Memutus Rantai Kumuh dan Menjahit Masa Depan dengan Tabungan Emas

- Warga Kelurahan Tinjomoyo menabung emas melalui Bank Sampah Ngudi Lestari dengan menukarkan hasil setoran sampah menjadi saldo Tabungan Emas.
- Ketua bank, Umi Nasiah, merintis bank sampah untuk mengurangi kumuh dan meningkatkan kesadaran lingkungan serta memberikan manfaat sosial bagi warga.
- Pegadaian sebagai mitra TJSL membantu konversi nilai setoran sampah menjadi saldo Tabungan Emas, serta memberikan beasiswa kepada pelaku UMKM dan anak pengurus bank sampah.
Semarang, IDN Times - Minggu (28/9/2025) pagi, halaman kecil Bank Sampah Ngudi Lestari di Jalan Karangrejo Selatan VI, Kelurahan Tinjomoyo, Kota Semarang, terasa lebih hidup dari hari biasanya. Ibu-ibu warga setempat datang bergiliran, menenteng karung berisi kardus, botol plastik, minyak jelantah, hingga tutup botol yang sudah mereka pilah dari rumah.
Sejumlah kader bank sampah dengan teliti menimbang dan mencatat rinci per jenis sampah yang dikumpulkan. Bukti setoran kemudian dicatat pada buku kecil milik warga, tetapi tidak ada uang tunai yang berpindah tangan. Nilai rupiah dari hasil setoran sampah mereka langsung ditukar menjadi saldo Tabungan Emas.
Salah satu warga, Wahyuni (54), tersenyum ketika namanya masuk ke dalam putaran pertama untuk mendapatkan emas dari tabungan tersebut. Usahanya sederhana: cukup rutin memisahkan kardus dan botol plastik di rumah, lalu menyetorkannya ke Bank Sampah Ngudi Lestari.
“Kemarin sudah dapat emas 1 gram, tahun ini rencananya putaran kedua (nabung emas) lagi,” katanya.
Warga lain juga mendapatkan pengalaman serupa. Supriyati (50), yang mulai menabung sejak 2019, merasa terbantu. Ia memanfaatkan uang tabungannya untuk tambahan biaya masuk sekolah dan keperluan anak setiap tahun. Seperti membeli seragam, buku, atau alat tulis.
Kristianingsih (44) juga merasakan manfaat lain. Semenjak aktif menyetorkan sampah terpilah ke bank sampah, ia merasakan rumahnya menjadi lebih tertata. Selain itu, kegiatan pemilahan sampah itu ia manfaatkan untuk mengajari anak-anaknya cara memilah sampah dengan baik dan benar.
"Ya sekalian untuk mengajari anak bagaimana memilah-milah sampah. Mereka pelan-pelan juga paham dan alhamdulillahnya bisa ikut peduli terhadap sampah di rumah. Rumah jadi bersih, risiko hama (tikus) berkurang. Kalau tabungan, seringnya untuk tambahan uang saku anak," ungkapnya sambil tersenyum.
Perjuangan Merintis dari Kawasan Kumuh

