Semarang, IDN Times - Ratusan pengemudi ojek online (ojol) dari berbagai komunitas yang tergabung dalam Koalisi Ojol Nasional (KON) mendesak pemerintah agar tidak mempolitisasi keberadaan mitra pengemudi. Mereka melakukan aksi demonstrasi di depan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) beberapa waktu lalu.
Koalisi Ojol Nasional Desak Pemerintah Hentikan Politisasi Pengemudi

1. Kepentingan elit manfaatkan ojol
Aksi ini dilakukan untuk menyuarakan keresahan mendalam para mitra pengemudi atas berbagai kebijakan dan narasi publik yang dinilai menyesatkan, memecah belah, dan mempolitisasi keberadaan ojol.
Ketua Presidium KON, Andi Kristianto mengatakan, pihaknya resah karena isu pengemudi ojol belakangan ini bukan lagi sekadar persoalan kesejahteraan atau perlindungan, tapi telah berubah menjadi alat komoditas politik oleh sejumlah pihak yang tidak memahami akar persoalan di lapangan.
“Yang perlu kita ketahui, ojol sedang tidak baik-baik saja. Banyak kepentingan elit
yang memanfaatkan ojol dengan cara membelah-belah kami demi kepentingan
pribadi dan kelompoknya,” tegasnya dalam keterangan resmi, Minggu (11/5/2025).
Menurutnya, isu-isu seperti THR, jaminan pensiun, hingga desakan perubahan status menjadi pekerja tetap, kerap muncul bukan dari aspirasi asli komunitas pengemudi, tetapi digulirkan oleh kelompok tertentu demi pencitraan atau kepentingan elektoral.
2. Pengemudi ojol kerap dijadikan panggung politik
Menurut Andi, pengemudi ojol kerap dijadikan panggung, tetapi tidak pernah dilibatkan secara sejati dalam proses pengambilan keputusan.
“Kita bukan panggung politik. Kita bukan properti narasi. Jangan jadikan driver ojol
sebagai alat untuk meraih dukungan, menambah suara, atau memperkuat posisi
tawar di politik nasional,” katanya.
Untuk diketahui, sejak awal para pengemudi sadar bahwa hubungan kerja mereka bersifat kemitraan, dan bukan sebagai buruh formal. Namun, selama ini sistem kemitraan itu belum didukung oleh regulasi yang memadai, sehingga menempatkan driver dalam posisi yang serba tidak pasti.
“Kami tahu dari awal, saat mendaftar, status kami adalah mitra. Tapi yang kami
sayangkan, sampai sekarang belum ada aturan yang menjamin kemitraan ini adil
dan seimbang. Kami tidak ingin jadi buruh, tapi juga tidak mau terus-menerus jadi
mitra yang dirugikan,’’ jelas Andi.
3. Perubahan status kerja pengemudi bukan solusi
Dalam konteks ini, dia menilai bahwa narasi elit soal perubahan status kerja pengemudi
bukanlah solusi—melainkan jebakan yang justru berpotensi merugikan banyak pihak,
khususnya driver yang sudah tidak memenuhi kriteria usia kerja formal.
“Kalau dipaksa masuk ke sistem ketenagakerjaan formal, bagaimana nasib driver
berusia lanjut? Apakah mereka harus tersingkir? Apakah keluarga mereka akan
tetap bisa bertahan?,” ujarnya.
Andi juga menyinggung soal pernyataan-pernyataan publik dari pejabat negara yang
dianggap menyesatkan dan memicu kebingungan di kalangan driver.
4. Ojol minta Kemenaker susun regulasi yang adil
“Kami tidak butuh janji kosong. Yang kami perlukan adalah sikap yang konsisten
dan bertanggung jawab. Jangan membuat gaduh dengan ucapan tanpa dasar.
Kalau ucapan sudah dibuat di ruang publik, maka seharusnya punya keberanian
untuk dievaluasi secara terbuka,” kata Andi.
Ia juga mengingatkan agar Kementerian Ketenagakerjaan tidak memaksakan para mitra
pengemudi untuk masuk dalam kerangka hubungan industrial yang tidak sesuai dengan praktik kemitraan digital.
‘’Jika pemerintah sungguh ingin membantu driver, hentikan pendekatan politis, dan mulailah menyusun regulasi yang adil dan berpihak, dengan melibatkan komunitas pengemudi sebagai subjek utama,’’ tandasnya.