Pembangunan PLTS 100 GW, Yakin Bisa Swasembada Energi?

- Pemerintah akan membangun PLTS 100 GW untuk swasembada energi dan ekonomi nasional.
- Program ini diapresiasi karena potensi energi surya Indonesia yang besar dan manfaat lingkungan serta ekonominya.
- Tantangan pemilihan lokasi, ketersediaan tenaga kerja terampil, dan koordinasi lintas sektor harus diantisipasi.
Semarang, IDN Times — Pemerintah bakal membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) raksasa berkapasitas 100 Gigawatt (GW) untuk memperkuat swasembada energi sekaligus mendorong kebangkitan ekonomi nasional, terutama di pedesaan. Proyek tersebut mencakup pembangunan 80 GW PLTS dan 320 GWh Battery Energy Storage System (BESS) yang dikelola Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) di 80 ribu desa, serta 20 GW PLTS terpusat.
Program itu diklaim sejalan dengan visi Asta Cita Presiden Prabowo Subianto dan diharapkan mampu menyediakan listrik andal, terjangkau, dan merata di seluruh pelosok negeri.
1. Ada potensi dan peluang yang besar
Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi inisiatif Presiden Prabowo. Menurut CEO IESR, Fabby Tumiwa, proyek tersebut cukup strategis mengingat potensi energi surya Indonesia, antara 3.300 GW hingga 20.000 GW tersebar dari Sabang sampai Merauke.
“Jika terlaksana dengan baik, proyek ini akan menjadi program elektrifikasi desa dan pembangkit energi terbarukan terdistribusi terbesar di Asia Tenggara, sekaligus menyediakan energi yang berkualitas, merata, dan terjangkau,” kata Fabby dilansir keterangan resminya, Senin (11/8/2025).
Fabby menilai, program itu bisa menyelesaikan tiga tantangan besar energi di Indonesia. Mulai dari memperluas akses listrik berkualitas di desa yang selama ini tertinggal dari kota, menggantikan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) sehingga mengurangi biaya produksi dan subsidi listrik, hingga meningkatkan bauran energi terbarukan untuk menekan emisi gas rumah kaca.
Selain manfaat lingkungan, Fabby menekankan efek ekonomi yang signifikan dari proyek tersebut. PLTS skala besar itu ia yakini bakal menyerap produksi modul surya dan baterai dalam negeri, memacu investasi di rantai pasok teknologi energi surya, dan menciptakan lapangan kerja hijau. Akses listrik yang andal di desa juga diyakini akan menggerakkan ekonomi lokal dan mendukung pertumbuhan inklusif.
2. IESR petakan tiga tantangan utama

Meski potensinya besar, IESR mengingatkan ada tiga tantangan krusial yang harus diantisipasi. Fabby menyebutkan, antara lain soal pemilihan lokasi yang tepat.
"Penentuan lokasi harus mempertimbangkan kondisi geografis, kebutuhan beban listrik, dan kelayakan teknis serta finansial. Perguruan tinggi, terutama fakultas teknik, perlu dilibatkan untuk merancang sistem modular yang bisa dipasang cepat (plug and play)," ungkapnya.
Selain itu, juga soal ketersediaan tenaga kerja terampil. Menurutnya, membangun 1 MW PLTS dan 4 MWh BESS membutuhkan 30--50 tenaga kerja selama 9–12 bulan, mulai dari persiapan hingga pengujian akhir.
Fabby mengatakan, saat ini tenaga kerja terampil masih terbatas dan belum merata di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah perlu memetakan kebutuhan tenaga kerja dan menyiapkan pemasang bersertifikat melalui Balai Latihan Kerja, sekolah vokasi, dan perguruan tinggi, sambil melibatkan warga lokal.
Terakhir mengenai koordinasi lintas sektor. Implementasi proyek itu memerlukan koordinasi antara kementerian, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat. IESR menyarankan proyek ini ditetapkan sebagai Program Strategis Nasional (PSN) dengan pembentukan Satuan Tugas dan Project Management Unit (PMU) untuk mengelolanya secara profesional.
3. Memperkuat posisi Indonesia

Fabby menegaskan lagi soal pentingnya pelibatan masyarakat desa dalam setiap tahap proyek. Mulai dari perencanaan, pengelolaan, hingga pemanfaatan, agar mereka turut merasakan manfaat ekonomi. Perlindungan hak atas tanah dan sumber daya alam juga harus dijamin sejak awal.
“Pendekatan partisipatif, ramah HAM, dan bebas korupsi harus menjadi prinsip utama agar transisi energi benar-benar memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat,” ujar Fabby.
Dengan kapasitas 100 GW, proyek tersebut berpotensi menjadi tonggak transisi energi Indonesia. Tidak hanya menciptakan lapangan kerja, meningkatkan akses energi, dan memperkuat industri dalam negeri, proyek itu juga bisa menjadi aksi mitigasi penting dalam Second National Determined Contribution (SNDC) untuk menekan risiko krisis iklim.