Bagi Umi Nasiah, Ketua Bank Sampah Ngudi Lestari, momen-momen tersebut selalu mempertebal komitmennya. Ia masih ingat betul perjuangan merintis lembaga kemasyarakatan tersebut.
Perempuan berusia 57 tahun itu berkisah, titik balik Bank Sampah Ngudi Lestari dimulai saat wilayah Kelurahan Tinjomoyo masuk sebagai satu dari 62 kelurahan terkumuh di Kota Semarang, sebagaimana Keputusan Wali Kota Semarang Nomor 050/801/2014. Kala itu, masih banyak warga yang membuang sampah sembarangan, termasuk praktik buang air besar (BAB) di sungai Kaligarang yang melintasi area kelurahan Tinjomoyo.
"Tinjomoyo—khususnya RW VII—pernah masuk program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) karena dulunya warga masih buang sampah sembarangan dan sebagian jamban belum layak," kata Umi kepada IDN Times.
Melihat kondisi yang makin parah itu, Umi tergerak. Ia kemudian mengorganisasi sejumlah warga untuk mengedukasi dari rumah ke rumah mengenai sampah, dengan pengetahuan seadanya. Edukasi dimulai dari getok tular ke tetangga terdekat, hingga ke perkumpulan ibu-ibu Dasa Wisma dan pertemuan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
"Literasi memilah tumbuh dari edukasi bulanan di PKK, Dawis, dan pertemuan RT atau RW. Kemudian di grup WhatsApp (peer learning) dan ada demo pemilahan. Efeknya sangat nyata pada rumah tangga," ucapnya.
Umi kemudian membentuk Bank Sampah Ngudi Lestari pada 2017. Ia bersama sejumlah warga menginisiasi sistem dan manajemen untuk menata pencatatan sampah terpilah. Mereka memutuskan untuk menjual hasil pilahan ke pengepul (perongsok) keliling dan bahkan menjemput bola, mengambil sampah yang telah dipilah oleh warga secara door to door.

Sayang, pengalaman pribadi Umi dan beberapa warga yang tidak mengenakkan saat menjual hasil pemilahan sampah ke tukang rongsok keliling, utamanya soal ketidaktransparanan hasil penjualan, membuat mereka putus asa. Situasi itu membulatkan tekad mereka untuk membuat manajemen penjualan di bank sampah dengan sistem yang lebih transparan.
"Saya dan beberapa warga merasa lama-kelamaan kok timbangan tukang rongsok tidak akurat. Belum lagi harga belinya rendah dan bikin beberapa warga kecewa. Akhirnya inisiatif membuat bank sampah tahun 2017, agar semua pemilahan dan pencatatan sampah serta administrasinya transparan dan terbuka bagi warga," aku Umi.
Hasilnya, sekarang sampah terpilah di bank sampah menjadi tabungan mereka. Perlahan, warga ikut tersadarkan dari aktivitas pemilahan sampah.
Perubahan perilaku itu diperkuat Umi melalui pelatihan-pelatihan, seperti pembuatan kompos dari daun, eco-enzyme dari kulit buah, hingga pemanfaatan minyak jelantah.
“Jadi selain sampah nonorganik seperti kardus dan botol plastik, warga juga sudah peduli sama sampah rumah tangga mereka. Misal sampah makanan mau diperlakukan bagaimana, sampah-sampah buah jadi eco-enzyme. Hasilnya, dari sampah-sampah itu masuk ke tabungan. Malah sudah ada warga yang mencairkan tabungan dalam bentuk emas murni 1 gram untuk keperluan penting. Ya seperti untuk biaya sekolah, mas kawin, sampai untuk investasi simpanan saja,” ungkapnya.
Ikhtiar tersebut rupanya terus membuahkan hasil. Timbulan sampah liar berkurang, drainase setempat tidak lagi mampet, dan wilayah Kelurahan Tinjomoyo dinyatakan Open Defecation Free (ODF) pada tahun 2020.
Lebih menggembirakannya lagi, Kelurahan Tinjomoyo sudah tidak termasuk sebagai daerah kumuh di Kota Semarang, sebagaimana Keputusan Wali Kota Nomor 050/275 tahun 2021.

