Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Jemput Bola Deteksi TBC: Strategi Selamatkan Nyawa dan Triliunan Rupiah

Kegiatan Penemuan Kasus Aktif (Active Case Finding/ACF) untuk skrining kasus Tuberkulosis (TBC) di Kota Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)
Kegiatan Penemuan Kasus Aktif (Active Case Finding/ACF) untuk skrining kasus Tuberkulosis (TBC) di Kota Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)
Intinya sih...
  • Jutaan warga Indonesia terperangkap dalam cengkeraman silent killer bernama TBC, dengan angka kematian mencapai 125 ribu hingga 134 ribu orang per tahun.
  • Program Active Case Finding (ACF) untuk deteksi TBC gratis menjadi solusi atas keterbatasan sistem JKN yang hanya menanggung biaya pemeriksaan bagi pasien yang sudah menunjukkan gejala atau terkonfirmasi TBC.
  • Program ACF membuktikan bahwa pendekatan proaktif dalam kesehatan masyarakat bukan hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga menghemat miliaran rupiah dan membangun fondasi masyarakat yang lebih sehat dan produktif.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Semarang, IDN Times — Dada Jocelin Putra terasa sesak saat pertama kali mengikuti skrining Tuberkulosis (TBC) di Kelurahan Gunungpati, Semarang, Kamis (22/5/2025). Bukan sesak karena sakit, melainkan cemas. 

Ayah dua anak berusia 35 tahun itu membayangkan jika dirinya atau putri bungsunya, Celine Edelwis, dinyatakan positif TBC. Biaya pengobatan berbulan-bulan menjadi momok yang menghantui pikirannya.

Namun kekhawatiran itu sirna setelah petugas Puskesmas Gunungpati menjelaskan jika seluruh pengobatan TBC ditanggung sepenuhnya oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS Kesehatan.

"Saya sempat bingung dan kepikiran terus karena pengobatannya ini kan lama, ya. Pastinya mahal. Tapi tadi sudah dikasih tahu sama petugas kalau semuanya ditanggung BPJS Kesehatan. Ya, Alhamdulillah, saya jadi tenang," kata Jocelin dengan nada lega.

Ya, kisah Jocelin merepresentasikan jutaan warga Indonesia yang masih terperangkap dalam cengkeraman silent killer bernama TBC. Berdasarkan Global TB Report 2023 yang dirilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia mencatat angka mengejutkan: 1.060.000 hingga 1.090.000 kasus baru TBC setiap tahunnya, dengan angka kematian mencapai 125 ribu hingga 134 ribu orang per tahun. Artinya, setiap jam ada 14 orang meninggal akibat penyakit yang sebenarnya dapat dicegah dan diobati tersebut.

"Setiap jam, 14 orang meninggal karena TBC di Indonesia. Kita harus bergerak bersama. Jika tidak dimulai sekarang, target eliminasi 2030 akan sulit tercapai," tegas Direktur Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Ina Agustina, saat temu media, Senin (24/3/2025).

Posisi Indonesia sebagai negara dengan beban TBC terbesar kedua di dunia setelah India  juga bukan sekadar angka statistik. Di balik kondisi itu terdapat jutaan keluarga yang terpuruk secara ekonomi, anak-anak yang kehilangan orangtua, dan potensi generasi produktif yang tergerus penyakit. Oleh karena itu, dampaknya bersifat multidimensi, tidak hanya pada kesehatan, namun juga secara psikologis, sosial, dan ekonomi.

Menunggu Sakit atau Menjemput Sehat?

Kegiatan Penemuan Kasus Aktif (Active Case Finding/ACF) untuk skrining kasus Tuberkulosis (TBC) di Kota Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)
Kegiatan Penemuan Kasus Aktif (Active Case Finding/ACF) untuk skrining kasus Tuberkulosis (TBC) di Kota Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)

Selama ini, penanggulangan TBC masih mengandalkan pendekatan pasif, yakni menunggu pasien datang ke fasilitas kesehatan ketika gejala sudah parah. Strategi tersebut terbukti tidak efektif karena banyak penderita TBC tidak menyadari kondisinya dan terus menularkan penyakit kepada orang-orang terdekat. Kontak erat atau yang serumah dengan pasien TBC menjadi kelompok paling rentan. Sayang, mereka seringkali luput dari pemeriksaan.

Keterbatasan sistem JKN memperumit situasi tersebut. Menurut Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2ML) Dinas Kesehatan Kota Semarang, Anggun Dessita Wandastuti, JKN hanya menanggung biaya pemeriksaan bagi pasien yang sudah menunjukkan gejala atau terkonfirmasi TBC. Untuk kelompok kontak erat tanpa gejala belum mendapatkan akses pemeriksaan rontgen melalui skema JKN.

"Itulah sebabnya kami mengusulkan adanya program ACF (Active Case Finding atau Penemuan Kasus Aktif) untuk deteksi TBC gratis. Karena kontak erat yang belum bergejala tidak bisa mendapatkan layanan X-ray lewat JKN," ungkap Anggun kepada IDN Times, Kamis (22/5/2025).

Kesenjangan tersebut yang dijembatani oleh program ACF, yang merupakan bagian integral dari program Cek Kesehatan Gratis (CKG) yang digulirkan Kementerian Kesehatan sejak Februari 2025. Program CKG sendiri telah dimanfaatkan oleh lebih dari 30—50 juta warga di 38 provinsi (per November 2025), yang melibatkan 9.552 puskesmas dengan alokasi anggaran sebesar Rp3,4 triliun dalam APBN 2025.

"Jauh lebih mudah dan murah menjaga kesehatan dibanding mengobati penyakit. Hidup sehat itu investasi masa depan, bukan sekadar urusan medis," ujar Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin, dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (12/6/2025).

Teknologi AI dan Mobilitas Jadi Kunci

Kegiatan Penemuan Kasus Aktif (Active Case Finding/ACF) untuk skrining kasus Tuberkulosis (TBC) di Kota Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)
Kegiatan Penemuan Kasus Aktif (Active Case Finding/ACF) untuk skrining kasus Tuberkulosis (TBC) di Kota Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)

Program ACF di Kota Semarang menghadirkan terobosan signifikan. Pada tahun 2025, program tersebut mendapat bantuan satu unit X-ray portabel dari Uni Emirat Arab (UEA) yang dilengkapi dengan teknologi kecerdasan buatan (AI). Alat itu mengubah paradigma skrining TBC secara fundamental.

Berbeda dengan X-ray statis di rumah sakit, alat portabel tersebut jauh lebih ringkas, memiliki radiasi minimal, dan dapat digunakan di berbagai lokasi dengan jarak aman minimal dua meter. Keunggulan utamanya terletak pada hasil pemeriksaan yang langsung keluar dalam format digital (PDF) dan otomatis terhubung dengan Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB), sistem pemantauan nasional.

"Dulu, di tahun 2024, kami harus menyewa mobil khusus berpelindung radiasi, dan interpretasi hasil X-ray sepenuhnya bergantung pada dokter radiologi. Kini, dengan AI, hasilnya bisa langsung diketahui. Jika diperlukan konsultasi lebih lanjut, barulah dokter radiologi dihubungi," jelas Anggun, menyoroti efisiensi yang ditawarkan teknologi baru tersebut.

Sejak Maret 2025, tim Dinas Kesehatan Kota Semarang telah melaksanakan 30 kali kegiatan skrining ACF gratis di 16 kecamatan. Hingga pertengahan Mei 2025, sebanyak 2.700 orang menjalani proses skrining. Hasilnya mengejutkan: sekitar satu persen atau 27 individu dinyatakan positif TBC.

Seluruh pasien yang terdiagnosis langsung dirujuk untuk memulai pengobatan standar selama enam bulan, yang diawasi secara ketat oleh puskesmas setempat. Pengawasan tersebut krusial untuk memastikan kepatuhan pasien mengonsumsi obat hingga tuntas.

"Pengawasan ini penting agar pasien patuh mengonsumsi obat hingga tuntas. Banyak yang berhenti minum obat karena merasa sembuh, padahal itu bisa menimbulkan resistensi obat dan memperumit pengobatan di kemudian hari," tegas Anggun.

Menyelamatkan Nyawa Sekaligus Miliaran Rupiah

Kegiatan Penemuan Kasus Aktif (Active Case Finding/ACF) untuk skrining kasus Tuberkulosis (TBC) di Kota Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)
Kegiatan Penemuan Kasus Aktif (Active Case Finding/ACF) untuk skrining kasus Tuberkulosis (TBC) di Kota Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)

Program ACF bukan sekadar upaya kesehatan, melainkan investasi ekonomi strategis. Dengan mendeteksi kasus TBC lebih dini, sebelum gejala memburuk atau komplikasi berkembang, program tersebut secara nyata membantu menekan beban pembiayaan kesehatan, khususnya klaim besar BPJS Kesehatan.

Perhitungan ekonomi menunjukkan perbedaan mencolok antara dua skenario penanganan. Tanpa ACF, pasien yang terdiagnosis saat sudah parah memerlukan biaya mencapai Rp13,5 juta per orang, mencakup diagnosis (Rp1,5 juta), pengobatan (Rp2,5 juta), rawat inap (Rp7 juta), obat tambahan untuk komplikasi (Rp2 juta), dan pemantauan lanjutan (Rp500 ribu).

Sebaliknya, jika dengan ACF, pasien yang terdeteksi dini hanya memerlukan biaya Rp3,8 juta per orang, terdiri dari diagnosis (Rp1 juta), pengobatan (Rp2,5 juta), dan pemantauan lanjutan (Rp300 ribu). Tidak ada biaya rawat inap atau obat tambahan karena kondisi pasien masih stabil.

Apabila ACF berhasil mendeteksi 1.000 pasien secara dini, potensi penghematan mencapai Rp9,7 miliar. Bahkan setelah dikurangi biaya operasional ACF sebesar Rp500 juta, penghematan bersih masih mencapai Rp9,2 miliar.

"Pasien yang didiagnosis TBC lebih awal umumnya masih dalam kondisi stabil. Biaya pengobatannya pun relatif rendah dibandingkan pasien yang baru diketahui mengidap TBC pada tahap lanjut," ungkap Anggun.

Dengan menurunnya klaim besar dari pasien TBC stadium lanjut, kesehatan finansial BPJS Kesehatan ikut terjaga. Hal tersebut penting agar program JKN tetap berkelanjutan dan mampu terus menanggung pengobatan masyarakat tanpa memaksa warga membayar biaya sendiri (out-of-pocket).

Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati

Dokter Spesialis Paru dari Rumah Sakit Persahabatan yang juga menjadi Peneliti Vaksin TBC, Erlina Burhan. (Dok. IDN Times)
Dokter Spesialis Paru dari Rumah Sakit Persahabatan yang juga menjadi Peneliti Vaksin TBC, Erlina Burhan. (Dok. IDN Times)

Program ACF juga mengedepankan aspek preventif. Warga dengan hasil X-ray negatif atau tidak menunjukkan gejala, namun memiliki riwayat kontak erat dengan pasien TBC, akan direkomendasikan untuk menjalani terapi pencegahan TBC. Terapi ini bertujuan melindungi individu berisiko tinggi sebelum mereka benar-benar jatuh sakit.

"Infeksi TBC tidak selalu langsung menimbulkan gejala. Bisa saja diam dalam tubuh dan aktif di kemudian hari. Dengan terapi pencegahan, diharapkan kuman TBC dapat dimatikan sebelum berkembang menjadi penyakit aktif," urai Anggun.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) dan pakar TBC nasional, Prof Erlina Burhan menyatakan, pentingnya terapi pencegahan dalam gerakan mengatasi TBC.

"TPT (Terapi Pencegahan Tuberkulosis) itu adalah pengobatan yang diberikan kepada seseorang yang terinfeksi kuman Mycobacterium tuberculosis dan berisiko sakit TBC. Dampaknya dapat mengurangi risiko TBC sebesar 24–86 persen pada seluruh populasi berisiko termasuk yang terdiagnosis TBC laten," jelas Prof. Erlina.

Kelompok sasaran skrining ACF beragam. Mulai dari kontak erat pasien TBC, pasien diabetes melitus, pasien HIV, perokok aktif, hingga penderita masalah gizi.

"Perokok aktif, misalnya, memiliki risiko lebih tinggi untuk tertular TBC," tambah Anggun.

Kolaborasi Menuju Eliminasi 2030

x-ray tuberkulosis (medscape.com)
x-ray tuberkulosis (medscape.com)

Keberhasilan program ACF di Semarang tidak lepas dari sinergi berbagai pihak. Kota Semarang merupakan satu dari 25 daerah di 8 provinsi di Indonesia yang ditunjuk Kementerian Kesehatan untuk menjalankan program ACF. Dukungan pemerintah daerah, tenaga kesehatan, dan partisipasi masyarakat menjadi kunci keberhasilan.

Namun, tantangan masih menghadang. Harga per unit alat X-ray portabel mencapai Rp3–4 miliar, sehingga belum semua daerah dapat memilikinya. 

Anggun berharap Pemerintah Kota Semarang dapat memiliki alat X-ray portabel sendiri untuk memperluas jangkauan skrining.

"Jika di puskesmas ditemukan kontak serumah yang memerlukan pemeriksaan X-ray, namun tidak dapat dirujuk melalui JKN, kami berharap alat ini bisa dimanfaatkan langsung oleh masyarakat," harapnya.

Direktur Jenderal (Dirjen) Kesehatan Primer dan Komunitas Kemenkes, Maria Endang Sumiwi menekankan pentingnya memperkuat penemuan kasus dengan pemanfaatan teknologi.

"Kami terus memperkuat penemuan kasus dengan pemanfaatan teknologi seperti X-ray portable, Tes Cepat Molekuler, dan PCR, serta memberikan insentif dan SKP bagi tenaga kesehatan yang terlibat," jelas Maria.

Pemerintah sendiri menargetkan eliminasi TBC pada tahun 2030, dengan penurunan angka kejadian menjadi 65 kasus per 100.000 penduduk dan angka kematian menjadi 6 jiwa per 100.000 penduduk. Pada 2025, target nasional yang harus dicapai meliputi 90 persen deteksi kasus, 100 persen inisiasi pengobatan, serta tingkat keberhasilan pengobatan di atas 80 persen.

Bakteri Mycobacterium tuberculosis. (hsph.harvard.edu)
Bakteri Mycobacterium tuberculosis. (hsph.harvard.edu)

Anggun menyebutkan, investasi dalam pencegahan penyakit melalui deteksi dini merupakan langkah strategis yang tidak saja menekan beban pembiayaan negara, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara luas.

"Warga yang sehat, tidak terbebani biaya besar, tentu bisa lebih produktif baik di tempat kerja, sekolah, beraktivitas maupun saat kegiatan di lingkungan sosial," ujarnya.

Dampak domino tersebut menjadikan program ACF sebagai salah satu model pencegahan yang tidak sekadar menyelamatkan individu, melainkan ikut memperkuat ketahanan sistem kesehatan nasional dan daya tahan ekonomi masyarakat. Masyarakat dapat terlindungi dari risiko pengeluaran besar yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi keluarga, bahkan mendorong mereka ke jurang kemiskinan.

Antusiasme warga terhadap program tersebut terlihat jelas. Jonathan (42), salah seorang warga Kota Semarang, menyampaikan apresiasinya.

"Saya penasaran ingin memeriksakan. Karena sempat ada masalah dada. Saya periksa, dan hasilnya cepat pakai alat X-ray, langsung tahu TBC atau tidak. Layanannya juga gratis dan tidak sulit, bisa daftar cuma pakai KTP saja," ujarnya merasa lega dengan hasil pemeriksaan cepat.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dhana Kencana
EditorDhana Kencana
Follow Us

Latest News Jawa Tengah

See More

Jemput Bola Deteksi TBC: Strategi Selamatkan Nyawa dan Triliunan Rupiah

19 Nov 2025, 22:22 WIBNews