Aptrindo Semarang Tolak Dijadikan Objek Adu Domba Praktik ODOL

Intinya sih...
Aptrindo Tanjung Emas Semarang menolak praktik ODOL di lapangan.
Mereka mendesak pemerintah untuk membenahi aturan transportasi logistik.
Aptrindo menolak kebijakan ODOL dan menuntut perbaikan aturan tersebut.
Semarang, IDN Times - Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Tanjung Emas Semarang menolak dijadikan objek adu domba atas praktik over dimension over load (ODOL) di lapangan. Mereka mendesak pemerintah untuk membenahi aturan transportasi logistik dan menolak soal kebijakan over dimension over load (ODOL).
1. Kebijakan ODOL hanya fokus pada pemilik truk dan pengemudi
Sekretaris DPC Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Tanjung Emas Semarang, Tanuel Agustia mengatakan, selama ini kebijakan dan penindakan ODOL hanya difokuskan kepada pemilik truk dan pengemudi. Padahal akar masalah utama berasal dari pemilik barang atau pengguna jasa yang memberikan tekanan kepada pengusaha angkutan untuk mengangkut melebihi kapasitas demi menekan biaya logistik.
“Maka, kami menolak dijadikan objek adu domba di lapangan dan mendesak agar pemerintah mulai melibatkan pemilik barang sebagai pihak yang ikut bertanggung jawab secara hukum dalam praktik ODOL,” katanya saat dikonfirmasi, Sabtu (28/6/2025).
Selain itu, mekanisme pasar dalam penetapan tarif logistik juga harus dievaluasi. Sebab, diketahui sistem tarif logistik saat ini sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar bebas sesuai UU No. 22 Tahun 2009.
Namun pada praktiknya, hal ini menciptakan persaingan tidak sehat dan memaksa pelaku usaha untuk mengambil risiko ODOL agar tetap dapat bertahan.
2. Regulasi JBI dan JBB sudah kadaluarsa
“Kami meminta pemerintah segera menetapkan batas bawah tarif angkutan barang nasional yang adil, rasional, dan berdasarkan struktur biaya riil agar tidak ada lagi tekanan ekstrem dari pemilik barang,” kata Tanuel.
Terkait praktik ODOL ini, Aptrindo juga menyoroti terkait regulasi jumlah berat yang diizinkan (JBI) dan jumlah berat bruto (JBB). Regulasi tersebut dinilai sudah kadaluarsa.
Tanuel mengatakan, regulasi teknis mengenai JBI dan JBB saat ini tidak lagi sesuai dengan perkembangan teknologi kendaraan. Truk modern telah berkembang jauh lebih canggih dan kuat dibandingkan standar teknis lama yang masih digunakan pemerintah.
“Kami mendesak agar pemerintah segera merevisi standar JBI, JBB dan sistem KIR dengan mempertimbangkan kemampuan teknis kendaraan saat ini, agar tidak terjadi ketimpangan antara regulasi dan realita operasional,” jelasnya.
3. Penataan ulang sistem KIR
Selanjutnya, Aptrindo juga mendorong penataan ulang sistem KIR dan sertifikasi beban. Sebab, saat ini sudah era digitalisasi, sehingga sistem KIR harus lebih transparan.
“Kami mendorong digitalisasi dan transparansi sistem KIR, serta penerapan pengukuran beban dari titik muat, bukan hanya di jembatan timbang, agar pengawasan ODOL dapat dilakukan dari hulu ke hilir secara konsisten dan terukur,” terang Tanuel.
Terakhir, pemerintah perlu mengatur skema joint liability, di mana seluruh pihak yang terlibat dalam proses angkutan (pemilik barang, pengemudi, operator) memiliki tanggung jawab hukum atas pelanggaran ODOL.
4. Buat daftar hitam bagi pelaku usaha yang melanggar
“Kami juga mendorong agar pemerintah memberikan sertifikasi dan insentif kepada pemilik barang yang patuh, serta membuat daftar hitam bagi pelaku usaha yang terbukti memaksa operator untuk melanggar,” tegasnya.
Aptrindo mendukung upaya pemerintah dalam menciptakan sistem transportasi yang adil, aman, dan efisien. Namun, penegakan hukum terhadap ODOL harus dilakukan secara menyeluruh, menyasar semua pihak secara adil, dan diiringi dengan revisi sistem tarif, regulasi teknis, serta pendekatan sistemik terhadap pelaku industri logistik.
“Kami siap menjadi mitra strategis pemerintah untuk menyusun kebijakan yang relevan dengan dinamika industri dan kebutuhan nasional,” tandas Tanuel.