Langkah komunitas yang digawangi Umi itu terus naik kelas ketika PT Pegadaian masuk sebagai mitra Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) atau Corporate Social Responsibility (CSR) melalui program The Gade Clean and Gold, atau yang sering dikenal sebagai Sampah Jadi Emas. Pegadaian membantu pembangunan sarana, mesin pencacah dan pengepres, perangkat informasi dan teknologi (IT), hingga skema konversi nilai setoran sampah warga menjadi saldo Tabungan Emas untuk nasabah bank sampah tersebut.
Dukungan sosial tersebut penting mengingat Bank Sampah Ngudi Lestari beroperasi lintas delapan Rukun Warga (RW) dan kini sudah mencapai 249 nasabah. Umi mengaku, dukungan Pegadaian efektif mendorong partisipasi warga untuk aktif memilah sampah karena insentifnya yang konkret dan bernilai jangka panjang.
"Di awal program tahun 2019 dengan dukungan Pegadaian, antusiasme warga tinggi. Warga Tinjomoyo berbondong-bondong menyetor sampah untuk dikonversi menjadi emas. Semangat itu masih terus terjaga sampai sekarang," ujarnya.
Adapun, dampak lingkungan dari keberadaan Bank Sampah Ngudi Lestari adalah pengurangan timbulan sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Jatibarang. Hal itu terlihat dari tonase sampah yang dialihkan dari Tempat Penampungan Sementara (TPS) atau TPA.
Dari catatan Umi, pengambilan sampah di bank sampah tersebut oleh pengepul dilakukan setiap dua minggu sekali dengan rata-rata mencapai 3 ton sampah per sesi angkut.
"Sekali pengambilan bisa kurang lebih 3 ton setiap dua minggu. Sebulan bisa 6 ton, per tahun sampai 72 ton. Artinya, di Tinjomoyo saja sudah puluhan ton per tahun sampah anorganik yang dialihkan ke daur ulang, tidak masuk ke TPA Jatibarang," urainya.

Direktur Jaringan, Operasi dan Penjualan Pegadaian, Eka Pebriansyah menyebutkan, secara nasional, pihaknya telah berhasil mengumpulkan lebih dari 3.030.013 kilogram (kg) atau setara 3.030 ton sampah plastik dari berbagai titik lokasi bank sampah di Indonesia.
Untuk Kota Semarang sendiri, terdapat tiga bank sampah binaan Pegadaian. Selain Bank Sampah Ngudi Lestari, terdapat juga Bank Sampah Mangga di Kelurahan Banyumanik dan Bank Sampah Gedawang Asri di Kelurahan Gedawang.
Eka mencatat, per Juni 2025, total sampah yang terkonversi melalui Tabungan Emas senilai 15 kg—termasuk nilai emas yang kemudian dijual kembali (buyback). Jumlah itu melonjak dari capaian tahun 2023 yang hanya 5 kg emas.
"Ini adalah hasil dari kolaborasi dengan 56.204 nasabah dan 425 bank sampah di seluruh Indonesia—termasuk Bank Sampah Ngudi Lestari. Angka ini terus meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dan perluasan jangkauan program kami," katanya saat sesi acara "Climate Talk" bertema "Menambang Emas dari Timbulan Sampah Plastik", Rabu (4/6/2025).
Secara mekanisme, Eka menyatakan, masyarakat cukup membawa sampah plastik yang sudah terpilah ke titik pengumpulan bank sampah binaan Pegadaian. Sampah tersebut ditimbang, kemudian nilai ekonominya dikonversi menjadi saldo Tabungan Emas.

Lebih dari itu, Pegadaian ikut memperkuat pilar sosial mereka lewat beasiswa dan dukungan kepada pelaku UMKM di lingkungan bank sampah binaan, seperti Ngudi Lestari.
Ghaitsa Kiala, putri Novi Triana Juliastuti (50), Bendahara Bank Sampah Ngudi Lestari, tidak menyangka bisa mendapatkan beasiswa kuliah secara penuh dari Pegadaian. Ia yang kini berkuliah semester lima di program studi Teknik Informatika, Universitas Dian Nuswantoro Semarang mengatakan, jika beasiswa tersebut spesifik untuk ditabung dan digunakan untuk menunjang kegiatan perkuliahannya. Mulai dari kebutuhan membeli alat tulis, buku kuliah atau modul pendukung perkuliahan.
Sang Ibu mengaku, beasiswa yang diberikan Pegadaian untuk anaknya berupa uang tunai per tahun sekitar Rp6 juta.
"Alhamdulillah mereka juga perhatian dan peduli dengan memberikan beasiswa untuk anak pengurus-pengurus di bank sampah. Ini bisa dimanfaatkan di segala jenjang pendidikan, mulai dari SD, SMP, SMA/SMK, dan kuliah,” ungkap Novi seraya bersyukur atas pemberian beasiswa itu.