mewujudkannya.

Pekan Diplomasi Iklim 2020 berlangsung mulai 24 Oktober hingga 6 November mendatang, terdiri dari serangkaian kegiatan webinar, talkshow, pertunjukkan film, demo masak, fashion show hingga penyulingan kopi, yang merupakan cara kreatif Uni Eropa dalam mengampanyekan perubahan iklim. Tahun ini, Uni Eropa berkolaborasi dengan pemerintah Indonesia, 8 kedutaan besar negara-negara anggota Uni Eropa dan lebih dari 100 organisasi not-profit, kelompok pemuda, perwakilan komunitas, sektor swasta, selebriti dan opinion leader serta penggiat lingkungan.

Baca Juga: Produk Fesyen Indonesia Diminati di Rusia

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya