Marak Penculikan Anak dan KDRT Picu Kasus Kekerasan di Semarang Naik

- Maraknya kasus penculikan dan kekerasan terhadap anak memicu kenaikan jumlah kasus kekerasan di Semarang.
- Kondisi ini mendorong orang tua dan sekolah untuk meningkatkan pengawasan terhadap anak di rumah maupun sekolah.
- Situasi ini menuntut perhatian lebih dalam upaya perlindungan anak dari tindak kekerasan.
Semarang, IDN Times - Maraknya kasus penculikan dan kekerasan terhadap anak beberapa waktu belakangan ini memicu kenaikan jumlah kasus kekerasan di Kota Semarang. Kondisi itu mendorong agar orang tua dan sekolah lebih meningkatkan pengawasan kepada anak baik di rumah maupun sekolah.
1. Terdapat 172 kasus kekerasan sepanjang 2025

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang mencatat sepanjang tahun 2025 atau hingga bulan September 2025, sudah ada 172 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kasus kekerasan terhadap anak didominasi kasus penculikan dan pelecehan.
Plt. Kepala DP3A Kota Semarang, dokter Noegroho Edy Rijanto mengatakan, sebagian besar kasus kekerasan terhadap anak terjadi setelah jam sekolah berakhir, ketika anak-anak tidak lagi berada di bawah pengawasan guru maupun orang tua. Misalnya, yang terjadi belum lama ini, yakni kasus penculikan pada dua siswa SD di Gunungpati dan Bulu Lor, Kota Semarang.
“Kasus penculikan atau pelecehan itu terjadi setelah anak pulang sekolah. Saat itu mereka sudah tidak dalam pengawasan sekolah maupun orang tua. Pelaku memanfaatkan situasi itu,” ungkapnya, Minggu (19/10/2025).
2. DP3A gandeng aparat penegak hukum

Dalam hal tersebut, kata Edy, dibutuhkan peran orang tua atau keluarga untuk memastikan anak tidak menjadi sasaran kejahatan atau kekerasan di luar rumah. Sebab, pengawasan anak bukan hanya tanggung jawab sekolah.
Menanggapi kasus itu, DP3A berupaya untuk memperkuat langkah pencegahan dan penanganan dengan menggandeng aparat penegak hukum dan lembaga pendidikan. Kolaborasi lintas sektor itu dilakukan untuk mempercepat respon terhadap kasus-kasus kekerasan anak, termasuk penculikan.
“Kasus penculikan itu murni kriminal. Kami berkoordinasi dengan kepolisian agar pelaku bisa segera ditangkap dan tidak terulang,” ujarnya.
3. Jenis kekerasan perempuan didominasi pelecehan verbal

Pasca kejadian penculikan siswa SD di Bulu Lor dan Gunungpati, DP3A langsung menerjunkan tim untuk memberikan pendampingan psikologis kepada korban.
“Begitu ada laporan masuk pada sore hari, malamnya kami langsung datang mendampingi korban. Kami tidak menunggu besok. Tujuannya agar trauma korban bisa segera ditangani,” terang Edy.
Sementara, berdasarkan data DP3A, pada tahun 2024 terdapat 256 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kemudian, tahun 2025 ini tren kekerasan perempuan dan anak diprediksi meningkat dari tahun sebelumnya. Sebab, hingga bulan September 2025 sudah ada 172 kasus. Jenis kekerasan didominasi pelecehan verbal terhadap perempuan, diikuti KDRT dan kekerasan terhadap anak.